Sekitar pertengahan
malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu
melihat sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur
mlang melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan
pemandangan ini; mereka semua tak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha,
semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan
merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita
yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran
Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah
tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa,
yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran
Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati
permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya
yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran
Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir
sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh
cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani
memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat
ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan
tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar
tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka
sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam
purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga
pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan
menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang
pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut.
Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota
Kapilavatthu.
Pangeran Siddhattha
menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah
sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi
Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk
memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana
Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya
Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga
kerajaan, yaitu: Sãkya, Koliya, dan Malla. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak
sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia
tiba di tepi Sungai Anoma dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah
pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk
pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran
kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya
menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran
Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia
menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut
itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi
sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar
pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera
kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat
hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu
pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan
pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan
dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua
sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil
meratap dan menangis.
Subhaanallaah
BalasHapus