Di dekat tempat itu
tinggallah seorang wanita muda kaya-raya yang bernama Sujata. Sujata ingin
membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya untuk mendapatkan anak
laki-laki dapat tercapai. Hari itu Sujata mengutus pelayannya ke hutan untuk
membersihkan tempat di bawah pohon tersebut. Sujata pun kaget ketika pelayannya
datang kembali dengan tergesa-gesa dengan memberitahukan bahwa dewa pohon itu
saat ini muncul. Mendengar hal ini Sujata gembira sekali. Sujata dengan
menggendong bayinya kemudian bersama pelayan-pelayannya membawa berbagai
masakan yang lezat untuk pergi ke tempat pohon itu. Sujata melihat dewa pohon
itu sedang bermeditasi dan kelihatannya sangat agung. Ia tidak tahu bahwa orang
yang dia anggap sebagai dewa pohon itu adalah Petapa Gotama. Kemudian Sujata
dengan hati-hati mempersembahkan semua makanan kepada Petapa Gotama, yang
dikiranya sebagai dewa pohon. Petapa Gotama menerima persembahan itu, dan
setelah habis menyantapnya ia pun bertanya:
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang agung,
makanan ini aku persembahkan sebagai ucapan terima kasihku karena Tuanku telah
mengabulkan permohonanku untuk mendapatkan anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama
menengok ke arah bayi itu dan meletakkan tangannya di dahi bayi itu. Petapa
Gotama pun berkata:
“Semoga hidupmu selalu
diliputi berkah dan keberuntungan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang
putra raja yang telah enam tahun menjadi seorang petapa untuk mencari sinar
terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada semua makhluk yang
berada dalam jalan kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat aku akan memperoleh
sinar terang tersebut. Dalam hal ini, persembahan makananmu telah banyak
membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itulah,
maka engkau pasti akan mendapatkan berkah yang sangat besar akibat
persembahanmu ini. Tetapi, adikku yang baik, apakah engkau sekarang bahagia dan
semua kehidupanmu sudah terpuaskan dari segala sisinya?”
“Tuanku yang agung, aku
tidak menuntut banyak di kehidupan ini. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup
untuk memenuhi mangkuk Bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah
menjadi basah. Aku sudah puas dapat hidup bersama dengan suamiku dan
membesarkan anak ini. Setiap hari dengan senang aku mengurusi semua pekerjaan
rumah tangga, memberi sesajen kepada para dewata, serta tidak lupa kami
sekeluarga selalu berbuat baik dan menolong orang yang memang membutuhkan
pertolongan. Kami sekeluarga tahu bahwa keberuntungan selalu datang dari
perbuatan baik, dan kemalangan selalu datang dari perbuatan jahat. Oleh karena
itulah, apa yang musti kami sekeluarga takuti meski tiba saatnya kematian
datang nanti?”
“Kau sudah memberikan penjelasan sederhana yang mengandung saripati kebajikan sangat tinggi di dalamnya. Meski kau tidak mempelajari semua segi dunia ini, namun kau dan sekeluargamu tahu jalan kebenaran dan menyebarkan keharuman sampai ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapatkan kepuasan, maka semoga aku pun juga akan mendapatkan apa yang aku cari.”
“Semoga Tuanku yang
agung berhasil mencapai apa yang Tuanku cari selama ini.”
Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya (adhitthana) dalam hati:
Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya (adhitthana) dalam hati:
“Jika memang jalan yang
aku jalani ini benar dan akan membawaku pada Pencerahan Sempurna, biarlah
mangkuk ini mengalir melawan arus sungai.”
Satu keajaiban pun
terjadi, karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus. Hal ini membuat
Petapa Gotama mendapatkan semangat baru dan kepercayaan yang sangat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot