Kamis, 18 Mei 2017

Hari Uposatha


      Pengertian Uposatha secara Umum 

       Pada jaman Sang Buddha, uposatha mengacu pada empat hari sakral menurut penanggalan lunar yaitu tanggal 1, 8. 15 dan 23. Hari-hari ini dianggap oleh orang India pada jaman Sang Buddha sebagai hari yang sakral. Bagi para guru agama di India kuno, hari-hari ini digunakan untuk berdiskusi ajaran-ajaran mereka atau mempraktikkan upacara-upacara tertentu. Sementara umat awam sendiri menggunakan hari-hari ini untuk menjalankan upacara keagamaan.

      Sejarah Uposatha Dalam Agama Buddha 

      Seperti yang kita ketahui saat ini, di hari-hari uposatha ini, ada beberapa aktifitas religius yang harus dipraktikkan oleh umat Buddha baik para upasaka dan upasikā maupun para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Dalam empat hari uposatha ini, upasaka dan upasikā dianjurkan untuk melatih 8 sila. Sementara itu, pada tanggal 1 dan 15, para bhikkhu, bhikkhuni, sāmanera dan sāmaneri harus membaca kembali peraturan-peraturan mereka. 

      Namun demikian, ketika Sangha atau perkumpulan para bhikkhu dan bhikkhuni belum lama ditetapkan oleh Sang Buddha, Sangha dan juga umat Buddhist tidak menganggap hari-hari uposatha ini sebagai hari yang sakral atau spesial. Mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan religius tertentu pada hari-hari ini. Kegiatan hari uposatha ditetapkan setelah ada permintaan yang diajukan oleh Raja Bimbisara. 

      Dalam Uposathakkhandhaka dari Mahavaggapali, Vinayapitaka, diceritakan bahwa pada hari-hari uposatha yang disebutkan di atas, para pertapa dari sekte-sekte lain pada jaman Sang Buddha menggunakan hari-hari ini untuk berdiskusi ajaran mereka sehingga banyak umat awam yang memperoleh keyakinan pada para pertapa ini. Melihat hal ini, Raja Bimbisara menemui Sang Buddha dan menceritakan hal ini. Sang Buddha, kemudian, memberi peraturan kepada para bhikkhu untuk berkumpul di empat hari ini. 

       Di teks yang sama, dikatakan bahwa suatu saat, ketika Sang Buddha berada dalam kesendirian, sebuah pikiran muncul: ‘Bagaimana jika saya mengijinkan para muridku untuk membaca kembali peraturan-peraturan kebhikkhuan yang telah ditetapkan olehku untuk membentuk pembacaan Pātimokkha? Ini akan menjadi peraturan legal untuk mereka’. Kemudian setelah bangun dari kesendirian, Sang Buddha memanggil para bhikkhu dan menetapkan peraturan bahwa para bhikkhu hendaknya membaca Pātimokkha / peraturan-peraturan vinaya kebhikkhuan di hari uposatha khususnya pada tanggal satu (kalapakka) dan limabelas (sukkapakka). 

       Dengan ditetapkan peraturan ini, seiring dengan kebutuhan para bhikkhu, ruangan uposatha (uposathaghara) diijinkan oleh Sang Buddha untuk dibangun dan digunakan sebagai tempat pembacaan Pātimokkha. Pembangunan uposathaghara ini juga memerlukan batas-batas yang harus disetujui oleh Sangha yang dikenal sebagai sima. 

       Perlu diingat bahwa pembacaan Pātimokkha bisa dibacakan hanya ketika ada paling tidak empat bhikkhu karena empat bhikkhu ini sudah dianggap sebagai Sangha. Pembacaan Pātimokkha ini tidak diperkenankan jika hanya ada satu, dua atau tiga bhikkhu saja. Namun demikian, jika hanya ada satu bhikkhu, hendaknya di hari uposatha yang telah ditetapkan ini, bhikkhu tersebut melakukan adiṭṭhāna / tekad untuk menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Jika ada dua atau tiga bhikkhu, meskipun pembacaan Pātimokkha tidak diperkenankan, saat itu, bhikkhu-bhikkhu tersebut dianjurkan melakukan apattidesana / permintaan maaf kepada satu sama lain. Apattidesana ini merupakan keharusan bagi para bhikkhu sesaat sebelum mereka membacakan Pātimokkha. 

       Di samping itu, pada saat pembacaan Pātimokkha berlangsung, umat awam atau, bhikkhuni, sāmanera/neri tidak dianjurkan untuk masuk sima / batas-batas dalam Uposathaghara. Jika ini terjadi, pelaksanaan hari uposatha tersebut gagal dan harus diulangi. 

       Uposatha untuk Para Sāmanera 

       Sebenarnya referensi mengenai kehidupan sāmanera sangat sedikit dalam Tipitaka. Sejarah mengenai keharusan pembacaan 10 peraturan sāmanera pada hari-hari uposatha juga tidak ditemukan dalam Vinayapitaka atau dua pitaka lainnya dalam Tipitaka. Dalam Mahākkhandhaka dari Majjhimanikāya, di sana hanya diceritakan mengenai awal mula penahbisan sāmanera Rahula atas permintaan Sang Buddha. Di teks ini, Sang Buddha hanya menetapkan cara member pentahbisan kepada sāmanera dengan menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan juga peraturan-peraturan seperti 10 peraturan utama (dasasikkhapada), 10 pelanggaran yang menyebabkan pengusiran dan 5 pelanggaran yang menyebabkan hukuman. Dalam Tipitaka, Sang Buddha tidak pernah menyatakan adanya tradisi seorang sāmanera untuk membacakan peraturan-peraturannya di hari uposatha. 

       Namun demikian, dalam kitab komentar, dijelaskan bahwa kapanpun ketika seorang sāmanera melakukan pelanggaran, ia hendaknya menceritakan kepada seorang bhikkhu dan meminta maaf. Sementara itu, bhikkhu yang dimintai maaf harus memberikan nasehat dan meminta sāmanera tersebut untuk menyatakan berlindung ke Buddha, Dhamma dan Sangha lagi dan membaca 10 peraturan utamanya. 

       Meskipun dalam Tipitaka dan kitab komentar tidak ada referensi mengenai keharusan sāmanera untuk membaca peraturan-peraturannya di hari uposatha, saat ini, tradisi tersebut dipraktikkan di Negara-negara Buddhist Theravada seperti Sri Lanka, Thailand, Birma dan Kamboja. Di dua hari Uposatha yakni tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan lunar, seorang sāmanera diharuskan untuk menyatakan berlindung kepada 3 permata dan membaca kembali 10 peraturan utama di depan seorang Bhikkhu. Tradisi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tradisi pembacaan Pātimokkha para bhikkhu di hari-hari uposatha yang telah ditentukan. 

       Uposatha untuk Umat Awam 

       Anjuran Sang Buddha terhadap umat awam untuk melakukan aktifitas religius di hari-hari uposatha telah dijelaskan dalam Dhammikasutta dari Suttanipāta. Dalam sutta ini, beliau menjelaskan peraturan-peraturan moral yang harus dipraktikkan umat awam di hari-hari uposatha yakni, menghindari pembunuhan, pencurian, seks, kata-kata bohong, minum minuman yang memabukkan, makan di malam hari atau jam-jam yang tidak diperbolehkan, menghndari penggunaan bunga dan parfum, dan menghindari tidur di tempat yang mewah. 

       Peraturan-peraturan di atas telah dijelaskan dengan detil dalam Uposathasutta dari Aṅguttaranikāya. Peraturan-peraturan ini dikenal sebagai 8 latihan moral (atthasila). Selain apa yang disebutkan di atas dalam Dhammikasutta, sutta ini menambahkan peraturan ke-tujuh untuk juga menghindari menari dan menyanyi. Sutta ini juga menjelaskan bahwa seorang upasaka / upasikā yang sedang mempraktikkan hari uposatha ini dengan menjalankan 8 latihan moral hendaknya merenungkan kwalitas para arahat yang telah sempurna mempraktikkan 8 latihan moral ini. Dikatakan bahwa manfaat yang diperoleh melalui perenungan ini sangatlah besar. Seseorang dikatakan bisa terlahir di alam-alam dewa setelah meninggal. Demikianlah, umat awam pun hendaknya menggunakan hari-hari ini dengan praktik religius yang lebih bermakna. 

       Kesimpulan 


       Demikianlah, meninjau fakta-fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa meskipun hari uposatha pada awalnya bukan merupakan tradisi agama Buddha, Sang Buddha telah menganjurkan para muridnya baik para pabbajita (bhikkhu/ni, sāmanera/neri) maupun gharavasa (umat awam) untuk menggunakan hari-hari uposatha untuk menguatkan praktik Dhamma mereka. Para bhikkhu dan bhikkhuni hendaknya melakukan apattidesana / permintaan maaf dan membaca Pātimokkha di hari-hari uposatha yang telah ditetapkan, sedangkan mengingat manfaat yang bisa diambil, sāmanera juga hendaknya kembali menyatakan berlindung kepada tiga permata dan mengulang kembali 10 latihan utama mereka. Sementara itu, umat awam, tidak seperti dalam hari-hari biasa yang hanya mempraktikkan 5 latihan moral (pañcasīla), di hari-hari uposatha, diwajibkan untuk melatih diri dalam 8 latihan moral.

1 komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot