Kamis, 18 Mei 2017

Hari Raya Waisak (Vesâkha Pûja)


Hari Raya Waisak pada umumnya jatuh pada purnamasidhi di bulan Mei, namun kadangkala pada hari-hari pertama bulan Juni bila jatuh pada tahun kabisat lunar.Hari Waisak disebut juga “Hari Trisuci Waisak” karena pada hari itu umat Buddha sedunia memperingati Tiga Peristiwa Agung yang terjadi pada zaman kehidupan Sang Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu. Tiga Peristiwa Agung tersebut adalah:
  1. Bodhisatva (Calon Buddha) yang diberi nama Pangeran Sidharta Gotama dilahirkan di Taman Lumbini, Nepal, pada tahun 623 S.M.
  1.  Pangeran Sidharta, yang kemudian menjadi pertapa, di bawah Pohon Bodhi Suci, di Buddha-Gaya, India, dengan kekuatan sendiri mencapai Penerangan Agung (mencapai Nibbana) dan menjadi Buddha.
  1. Sesudah 45 tahun lamanya mengembara dan memberi pelayanan Dhamma kepada umat manusia dan para dewa, Sang Buddha Parinibbana atau wafat pada usia 80 tahun di Kusinara, India pada tahun 543 S.M.
Hari Tri Suci Waisak merupakan salah satu hari raya umat Buddha yang selalu ditunggu-tunggu selain hari raya Āsaḷha, Māgha Pūjā dan Kaṭhina. Hari Tri Suci Waisak mengingatkan tiga peristiwa suci yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu saat kelahiran, pencerahan sempurna dan kemangkatan Beliau. Selama satu bulan sebelum Waisak, kita telah bersama-sama melaksanakan acara Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD). Kini Waisak telah lewat dan berarti acara SPD sudah selesai, namun saya mengharapkan supaya kita semua tetap melaksanakan (SPD) yaitu Semangat Praktik Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dalam semangat Waisak ini, marilah kita bersama-sama berusaha untuk meninggalkan kejahatan dan meningkatkan kebajikan dengan Semangat Praktik Dhamma (SPD).

SPD Melaksanakan Aṭṭhasīla
Mendengar istilah Aṭṭhasīla, mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita semua umat Buddha, apalagi bagi Anda yang rajin melaksanakannya setiap hari Uposatha. Aṭṭhasīla berarti delapan kemoralan yang biasanya dilaksanakan oleh para umat Buddha perumah tangga (Upāsaka/Upāsikā) dan sering juga pelaksanaan Aṭṭhasīla ini disebut dengan istilah puasa dalam Agama Buddha. Pelaksanaan puasa cara Buddhis (Aṭṭhasīla) ini biasanya dilakukan pada hari Uposatha bulan terang (purnama) dan bulan gelap. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan puasa cara Agama Buddha ini sering dilakukan pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut perhitungan hari berdasarkan peredaran bulan (candrasangkala/imlek). Tanggal 1, 8, 15 dan 23 inilah yang dalam istilah Buddhis sekarang ini dimaksudkan dengan ’Hari Uposatha’. Istilah Uposatha dapat diartikan sebagai berdiam dalam keluhuran (di vihāra), dalam arti kata pada saat hari Uposatha tiba para umat Buddha diharapkan melakukan beberapa kebajikan, seperti misalnya: mengunjungi, membantu, dan menghormati orangtua, menghormati para petapa dan brahmana, mengikuti puja bakti di vihāra, membaca paritta, bermeditasi, mendengarkan dan mendiskusikan Dhamma, dan melaksanakan delapan sila (Uposatha-Aṭṭhasīlla /Uposathasila).

Perlu kita ketahui bersama bahwa praktik delapan sila atau Aṭṭhasīla ini juga terdapat dalam diri seorang samana, delapan sila yang juga dilaksanakan oleh Sang Buddha dan para siswa-Nya (para Arahat/orang-orang suci) sepanjang sisa hidup mereka sebagai orang suci yang bebas dari kekotoran batin. Sehingga merupakan hal yang sangat baik bagi kita untuk meneladani dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai wujud bakti dan penghormatan yang tertinggi kepada Sang Buddha yaitu dengan praktik Dhamma ajaran Beliau (paṭipatti pūjā).

Delapan sila (Aṭṭhasīla) yang juga dilaksanakan oleh Sang Buddha dan para siswa-Nya (para Arahat/orang-orang suci) sepanjang sisa hidup mereka sebagai orang suci yang patut kita teladani adalah sebagai berikut;
  1. Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya; dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk.
  2. Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya yang diberikan, dan berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri.
  3. Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktik hubungan seksual yang kasar. 
  4. Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. 
  5. Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan apa pun yang bersifat meracuni, yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak melakukannya.
  6. Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. 
  7. Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukan musik instrumen dan pertunjukan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan minyak-minyakan.
  8. Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah – bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami.
Inilah delapan sila/moralitas yang patut kita teladani dari kehidupan suci Sang Buddha dan para siswa-Nya setiap hari Uposatha bulan terang purnama maupun Uposatha bulan gelap tiba.
Kedelapan sila/moralitas ini dilaksanakan sebenarnya adalah sebagai latihan untuk disiplin, menjauhkan diri dari sifat serakah, kebencian dan kebodohan batin, mengendalikan diri dalam perilaku, ucapan dan pikiran, mampu menahan diri sehingga menjadi suatu kebiasaan, menghindari dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, dan mengembangkan/meningkatkan kebajikan.
Walaupun memang tidak mudah untuk melaksanakannya, namun dengan adanya kemauan dan keyakinan yang kuat kepada Buddha, Dhamma, dan Saïgha (Tiratana), penuh semangat dan kesabaran, kita pasti bisa melakukannya. Janganlah menganggap remeh pelaksanaan Aṭṭhasīla yang dilakukan pada hari Uposatha, karena meskipun hanya satu hari melaksanakan Aṭṭhasīla akan tetapi jika dilakukan dengan kesungguhan hati, penuh tekad, semangat, keyakinan, kesabaran dan pengertian yang benar, maka dalam satu hari itu kita sudah berusaha untuk menjalani praktik orang-orang suci dan hal ini sudah pasti akan menghasilkan buah dan manfaat yang begitu besar.

Dalam Aṅguttara Nikāya diterangkan dengan jelas tentang pahala dari pelaksanaan kebajikan ini. yaitu; ”Apabila hari Uposatha dipatuhi dengan pelaksanaan delapan sila, maka pahalanya sangat besar, sangat menggetarkan kalbu, kelak sekalipun belum berhasil mencapai Nibbāna, orang-orang yang memiliki kebajikan Uposathasila akan terlahir kembali di alam surga.” (A. IV, 252)

Tentunya bukan hanya pelaksanaan delapan sila (Aṭṭhasīla) ini saja yang patut kita teladani dari kehidupan suci Guru Agung Buddha Gautama, karena masih banyak lagi sifat-sifat baik Beliau yang patut kita teladani dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya sifat Beliau yang penuh dengan cinta kasih, kasih sayang, selalu sabar, jujur, semangat, rajin bersamadhi, dermawan, bijaksana, dll.

Marilah kita bersama-sama meningkatkan SPD ”Semangat Praktik Dhamma” dan berusaha dengan sepenuh hati untuk meneladani Guru Agung kita Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari dan berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. ”Ing ngarso sung tulodo”, apabila berada di depan, jadilah suri teladan. Janganlah berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran, ini adalah ajaran para Buddha. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot