Kamis, 18 Mei 2017

PERKAWINAN DAN KELUARGA BAHAGIA 
DALAM BUDDHA DHAMMA 



A. Pendahuluan 
     Umat Buddha bebas dalam menempuh cara hidupnya, yang terpenting adalah mampu menciptakan ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam menjalani hidupnya. Terdapat dua cara yang tidak sama, yaitu kehidupan seorang perumah-tangga dan kehidupan orang yang tidak memiliki ikatan keduniawian dengan menjalankan kehidupnya menjadi bhikkhu-bhikkhuni (anggota Sangha), wajib meninggalkan kehidupan duniawi dan bertempat tinggal dilingkungan tempat ibadah (vihara) yang disebut kuti (tempat tinggal para anggota Sangha). Selain menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-bhikkhuni, juga mengabdikan demi kepentingaan perkembangan agama Buddha, membabarkan dhamma ajaran Sang Buddha dengan penuh cinta kasih. Mereka yang kuat dan mampu sebaiknya tidak kawin dan memasuki kehidupan Sangha. Sebaliknya mereka yang tidak kuat atau belum mampu hidup selibat dipersilahkan memilih hidup perkawinan. Tidak ada kewajiban kawin dalam agama Buddha. Tetapi mereka yang tidak kawin harus menghindari hubungan kelamin. Kebanyakan orang memiliki nafsu yang mendorongnya untuk mendapatkan pasangan, yang saling membutuhkan dalam mencapai kepuasan atau kesenangan duniawi sehingga lambang perkawinan diperlukan untuk menjamin hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pasangan suami istri yang bersangkutan serta memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan perlindungan. 
       Perumah-tangga dan anggota Sangha merupakan satu ikatan tali persaudaraan yang tak dapat terpisahkan dalam kehidupan. Keduanya saling memanfaatkan kesempatan sesuai dengan cara hidupnya masing-masing untuk belajar, melaksanakan dan membabarkan kembali apa yang telah di ajarkan oleh Buddha. Mereka saling menopang, bersama-sama merealisasi dhamma yang sejati, menyebrangi lautan samsara dan berusaha mengahkiri penderitaan. Buddha memberikan petunjuk kepada Sigala, Putra perumah-tangga seorang perumah-tangga hendaknya melayani para pertapa dan brahmana dengan penuh kasih sayang melalui pikiran, ucapan dan perbuatan, membukakan pintu rumah untuk mereka, dan menunjang kebutukan yang bersifat materi, menyediakan kebutuhan anggota Sangha (empat kebutuhan pokok bagi para bhikkhu sangha, jubah, makanan, tempat tingga dan obat-obatan serta sarana yang lainnya) sebaliknya para anggota Sangha mengajarkan mereka Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada ahkirnya (It.111). 
      Kehidupan sebagai pertapa adalah tidak mudah, sedangkan kehidupan sebagai perumah-tangga yang buruk jelas sangat menyakitkan. Sebab tinggal dengan orang yang tidak dicintai adalah penderitaan. Hidup mengembara dialam samsasara adalah penderitaan. Karena itu janganlah menjadi orang yang dikuasai oleh penderitaan (Dhp. 302). Jalan yang manapun adalah memiliki tujuan untuk mengahkiri penderitaan. 
Umat Buddha bebas memilih jalan hidupnya, tentunya harus mempertimbangkan dengan baik, bahwa jalan yang dipilihnya adalah jalan yang paling baik bagi kemajuan dirinya, juga bagi orang disekitarnya dalam kehidupan sekarang juga dikemudian hari. Orang yang tidak kawin dapat hidup membujang ditengah keluarganya, atau meninggalkan rumah untuk memasuki kehidupan Sangha. Sedangkan mereka yang telah memilih hidup perumah-tangga tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi anggota Sangha (Bhikkhu-bhikkhuni), mengikuti jejak Buddha Sakyamuni. Sebaliknya seorang anggota Sangha mungkin saja bisa kembali pada kehidupan sebagai perumah-tangga. Citthattha pernah bolak-balik ditabiskan lalu meninggalkan jubah kembali kepada istrinya, hingga ahkirnya setelah betul-betul melepaskan kemelekatannya, ia mencapai tingkat kesucian dan ditabiskan untuk ketujuh kalinya menjadi anggota Sangha. 
      Kehidupan perumah-tangga merupakan bukan suatu kewajiban dalam agama Buddha, tetapi bagi mereka yang tidak menikah harus menghindari hubungan kelamin. Pengakuan atas kebutuhan primer yang bersifat biologis tidak mencakup hubungan seks. Kebutuhan seks tidak bisa disamakan dengan kebutuhan makan, minum, tidur dan pakaian. Seks sendiri bukanlah satu-satunya alasan bagi seseorang untuk menempuh hidup perumah-tangga atau menikah. Walaupun setiap orang yang ingin hidup berumah-tangga, menyadari benar bahwa ia harus mendapatkan orang yang dicintai dan mencintainya setulus hatinya. Namun cinta jaman sekarang mudah diucapkan, sering disalah artikan dan disalah-gunakan. Seorang laki-laki yang berusaha untuk merayu bhikkhuni Subha tertarik kepadanya karena mata bhikkhuni Subha sangat indah dan membuat lelaki itu jatuh cinta. Maka Bhikkhuni tersebut mencukil bola matanya dan menyerahkan kepada lelaki yang tergila-gila kepadanya. Nafsu laki-laki itupun padam dalam sekejap (Thig. 366-399). 
Apa yang disebut jodoh, pada dasarnya ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh suatu kekuatan karma seseorang. Karma masa kini dapat merubah pengaruh karma masa lampau menjadi baik atau buruk. Sidharta Gautama memilih sendiri calon istrinya, dari puluhan ribu gadis, ia memilih Yasodhara. Sang putrid pun menyambutnya, dimana pasangan itu telah melakoni cinta yang memiliki latar belakang penghidupan dimasa yang lampau. Lalu kehidupan perkawinannya ditinggalkan ketika Siddharta pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju pada kehidupan pertapa, tetapi mereka tidak pernah kehilangan cinta. 

B. Makna Perkawinan 
     Banyak orang yang berpendapat bahwa tujuan dari perkawinan adalah mencapai kebahagiaan. Tentunya kebahagiaan yang dimaksudkan adalah kebahagiaan yang bersifat duniawi, karena kebahagiaan sebagai salah satu aspek kehidupan akan selalu ditandai oleh fenomena penderitaan. Kebahagiaan tertinggi yaitu nibbanam ditandai oleh padamnya hawa nafsu, termasuk nafsu seks.akan tetapi mereka yang hidup perumah-tangga (menikah) tidak kehilangan kesempatan untuk meraih tingkat kesucian. 
Buddha berkata kepada pasangan Nakulapita dan Nakulamata “Demikianlah perumah-tangga, bila pria dan wanita keduanya mengharapkan untuk berjodoh satu sama yang lain dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan yang akan datang, hendaknya mereka berdua harus memiliki keyakinan (Saddha) yang sebanding, moral (sila) yang sebanding, kemurahan hati (caga) yang sebanding, dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding, maka mereka akan berjodoh….demikianlah di dunia ini hidup sesuai dengan tuntunan dhamma, pasangan suami-istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka-cita mencapai kebahagiaan yang mereka idam-idamkan” (A.II,61). 
      Berdasarkan sabda Buddha ini akan dapat didefinisikan bahwa perkawinan yang dinyatakan oleh undang-undang dianjurkan adalah monogami, mengikat dua orang yang berbeda jenis kelamin yang hidup bersama untuk selamanya melaksanakan Dhamma (sila dan vinaya). Dimana kebahagiaan perumah-tangga dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila, kemurahan hati,dan kebijaksanaan yang sebanding. Karena itu makna perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami-istri yang sah secara hukum agama maupun adat dan pemerintah dalam membentuk keluarga bahagia yang saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. 
      Sang Buddha memuji bentuk penikahan adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik dengan seorang perempuan yang baik maka makna perkawinan menurut agama Buddha adalah asas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Perlu menjadi pertimbangan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang belum mencapai tingkat-tingkatan kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi ia mempunyai istri lebih dari satu maupun suami lebih satu, berakibat akan menyakiti hati dan perasaan suami atau istri yang lainya (A.II,57). 
Berjalannya hidup perkawinan memiliki dasar tidak lain dari cinta yang merupakan timbunan jasa-jasa dalam kehidupan yang telah lampau atau sekarang ini. Cinta bersemi bagaikan bunga tratai dipermukaan air. Cinta adalah sesuatu yang berkembang. Akar dari cinta sebagai ikatan tali perkawinan adalah saling pengertian, bukan nafsu biarahi. Cinta itu muncul dalam wujud bukan pada kesenangan pribadi semata. Jika seseorang mengembangkan cinta nafsu dan cinta yang egois, adalah cinta yang tidak bertahan lama, pada waktunya akan mendapat kekecewaan dan penderitaan. Cinta adalah memberi dan ukurannya adalah seberapa banyak seseorang bisa untuk memberi. Dengan membahagiakan orang lain seseorang akan menemukan suatu kebahagiaan bagi dirinya sendiri, karena itu cinta dalam perkawinan mengandung kesediaan untuk berkorban. Tanpa sebuah pengorbanan, suatu perkawinan bisa gagal dan berahkir ditengah jalan. 
Sedangkan makna perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagiaan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tiap-tiap perkawinan dicacat menurut peratuan perundang-undangan yang berlaku. 
      Buddha memandang tentang perkawinan tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral atau tidak sakral, suci atau tidak suci tetapi lembaga perkawinan yang memberikan legitiminasi bagi pasangan yang bersangkutan untuk melakukan kehidupan perumah tangga atau diperbolehkan melakukan hubungan seksual. Walaupun kehidupan seksual masih ditemukan pada orang-orang suci pemula (sotapanna dan sakadagami). Tetapi nafsu yang berlebihan pasti tidak baik untuk perkembangan spiritual. Cinta seksual adalah bukan cinta yang sebenarnya. Sekalipun cinta dalam perkawinan dan seks itu tidak terpisahkan, seks tidak harus merupakan unsur yang utama dan paling penting dalam kehidupan suami-istri. 
Jadi makna perkawinan menurut pandangan agama Buddha adalah suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita tanpa ada paksaan untuk hidup bersama dalam sebuah rumah-tangga sebagai suami-istri berdasarkan pada cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), dan rasa sepenanggungan (mudita), menghadapi setiap permasalahan bersama dengan baik (panna), dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sesuai dengan Dhamma dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Adi Buddha). Siddharta Gotama memilih sendiri calon istrinya. Dari puluhan ribu gadis, ia memilih Yasodara sang putri pun menyambutnya, maka diambil kesimpulan bahwa pernikahan yang dijalani Sidharta dan Yasodara bukan kawin paksa. Tetapi pasangan itu melakoni cinta yang memiliki latar belakang penghidupan di masa kelahiran yang lampau. Lalu kehidupan Lalu kehidupan perkawinan ditinggalkan ketika Siddharta Gotama pergi bertapa, tetapi mereka tidak pernah kehilangan cinta. 

C. Membentuk Keluarga Yang Bahagia. 
     Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak dapat terlepas dari peran kehidupan keluarga yang menuntut sub-unit terkecil dari masyarakat. Keluarga merupakan kelompok masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak yang terikat dengan adanya iakatan perkawinan, yang sah. Pembentukan keluarga yang sah dalam ikatan perkawinan akan membawa pada pembentukan keluarga bahagia dan sejahtera. Perkawinan sebagai suatu persekutuan dari dua individu yang diperkaya dan ditinggikan apabila perkawinan itu mengizinkan keperibadian yang bersangkutan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Perkawinan akan hancur apabila salah satu pihak menuntut kebebasan secara penuh dan mengekang kebebasan pihak yang lain. 
      Ajaran kebenaran dari Sang Buddha selalu mengajak umatnya berbuat kebaikan. Karena dengan kebajikan yang dilakukan akan mengakibatkan kebahagiaan, kesejahteraan dalam kehidupan berkeluarga, kebahagiaan diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan dengan mudah (Sukha), disisi yang lainya dhamma mengajarkan satu kebahagiaan yang lebih tinggi bersifat lokuttara (kekal). “Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar, Kepuasan adalah keukayaan yang paling berharga, Kepercayaan adalah saudara yang paling baik, Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi” (Dhp. 204). Isyarat ini menunjukkan secara jelas bahwa dalam dunia ini terdapat dua macam kebahagiaan. Sebagian besar menyenangkan dirinya dengan memuaskan nafsu indera sebagai yang lain mencari kesenangan dengan meninggalkan kemelekatan sebagai samana. Tidak terikat oleh sifat duniawi mengarah pada kebahagiaan batin yang tertinggi, termulia dan teragunng. 
     Buddha mengajarkan kebenaran Dhamma untuk berbuat kebajikan yang mengakibatkan kebahagiaan. Ada empat jenis kebahagiaan yang dapat dicapai oleh umat perumah tangga tatau umat awam yang menikmati kesenangan indera, bergantung pada waktu dan kesempatan. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan memiliki kekayaan, kebahagiaan dapat menikmati kekayaan, kepuasan, kebahagiaan tanpa hidup tercela” A.II’236). 
Kebahagiaan dalam kehidupan keluarga adalah sasaran yang selalu didambakan oleh setiap keluarga, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil dari kehidupan berkeluarga yang memiliki dasar dan persiapan yang matang. Sebagian pendapat memiliki kekayaan yang berlimpah keharmonisan dan kebahagiaan keluarga dapat tercapai. Kemakmuran ekonomi merupakan landasan bagi kehidupan yang baik. Buddha tidak melarang pada umatnya untuk mengumpulkan kekayan sebanyak-banyaknya dengan batas kekayaan yang dikumpulkan harus sesuai dengan Dhamma yaitu uasaha benar dengan penuh semangat dan dikumpulkan dengan tangannya sendiri. Kekayaan yang telah dimiliki hendaknya dapat dipertahankan, yang akan dapat bergunakan dikala kesulitan ekonomi, justru perlu ditambah supaya berlipat ganda, untuk menambah kekayaan maka seseorang harus merencanakan kekayan dengan baik, penuh semangat dalam membangun dan bekerja tanpa lelah. 
      Pondasi keluarga dalam menuju kebahagiaan adalah memiliki harta kekayaan untuk kelangsungan kehidupan keluarga dan dapat menikmati kekayaan yang dihasilkan dengan benar. Setelah mendapat kekayaan bukan berarti langsung berfoya-foya namun menggunakan dengan sewajarnya dan tidak berlebihan. Dalam hal tersebut seseorang dituntut untuk memiliki pola kehidupan yang seimbang, manajemen keluarga yang baik. Keteraturan ekonomi keluarga dalam ekonomi keluarga sangat membantu seseorang untuk terbebas dari hutang. Kehidupan yang tidak terjerat oleh hutang adalah kebahagiaan (annana sukkha). Memiliki perasaan puas dengan apa yang dimiliki kebiasaan hidup hemat dan sederhana maka seseorang terbebas dari hutang. 
     Kehidupan keluarga yang memiliki hutang maka kehidupan akan dipenuhi perasaan tertekan akan kewajiban membayar hutang maupun kridit, akan tetapi seorang yang miskin hidup cukup ketika terbebas dari jerat hutang akan merasa lega dan bahagia. Begitu pula kehidupan keluarga yang luhur memiliki prilaku, ucapan dan pemikiran tanpa cela adalah sumber kebahagiaan. Setiap tindakan hendaknya selalu melakukan kebaikan yaitu perbuatan yang bermanfaat untuk kesejahteraan diri sendiri maupun orang lain, untuk tindakan baik yang dilakukan adalah melaksanakan sila. Sila merupakan pedoman dalam kehidupan berkeluarga. 
      Sila merupakan dasar moralitas yang baik apabila dijalankan akan membuat kehidupan menjadi bahagia. Demikian juga sebagai umat awam yang menjalani kehidupan berkeluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup harus berpedoman pada sila yaitu bermata pencaharian benar, yang berarti menghindari mata pencahariaan yang menyebabkan kerugian orang lain atau mahluk lain seperti penipuan, penghianatan dan pemerasan. Buddha menjelaskan lima macam perbuatan tercela yang seharusnya dihindarkan dalam mata pencahariaan yaitu; (1) berdagang binatang yang akan dipotong, (2) berdagang daging, (3) berdagang senjata, (4) berdagang minuman keras dan obat-obat bius lainya, (5) berdagang racun” (A.III,208).
Perbuatan tercela dalam kehidupan berumah tangga disamping lima macam mata pencaharian yang tidak benar diatas juga masih dikategorikan sebagai suatu perbuatan tidsak baik yang tercela. Segala bentuk perbuatan kecil apapun yang masih tercela oleh bijaksana adalah perbuatan yang tidak baik dan seyogyanya tidak dilakukan oleh umat Buddha pada umumnya dan para perumah tangga pada khususnya. Kehidupan berkeluarga untuk menjaga keharmonisan, kebahagiaan adalah melaksanakan sila pancasila buddhis agar keduanya saling menjaga kesetiaan diantara pasangan. 
      Buddha memberikan nasehat kepada suami-istri didalam kehidupan berkeluarga, saat memberikan nasehat kepada wanita (Vesakha) berkenaan dengan perannya didalam rumah tangga. Buddha berpendapat bahwa kedamaian, kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga banyak tergantung pada seorang istri. Berkenaan dengan kelakuan sehari-hari yang pantas dan tidak pantas dilakukan seorang istri yaitu; (1) tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang kurang baik tentang suaminya, (2) tidak bersikap kasar, kejam dan menguasai, (3) tidak hidup boros sebaiknya harus hemat dan pola hidup sewajarnya, (4) menjaga kekayaan dan menyimpan hasil kerja keras suaminya, (5) selalu memberikan perhatian, pertimbangan pemikiran dalam berpikir dan berbuat kepada keluargannya, (6) penuh kasih sayang, rajin dan bekerja berbakti kepada suaminya dengan sungguh-sungguh, (7) rendah hati dan menaruh rasa hormat pada istrinya, dengan menjaga kesetiaan dan memberikan keleluasaan dalam mengatur urusan rumah tangga yang telah memberikan keperluan kebutuhan keluarga, (8) menajalankan kewajiban sebagai seorang istri yang baik. “Seorang pria atau suami secara tegas melakukan lima cara yaitu; menghormati istrinya, bersikap lemah lembut, setia, menyerahkan kekuasaan rumah tangga, dan memberikan barang-barang hasil kerja serta memberikan perhiasan” (D.III,190). 

D. Nilai spiritual dan Karakteristik Hidup Berkeluarga 
      Orang yang memasuki perkawinan tentunya harus merencanakan dengan matang keluarga yang diharapkan bersama. Menikah bukan semata-mata karena keterpaksaan tetapi karena sudah siap bersaam untuk melakukan hidup bersama. Disisi yang lain orang yang bijaksana seharusnya benar-benar mengenali calon istri-suiaminya dengan baik sebelum sampai pada pelaminan. Masa pacaran, pendekatan, kesepakatan, jadian untuk pertunangan dapat dimanfaatkan untuk memastikan bahwa ia tidak salah pilih. Tentunya perlu kejujuran, berikutnya harus ada keberanian untuk mundur bila tidak ada kecocokan. Karena perkawinan itu membawa tanggung jawab, kedewasaan bersama baik jasmani, mental maupun spiritual. 
      Nilai-nilai spiritual tidak boleh dikesampingkan oleh banyak pertimbangan mengenai seks dan kekayaan. Buddha memberi banyak nasehat bagi perumah tangga yang menekankan aspek moral dari suatu perkawinan. Menurut Buddha ada empat macam pasangan perkawinan yaitu; (1) pria busuk atau Chavo dan wanita busuk, suami istri yang merupakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk, (2) pria busuk dengan dewi, suami yang berkelakuan buruk dengan istri yang berbudi luhur atau berkelakuan baik, (3) dewa dan wanita busuk, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang berkelakuan buruk, (4) dewa dan dewi, suami yang berkelakuan baik dengan istri yang berbudi luhur atau berkelakuan baik atau sama-sama mulia karena kelakuan yang baik. Sudah tentu perkawinan akan membawa bahagia, yang dipuji oleh Sang Buddha (A.II,57-58). 
      Pesta perkawinan di Jambunada Buddha menasehati khotbah mengenai perkawinan yang hendak dilandasi cinta akan kebenaran. Manusia membayangkan kebahagiaan dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua hati yang saling mencintai. Tetapi kematian yang akan memisahkan suami dari istrinya, istri dari suaminya. Ada nilai kebahagiaan yang lebih besar yaitu menikahkan dirinya dengan kebenaran. Kematian tidak akan pernah menjamah dia yang kawin dan hidup dalam ikatan suci dengan kebenaran, karena kebenaran itu abadi. Perkawinan itu tiada lain dan bukan adalah saling melengkapi, saling mendukung, dan melindungi sehingga pasanganyang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari perkawinan kedua individu yang berbeda membentuk pasangan hidup yang bahagia, terbebas dari kesepian, kekawatiran, ketakutan dan kekurangan serta kelemahan. Dengan demikian dapat memperkuat kehidupan spiritual bersama. 
      Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, diharapkan akan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi. Tidaklah mungkin mengharapkan pelatihan yang singkat dapat menghasilkan perkawinan mempertemukan dua orang yang sudah matang dalam perbedaan karakter dan kepribadian yang sudah melekat jauh sebelumnya. 
      Kepada Sujata, adik perempuan dari maha upasika Visakha, yang menjadi menantu maha upasaka Anthapindika, Buddha mengelompokan para istri menurut wataknya terdapat tujuh macam yaitu; (1) istri yang mirip pembunuh, yang jahat pikirannya, kejam, melalaikan suami atau serong, (2) istri yang menyerupai perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapat suami, (3) istri yang mirip penguasa, yang rakus, malas, kasar, dan menekan suami, (4) istri yang menyerupai seorang ibu yang penuh kasih sayang, merawat dan menjaga suaminya, (5) istri yang menyerupai saudara, seperti adik yang memperlakukan kakaknya dengan hormat, (6) istri yang menyerupai teman, kekasih pujaanya yang penuh cinta, (7) istri yang mirip pelayan, yang patuh, memikul beban dengan kesabaran, bahkan tabah menghadapi amarah suami. Tentu saja istri yang mirip pembunuh, perampok dan penguasa itu tidak terhormat, tidak bermoral, sehingga membawa penderitaan. (A.IV,91). 
     Sang Buddha berkata bahwa pernikahan antara suami jahat dan istri jahat adalah seperti vampir yang bersanding dengan vampir yang lain. Pernikahan antara suami jahat dan istri yang baik adalah seperti vampir bersanding bidadari. Pernikahan antara suami yang baik dengan istri yang jahat adalah seperti malakikat bersanding dengan vampir. Pernikahan antara suami yang baik dengan istri yang baik adalah seperti malaekat bersanding bidadari. Montaigne membuat lelucon tentang pernikahan dalam keluarga adalah pernikahan idealnya berlangsung antara seorang perempuan buta dengan seorang laki-laki yang bisu. 
Ketika Vesakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat (Dhammapada Atthakatha, Buddhis Legends Jilid II, halaman 72-73) yaitu : 
1. Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah. Api disini maksudnya berarti fitnah, seorang istri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lai, demikian pula tidak menceritakan kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain. 
2. Jangan memasukan api dari luar ke dalam rumah, seorang istri seharusnya tidak mendengarkan hasutan atau gossip dari keluarga-keluarga dan membawanya ke dalam rumah. 
3. Memberi hanya kepada mereka yang memberi, dan meminjamkan barang atau sesuatu hanya kepada mereka yang mau mengembalikan. 
4. Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi dan jangan meminjamkan barang atau sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang pinjaman tersebut. 
5. memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi, maksudnya menolong orang yang miskin atau kawan tanpa peduli apakah mereka akan mengembalikan atau tidak. 
6. Duduk dengan bahagia, duduk pada posisi yang sesuai apabila mertua datang menghampirinya dan ia harus berdiri untuk menghormatinya. 
7. Makan dengan penuh bahagia, sebelum makan seorang istri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, disamping memperhatikan juga kebutuhan makan dari para pembantu rumah tangganya. 
8. Tidur dengan bahagia, sebelum tidur hendaknya memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela kamar sudah tertutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah selesai menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bagun pagi-pagi sekali dan tidak tidur siang kecuali sedang sakit. 
9. Rawatlah api di dalam rumah, merawat mertua dan suami dengan baik seperti juga merawat orang tuanya seperti api di dapur dan api merawat kita di dapur. 
10. Hormatilah dewata keluarga seperti mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk diharmatinya. 
Pasangan suami-istri berusaha sebisa mungkin untuk selalu mengembangkan nilai-nilai yang telah lapuk oleh waktu seperti kasih sayang, kesetiaan, dan kesusilaan. Pertumbuhan sejati hanya bisa muncul melalui pengembanagn nilai-nilai tersebut. Tak ada yang bisa menghindarkan diri dari hokum alam sebab akibat ini. Harapan bagi pertumbuhan pribadi dan keharmonisan masyarakat terletak pada pengakuan terhadap hokum, bukan menyerah kepada nafsu kebinatangan yang Cuma membawa kesengsaraan bagi orang yang dicintai. Harkat diri, martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan mulai terkikis dalam kehidupan modern ini, yang terpenting kini adalah setiap diri individu hendaknya jangan mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang terpenting sebagai manusia yang terhormat. 
Menurut tradisi timur, seorang istri wajib memandang suami sebagai yang dipertuan. Sang Buddha pernah bersabda bahwa istri juga adalah sahabat karib dan dewa penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan baik dan dicintai oleh suaminya maka kehidupan keluarga akan bahagia. 

E. Kesimpulan. 
     Dalam menciptakan suatu perkawinan yang bahagia, baik suami-istri harus lebih memikirkan hubungan itu daripada kepentingan masing-masing. Hubungan ini merupakan pertalian dua kepentingan, dan pengorbanan yang harus dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Dari saling pengertian dan saling peduli, rasa aman dan berkecukupan dalam hidup bersama menuju tercapainya harapan bersama. 
     Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam pernikahan. Tak ada dua insane yang hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu lama, tanpa pernah mengalami kesalahpahaman atau perselisihan dari waktu-kewaktu. Pengertian dan tolerasi, kemarahan dan kecurigaan. Berpikir bahwa seseorang tidak perlu melaksanakan sikap memberi-menerima saja tetapi mencintai dalam perkawinan itu perlu pengorbanan. 
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keserasian bukan sekedar mencari pasangan yang tepat. Kedua belah pihak harus saling berusaha menjadi orang yang tepat dengan bersikap saling menghormati, saling mencintai, dan memperhatikan satu sama lainya. Cinta dalam perkawinan adalah persaan dan pemenuhan batin yang saling timbal balik muncul dari pertumbuhan yang sehat, demi dan bersama yang lain. Dalam pernikahan yang berhasil, setiap pasangan harus selalu tidak mencoba menjalankan segala sesuatu menurut caranya sendiri. Ini mengingatkan kita pada pepatah yang lucu, “Laki-laki punya maunya, perempuan punya caranya”. Cuma ada satu jalan untuk menempuh hidup bersama, tetapi selalu merupakan jalan bersama. 
     Pernikahan yang bahagia bukanlah pernikahan yang dijalankan dengan mata tertutup. Namun harus dapat melihat kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi, harus menerima kenyataan bahwa tak ada gading yang tak retak. Seorang suami-istri harus belajar berbagi kebahagiaan dan derita dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adanya saling pengertian, saling setia, saling percaya, saling menghormati, saling mengalah, saling membantu, saling bersahabat dan saling memelihara komunikasi yang baik adalah resep rahasia pernikahan yang bahagia. Pernikahan adalah berkah, tapi sayangnya banyak orang yang memperlakukannya dengan sebaliknya akibatnya kurang adanya komunikasi dan pengertian yang benar. 
Pernikahan adalah kebiasaan sosial, suatu lembaga yang dibuat manusia untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, untuk membedakan manusia dari kehidupan hewan dan untuk memelihara keutuhan dan keselarasan dalam proses berkembang biak. Sekalipun Buddha tidak berkomentar tentang monogamy atau poligami, Buddha menyarankan kepada umat awam untuk membatasi diri mereka dengan satu pasangan dalam hidupnya. Sang Buddha tidak memperlakukan aturan tentang kehidupan pernikahan tetapi memberikan nasehat yang perlu tentang bagaimana menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia. Ada anjuran penuh dalam khotbah Buddha bahwa adalah, keyakinan, kesusilaan, kemurahan hati dan kebijaksanaan sebaiknya setia pada pasangan hidup dan tidak terbawa nafsu dan mengejar pasangan lain. 
     Masayarakat tumbuh melalui jaringan hubungan yang saling menguntungkan dan saling bergantungan. Setiap hubungan adalah komitmen sepenuh hati dalam membantu dan melindungi orang lain dalam suatu kelompok atau komunitas. Pernikahan pun memegang peran yang sangat penting dalam jaringan hubungan. Pernikahan yang baik harus tumbuh berkembang secara bertahap dari pengertian dan bukan nafsu, dari pengertian sejati dan bukan kesenangan semata., masing-masing saling melengkapi kekurangan dan kelebihan dalam menciptakan perkawinan keluarga yang bahagia dalam persekutuan keselarasan, pancaran kelembutan, kedalikan diri, rasa hormat, kemurahan hati dan ketenangan serta pengabdian bersama. 


SABBE SATHA BHAVANTHU SUKHITATTA 
Semoga semua mahluk hidup berbahagia. 
Sadhu…….. Sadhu……… Sadhu……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot