Kamis, 18 Mei 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA

1. Pendahuluan
Pada zaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja rokh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Rokh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengejarkan tanah dan lain sebagainya.
Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh rokh-rokh.
Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh yang memilikinya.
Upacara pemujaan rokh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.
2. Jaman Sriwijaya
Sriwijaya bukan saja termashur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmnu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar agama Buddha di Asia Tenggara dan memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh sarjana agama Buddha dari Tiongkok yang bernama Itsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. WAKTU pulang dalam Tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina.
Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada ± abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
3. Jaman Sailendra di Mataram
Pada ± tahun 775 sampai dengan ± tahun 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Jaman ini ialah jaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha sangat maju, dan kesenian – terutama seni pahat mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan Sewu.
Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun agama Buddha dan agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
4. Jaman Majapahit
Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1478) yang menganut agama Hindu, agama Buddha pun dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tak pernah terjadi. Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis buku yang berjudul “Sutasoma”, dimana terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
5. Jaman Abad ke-20
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, bhikkhu Narada antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
  1. Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
  2. Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
  3. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
  4. Menjalin kerja sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin Kok Sih di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
  5. Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawotjo, tokoh umat Buddha Jawa Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh bhikkhu Narada pada tanggal 10 Maret 1934.
    Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali agama Buddha di pulau Jawa pada waktu itu adalah antara lain :
    1. Pandita Josias Van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section (Headquarter-nya berada di Thaton, Birma).
    2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
Tahun 1938 berdirilah Sam Kauw Hwee di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1952 Sam Kauw Hwee-Sam Kauw Hwee tersebut bergabung menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), kemudian mengganti nama menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia.
Pada tahun 1953 The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi bhikkhu Theravada di Birma oleh Ven. Mahasi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Sekitar tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).
Pada tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpuan Buddhis Indonesia (disingkat PERBUDI) yang berkedudukan di Semarang, tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke Jakarta. Ketua umum berturut-turut dijabat oleh Sosro Utomo, Sadono, Soemantri MS dan Suraji Ariakertawijaya. Tahun 1970 menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari PERBUDI, PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia) dan Wanita Buddhis Indonesia.
Pada tahun 1959 Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia disertai 12 (dua belas) bhikkhu senior dari beberpa negara yaitu :
  1. H.E. Samdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
  2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
  3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
  4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
  5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
  6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
  7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
  8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
  9. Ven. Ransegoda Saranapala Thera dari Sri Lanka.
  10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
  11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
  12. Ven. Phra Kru Champirat Thera dari Thailand.
  13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal 21 Mei 1959 Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta.
Pada hari yang sama I Ktut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya, dan Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Dan pada tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Ven. Narada Mehathera (pada tanggal 12-2-1976 telah lepas jubah dan kembali menjadi umat Buddha biasa). Tanggal 26 Juli 1988 ditahbiskan kembali di WAT BOVORANIVES, Bangkok dan diberi nama THITAKETUKO.
Antara tahun 1963 sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu dengan yang lain saling menjatuhkan.
Pada tanggal 15 Nopember 1966 Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Ven. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya bhikkkhu Jinapiya, lepas jubah, dan kembali menjadi umat Bhuddha biasa).
Pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Sri Lanka diberi nama Sumanggalo. Wafat di Negeri Belanda tanggal 2 September 1987.
Pada tanggal 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Pada tahun 1969 datang Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi mangirim melalui bhikkhu Jinaratana buku-buku suci TIPITAKA dalam bahasa Pali dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda, Palembang, Jambi dan lain-lain tempat lagi.
Pada tahun 1969 itu juga dating di Indonesia 4 (empat) orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan agama Buddha di Indonesia, yaitu :
  1. Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn).
  2. Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya.
  3. Ven. Phra Maha Prataen Khemadasi.
  4. Ven. Phra Maha Sujib Khemacharo.
Pada tahun itu pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Tahun 1971 terbentuk Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang perayaan Waisak tahun 1971 telah datang rombongan bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan ‘Brahma-Vihara’ yang terletak di Banjar, Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari :
  1. Ven. Chau Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit.
  2. Ven. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket.
  3. Ven. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae.
  4. Ven. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada tanggal 12 Januari 1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Jinapiya, Girirakkhito, Jinaratana, Sumanggalo dan Subhato.
Pada tanggal 28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari 7 (tujuh) organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) dengan Suraji Ariakertawijaya sebagai Ketua Umum dan sebuah Majelis yang diberi nama Mejelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang mendatangani ikrar tersebut di atas adalah :
  1. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI).
  2. Buddhis Indonesia.
  3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI).
  4. Gabungan Tri Dharma Indonesia.
  5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga.
  6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
  7. Dewan Wihara Indonesia.
Di sini perlu kiranya dicatat, bahwa Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pada tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada tanggal 23 Juli 1975 Ibu Tien Suharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada tanggal 12 s/d 14 Maret 1976 diselenggarakan persamuan ke-I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang dan berhasil membuat beberapa Ketepatan mengenai berbagai aspek agama Buddha di Indonesia. Juga telah terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia yang terdiri dari:
  1. Suraji Ariakertawijaya, Sekretaris Jendral.
  2. Mulyadi SH, Anggota.
  3. Susilo, Anggota.
  4. Seno Sunoto, Anggota.
  5. K. Karbono, Anggota.
Pada tanggal 29 September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH., dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan umat dari 7 (tujuh) organisasi, yaitu :
  1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
  2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI).
  3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia.
  4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia.
  5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  6. Pamong Umat Buddha Kasogatan.
  7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen MPU Sumedha Widyadharma.
Pada tanggal 11 Oktober 1976 terbentuk Mejelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis Agama Buddha yang ada, yaitu:
  1. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
  2. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  3. Majelis Buddha Dharma Indonesia.
  4. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GITI).
  5. Majelis Kasogatan.
  6. Nichiren Shoshu.
  7. Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Pada tanggal 7 dan 8 Mei 1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai WADAH TUNGGAL umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. sebagai ketua dan anggota-anggotanya :
Suwarto Kolopaking, S.H.,
Ir. T. Soekarno,
Gunawan Sindhumarto, S.H.,
Drs. Oka Diputhera,
Bhaggadewa Siddharta,
Herman S. Endro, S.H.,
Hartanto Kulle.
Adapun Dewan Pembina WALUBI terdiri dari :
Soemantri M.S.,
Pandita S. Widyadharma,
Giriputra Soemarsono,
I.S. Susilo,
Zen Dharma,
Sasanaputra, dan
Seno Soenoto.
Sedangkan organisasi Buddhis yang tergabung dalam WALUBI adalah :
  1. Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDDHI).
  2. Majelis Buddha Mahayana Indonesia.
  3. Majelis Dharma Duta Kasogatan.
  4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  5. Majelis Rokhaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA).
  6. Majelis Upasaka Pandita Agama Buddha Indonesia (MARTRISIA)
  7. Majelis Nichiren Shoshu Indonesia.
  8. Sangha Theravada Indonesia.
  9. Sangha Mahayana Indonesia.
  10. Sangha Agung Indonesia.
Pada tanggal 27 dan 28 Februari 1982 telah diadakan Kongres Luar Biasa WALUBI di Jakarta dan di kongres tersebut terpilih sebagai Ketua Umum Sumantri M.S. dan Seno Soenoto sebagai Sekjen.
Pada tanggal 8 s/d 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto.
Di Kongres ini telah tersusun pengurus yang baru, yaitu :
Dewan Pimpinan Pusat
Ketua Umum : Bh. Girirakkhito Maha Thera
Wakil Ketua Umum : Drs. Aggi Tjetje, SH
Widyeka Sabha
Ketua : Bh. Ashin Jinarakkhita Maha Thera
Wakil Ketua : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Pada tanggal 9 Maret 1981 telah dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya dengan Ketua: Bapak O.P. Koesno (alm) dan Sekretaris: Drs. Teja SM Rashid.
Pengukuhan Uposathagara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1985 dan upacara dipimpin oleh Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, yang untuk keperluan ini datang bersama lebih dari sepuluh orang bhikkhu dari Thailand. Harap diketahui, bahwa seorang Dhammaduta dari Thailand, Phra Sombat Pavito Thera banyak sekali perannya dalam memberi nasehat dan pengarahan dalam pembangunan Uposathagara tersebut.
Di vihara ini pada tanggal 6 Desember 1987 ditahbiskan tiga orang bhikkhu Indonesia dengan Bh. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya. Tiga orang bhikkhu tersebut adalah Bh. Jagro, Bh. Gandhako (alm.) dan Bh. Khantidharo. Bh. Sukhemo Thera juga menjabat sebagai direktur dari Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka.
Tanggal 16 Oktober 1988 untuk pertama kali di Indonesia divisudhi 3 (tiga) orang Sarjana Agama Buddha (jurusan Dharmacariya) lulusan Sekolah Tinggi Agama Buddha NALANDA. STAB NALANDA ini dikelola oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dan terdaftar di Direktorat Jendral Bimas Hindu dan Buddha No. H/9/SK/1988.
Bapak Mulyadi Wahono, SH adalah direktur dari STAB NALANDA, jabatan mana yang dipegangnya sejak diresmikannya Akademi Buddhis Nalanda (pandahulu dari STAB NALANDA) oleh Dirjen Bimas Hindu & Buddha, Bapak Drs. Gde Puja, SH pada tanggal 11 Juni 1979.
Di tahun 1988 sesuai dengan Keputusan Persamuan III/1988 Sangha Theravada Indonesia No. 01/Pasamuan III/XI/88 telah terbentuk susunan pengurus Sangha yang baru yang antara lain terdiri dari :
Penasehat : Girirakkhito Mahathera
Ketua Umum : Sri Pannavaro Thera
Sekjen : Subalaratano Thera
Pada tanggal 4 Desember 1990 diadakan upacara peletakan batu pertama di Vihara Mahavira Graha Pusat, Jalan Lodan Jakarta, yang a.l. dihadiri oleh Bapak Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Duta Besar Myanmar, Ketua Umum DPP WALUBI, Ketua Harian WALUBI, Romo MP Sumedha Widyadharma (Wkl. Ketua Widyeka Sabha WALUBI), anggota Sangha serta pimpinan Majelis-majelis Agama Buddha Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1991 Sangha Theravada Indonesia menyerahkan upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Sunter Jakarta, yaitu :
– Sumedha Widyadharma mendapat gelar SASANA CARIYA
– Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA
– Visakha Hartati Tjakra Murdaya gelar SASANA PALA
Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi untuk masa ini dan juga yang pertama kali diberikan oleh Sangha Theravada Indonesia.
Munas WALUBI II dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto di Istana Negara pada tanggal 7 Desember 1992 dan kemudian rapat-rapat di Hotel Horizon, Jakarta sampai tanggal 9 Desember 1992.
Munas berhasil memilih :
– Bhikkhu Girirakkhito Mahathera sebagai Ketua Umum WALUBI, dan
– Drs. Budi Setiawan sebagai Sekretaris Jendral.
Beberapa waktu kemudian diangkat dr. R. Surya Widya sebagai Ketua Harian DPP WALUBI dengan tugas untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari DPP WALUBI yang bersifat intern.
Pada tanggal 12 Juli 1994 untuk pertama kali dalam sejarah umat Buddha Indonesia, Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Hotel Hilton Convention Center bersama-sama dengan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno, para Menteri, undangan dan umat Buddha Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1994 telah dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan susunan pengurus :
Ketua Umum : Drs. Siti Hartati Murdaya, MBA
Sekjen : Drs. Oka Diputhera.
Tanggal 1 Maret 1995 dr. R. Surya Widya mengundurkan diri sebagai Ketua harian DPP WALUBI dan Bapak Anton Haliman diangkat menjadi Ketua Harian DPP WALUBI.
Pada tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Jawa Tengah, Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI) untuk pengabdian terus menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di bumi Indonesia. Mereka adalah :
– Drs. Teja S.Mochtar Rashid mendapat gelar DHAMMA VISARADA
– Herman Satriyo Endro, SH mendapat gelar DHAMMA LANKARA
– dr. R.Surya Widya mendapat gelar SASANA DHAJA
Pada tanggal 19 Juli 1995 Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto dan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno untuk kedua kali berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2539/1995 di Hotel Hilton Convention Center bertepatan pula negara kita akan merayakan peringatan 50 tahun proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot