Kamis, 07 Desember 2017

Menjadi Orangtua Yang Ideal



      Di dalam Petavatthu Dikisahkan di Rajagaha ada seorang pedagang yang sangat kaya raya, karena memiliki kekayaan yang demikian banyak maka ia dikenal sebagai Mahadhanasetthi. Ia mempunyai putra semata wayang yang amat disayangi dan dibanggakannya. Ketika putranya telah mencapai akil balik, lantas ia berpikir bahwa seandainya putranya membelanjakan seribu keping setiap hari selama seratus tahun pun tidak akan habis, maka biarlah dia menikmati kekayaan ini sesukanya. Sehingga ia tak perlu menanggung beban dan bersusah payah dengan tubuh dan pikirannya untuk mempelajari pengetahuan serta ketrampilan. Ketika sudah dewasa, orangtuanya mencarikan pendamping baginya. Ketika sedang dimabuk kenikmatan dengan istrinya, anak muda ini sekilas pun tidak mempunyai minat pada Dhamma, juga tidak memiliki rasa hormat terhadap para pertapa dan brahmana serta orang-orang yang pantas dihormatinya. Karena ia hidup dilingkungan orang-orang jahat, sehingga ia bergembira-ria dan hanyut dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Karena kebodohanya itu ia terus mengejar kesenangan-kesenangan indria.

Setelah kedua orangtuanya meninggal, dia menghambur-hamburkan kekayaannya sepuas-puasnya dengan para penyanyi dan penari dsb. Dan tidak lama kemudian hartanya habis tanpa sisa. Akhirnya ia tinggal di bangsal kota yang dibangun untuk fakir miskin dan ia berkelana jadi pengemis. Inilah satu kisah orangtua yang mendidik anaknya dengan cara yang tidak  benar, sehingga berakibat penderitaan bagi anaknya.

Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk membuat anaknya menjadi besar dan hidup sejahtera, dalam kenyataannya orangtua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Meskipun kadangkala terdapat anak yang tidak menghargai jerih payah dan tidak tahu membalas budi orangtuanya, akan tetapi orangtua dengan sedikit penghargaan seringkali tetap memperhatikan segala kebutuhan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, berumah tangga dan pergi dari rumah. Orangtua akan sangat bahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam segala aspek, atau paling tidak setara dengan mereka. Mereka akan merasa tidak puas apabila tarap kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, maka orangtua harus memberikan contoh dan teladan, serta memperlihatkan cara hidup yang ideal bagi keluarganya.

      Suatu kekeliruan yang fatal apabila orangtua membiarkan anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Tiratana, karena kemungkinan besar mereka akan memiliki keyakinan atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Orangtua yang lalai disebabkan oleh hal-hal yang lain, misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain sehingga anak dapat berpindah ke keyakinan lain. Memiliki keyakinan terhadap Tiratana adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya: mematuhi Sila, mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati, dan mempunyai kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orangtua yang beragama Buddha mempunyai kewajiban untuk menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada generasi mereka. Perlu diingat bahwa anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi para leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pelimpahan jasa. Suatu perbuatan yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam-alam menderita.

      Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha bersabda bahwa orangtua mempunyai lima kewajiban terhadap anaknya, yaitu sebagai berikut:
  1. Mencegah anaknya berbuat jahat
  2. Menganjurkan anaknya berbuat baik
  3. Memberikan pendidikan profesional pada anaknya
  4. Mencarikan pasangan yang sesuai bagi anaknya
  5. Menyerahkan warisan kepada anaknya pada saat yang tepat.
Dalam Sutta ini dapat diketahui bahwa peranan orangtua dalam membina keluarga
terutama pada anak-anaknya telah dijelaskan secara rinci oleh Sang Buddha pada waktu itu. Maka orangtua mempunyai lima kewajiban yang harus dilakukan kepada anak-anaknya, yaitu:

  1. Mencegah anaknya berbuat jahat

Orangtua adalah guru yang pertama bagi anak-anak. Biasanya mereka mendapat
pendidikan dasar tentang baik dan buruk dari orangtuanya. Sehingga tidak bijaksana orangtua yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan untuk berdusta, menipu, berbohong, memaki, dendam dan lain-lainnya kepada mereka selagi masih kanak-kanak. Maka sudah menjadi kewajiban orangtua berusaha menghidarkan mereka dari kejahatan dan perbuatan tak terpuji itu. Karena sejak kecil seorang anak belum mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, dan lain sebaginya. Sehingga di sinilah peranan orangtua untuk menanamkan pengertian       dan membiasakan anak-anak agar selalu berbuat baik. Karena hal tersebut sangat penting baginya sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya.

Anak-anak tidak boleh dibesarkan dengan ketakutan. Karena hal ini akan sangat
mempengaruhi kondisi psikologi sehingga akan membahayakan bagi mereka nantinya.

      Sehingga dalam memdidik anak yang penurut, rendah hati sebaiknya di pisahkan dari anak yang mempunyai karakter ketakutan yang tak beralasan tersebut. Menurut Sang Buddha, katakutan adalah salah satu dari pasukan mara, si jahat. Maka kita dalam memdidik anak kita harus menunjukan sikap takutlah pada kejahatan tetapi bukan takut kepada orang. Karena ketakutan yang tak beralasan ini akan menjadikan anak-anak lemah, dan secara tak langsung mengembangkan sifat “rendah diri”.

      Sebaiknya tidak ada salahnya kita membaca ceritera-ceritera Jataka tentang kisahnya Pangeran Pancayudha, Raja Dutugemunu, dan yang lainnya.

      Pangeran Pancayudha yang berumur enambelas tahun, tidak takut berkelahi dengan setan kejam dan jahat. Suatu ketika Pangeran disarankan untuk tidak melalui hutan yang di diami itu, ia menjawab, “baiklah, kita mati hanya sekali”. Sehingga ia berjalan melalui hutan tersebut, tanpa rasa takut dan dapat mengalahkan setan tersebut.
      Dalam ceritera Jataka disebutkan bahwa ada seorang Raja yang mempunyai anak jahat dan ganas. Ia dibawa kepada seorang pertapa yang tinggal di kebun kerajaan. Lantas pertapa tersebut berjalan-jalan bersama pangeran di kebun itu. Setelah melihat pohon nimba yang tingginya kira-kira dua kaki dan hanya berdaun satu atau dua saja, lalu pangeran menanyakan apa nama pohon itu. Pertapa yang bijaksana tersebut menyuruh mencoba untuk memakannya. Karena merasa pahit dan tidak enak dari daun nimba, maka ia segera menyuruh untuk mencabutnya, dengan berpikir bahwa bila pohon kecil ini sudah pahit kelak supaya tidak tumbuh menjadi besar. “Cabutlah pohon itu!”, teriaknya. “Tunggu sebentar, O pangeran,” kata pertapa. “Orang yang telah menilai anda juga demikian. Bila anda sebagai pangeran yang jahat dan ganas, maka apakah yang akan terjadi bila anda kelak menjadi raja?”

      Saat itu pangeran benar-benar memperhatikan nasehat ini. Sehingga dengan beberapa nasehat saja ia telah berubah sama sekali.
           
  1. Mengajurkan anaknya berbuat baik

Orangtua adalah guru pertama, sebelum anak mendapat pelajaran di sekolah.
Orangtua bertanggung jawab untuk masa depan anak-anaknya agar hidup sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka mengajurkan atau mengajarkan anak untuk berbuat baik adalah menjadi tanggung jawab dari orangtua. Agar tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

      Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuhnya atau pembantu yang bodoh. Karena akan berpengaruh pada karakter dan perkembangan psikologi dan ini sangat berbahaya. Sering anak-anak lebih dekat dengan pengasuhnya daripada orangtuanya sendiri. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan oleh para orangtua untuk mengatasinya.

      Selanjutnya setelah seorang anak mulai berkembang dan mempunyai pengalaman, orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajurkan anak-anaknya berbuat baik sesuai dengan kemampuannya, karena pada masa itu anak-anak mulai bergaul dengan menemukan berbagai pengalaman yang turut mempengaruhi tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari. Oleh karena itu, orangtua harus pandai-pandai mengawasi anak-anaknya tanpa mereka merasa terkekang.

      Sebaiknya mereka juga diajarkan bagaimana melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-harinya.

      Dengan melaksanakan sila pertama tidak membunuh atau menyakiti mahkluk hidup, mereka telah membangkitkan rasa cinta kasih dan kasih sayang kepada mahkluk hidup atau menghargai kehidupan. Sehingga anak tidak bersikap kejam dan brutal maka mereka mulai mengetahui apa makna hidup ini.

      Sila kedua adalah tidak mencuri, berarti membangkitkan rasa jujur dan lurus. Demikian juga untuk tidak mencuri mainan temannya itu pun sebaiknya diajarkan pula. Hendaknya mereka diajarkan pula sikap untuk memberi dan menolong terhadap orang lain. Sehingga mereka mempunyai sikap yang dermawan dan suka menolong terhadap sesamanya.

      Sila ketiga berkenaan dengan moral yang baik. Anak-anak sebaiknya diajarkan menjadi suci dan sopan santun terhadap sesamanya. Perhatian yang sungguh-sungguh harus dilakukan agar mereka tak bersahabat dengan teman-teman yang jahat. Dalam hubungan ini, maka orangtua harus menjadi contoh, bila tidak maka mereka akan mengikuti perbuatan orangtuanya. Karena orangtua bagi mereka merupakan cerminan  bagi anak-anaknya. Orangtua yang amoral jangan mengharapkan anaknya menjadi moralis, tetapi orangtua yang hidup suci dan bersih justru akan membahagiakan anaknya dan dirinya sendiri.

      Sila keempat adalah bagaimana mereka diajarkan supaya  berkata-kata yang benar. Anak-anak harus diajarkan demikian, orangtua harus tegas berkata, “Anakku tidak boleh berbohong.” Orangtua harus mempertimbangkan suatu kesalahan dan harus mengingatkan anak-anaknya. Seperti dengan cara demikian, “O, anakku sayang, siapa yang benar adalah terpuji dan siapa yang salah pasti akan dicela. Jadi walaupun berguaru, janganlah berkata bohong.”

      Memfitnah, pada anak-anak harus dicegah sebelum itu menjadi suatu kebiasaan. Sedapat mungkin jangan sampai ia melakukan fitnahan seperti mengatakan bahwa kakaknya juga melakukan kesalahan.

      Kata-kata kasar dan omong kosong harus dihindarkan pula. Anak-anak harus dilatih menggunakan kata-kata yang lembut dan sopan. Mereka tidak boleh dengan kasar dan tak sadar mengucapkan kata-kata yang keluar dari pembicaraan mereka. Mereka harus dinasihati untuk mengucapkan apa yang benar, baik dan fakta. Sebaiknya mereka menjaga mulutnya sejak masih kecil, sehingga mereka akan terbiasa dengan tutur kata yang manis dan sopan. Sebab lidah yang tak terlatih merupakan senjata penghancur dan lebih ganas dari bom atom. Sedangkan lidah yang terlatih akan membawa banyak orang menjadi baik.
      Sila yang kelima menyadari bahaya yang diakibatkan oleh minuman keras, alkohol, dan narkoba. Jangan biarkan anak-anak sampai mengenal atau bahkan mencicipi barang-barang maksiat ini. Bilamana mereka menghadiri pesta-pesta maka orangtua harus memperhatikan dengan seksama dan sebaiknya memberikan nasehat atau larangan, dan akibat apa yang akan diderita dengan mengkomsumsi barang maksiat itu. Karena  anak-anak mempunyai sifat ingin tahu akan kepahitan atau enaknya dari barang-barang tersebut.

      Jadi tugas ini merupakan tanggung jawab orangtua untuk menanamkan dan mengajarkan kepada mereka. Karena mereka adalah generasi yang harus dikondisikan menjadi generasi yang baik dan berguna. Sehingga tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua.


  1. Memberikan pendidikan yang profesional kepada anak

Ketiga, memberikan pendidikan yang profesional dan pantas adalah warisan paling tepat dari orangtua untuk anak-anaknya. Pembinaan moral dan pengetahuan tidalah cukup, karena masih diperlukan lapangan yang baik untuk menambah ilmu pengetahuan di luar yaitu sekolah. Dengan berinteraksi kepada dunia luar, si anak akan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Hal ini pun tidak merugikan, karena kelak mereka pada suatu saat dia akan terjun dan berkecimpung dalam masyarakat. Tentunya paranan orangtua untuk memberikan pengertian kepada mereka yang sangat diperlukannya. Maka anak memerlukan bimbingan untuk mengenal lingkungannya supaya mereka tidak terjerumus pada pergaulan yang tidak baik.

      Pendidikan agama harus menduduki tempat yang sangat penting dalam kurikulum lembaga pendidikan Buddhis. Agama tidak boleh dipisahkan dari pendidikdn umum. Karena kemajuan material dan spiritual harus seimbang sehingga tidak berat sebelah. Janganlah membiarkan anak-anak mempelajari agama semata-mata hanya untuk kelulusannya dan formal saja. Pengetahuan Dhamma dipelajari dan dibutuhkan untuk dilaksanakan dalam kehidupan  sehari-hari. Seperti apa yang tersebut dalam Dhammapada: “Barang siapa yang mempelajari Dhamma tanpa melaksanakannya, orang tersebut bagaikan gembala yang menghitung-hitung ternak orang lain.”

      Apakah tidak lebih baik memanfaatkan tenaga untuk untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran yang lebih menarik dan berguna bagi mereka? Bagi anak-anak, sebelum mereka mencapai tingkat dimana mereka dapat memilih jurusan akademi, maka sebaiknya  pendidikan ditekankan pada pokok-pokok ajaran yang dapat mengarahkan untuk menjadi perumah tangga yang baik. Janganlah seperti contoh cerita dibawah ini:     
      Pada suatu hari di kota kecil Salatiga. Dimana orangtua mengharapkan anaknya bisa menjadi seorang dokter. Tetapi apa yang terjadi pada si anak, teryata si anak mempuyai bakat di bidang lain yaitu, ia menyukai dengan bidang tehnik mesin. Karena orangtua tidak mau mengerti dengan kemauan dan kemampuan si anak tersebut, maka orangtua tetap memaksakan agar anaknya kuliah kedokteran. Apa akibatnya bagi dia, awal mulai kuliah anak ini mulai stress dan depresi. Akibat yang paling fatal adalah anak ini mejadi gila, dengan demikian pupuslah harapan orangtua.

      Jadi ini adalah hanya salah satu kisah cerita yang kadang-kadang perlu kita renungkan sebagai orangtua. Walaupun orangtua mempuyai tujuan yang baik tetapi perlu dipertimbangkan akibatnya bagi si anak, supaya tidak terjadi seperti kasus cerita di atas. Jadi kita sebagai orangtua harus bijaksana dan anak-anak kita beri kebebasan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

      Satu lagi walaupun perhatian banyak ditujukan pada pendidikan, tetapi ada yang tidak boleh dipisahkan serta dilupakan yaitu memperhatikan kesehatannya. Seorang anak yang sakit-sakitan tak akan sanggup membantu dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.



  1. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk mereka

Keempat, membantu mencarikan pasangan yang sesuai bagi anak-anaknya. Carilah yang memiliki  Saddha artinya mempunyai keyakinan atau agama yang sama dan berlindung pada Tiratana; carilah yang berperangai baik, murah hati dan tidak kikir namun tidak boros; dan carilah yang memilki kebijaksanaan yang cukup artinya pengertian, hormat setia dan sebagainya.

      Dalam Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar kelak menjadi istri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus orang yang ramah tamah, usianya sepadan, setia, baik hati, dan subur (dapat memberikan keturunan), memilki keyakinan, bermoral serta berasal dari keluarga baik-baik.

      Walaupun pemilihan dibatasi pada kreteria-kreteria tertentu, adalah lebih baik mengelak memilih seorang pria untuk dijadikan suami bila ia adalah; hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros, (Vasala Sutta). Kesehatan hendaknya diperhatikan sebelum mereka melaksanakan pernikahan. Kalau tidak orangtua akan dihina karena keturunan mereka. Maka perlu memperhatikan hal ini demi kelangsungan dan masa depan anak-anak kita.




  1. Memberikan warisan pada saat yang tepat

Sebagai yang terakhir, memberikan warisan pada saat yang tepat. Orangtua yang
baik bukan hanya mencitai dan memelihara anak-anaknya selama dalam asuhan mereka saja, tetapi juga mempersiapkan kebahagiaan anak-anaknya di masa mendatang. Walaupun dengan dengan susah payah mereka mengumpulkan dan menyimpan harta, tetapi mereka akan menghadiahkannya dengan tulus dan rela kepada anak-anaknya. Warisan ini tidak hanya yang berbentuk materi, tetapi juga yang bukan materi seperti cinta kasih, ketulusan, kesabaran dan sebagainya. Justru warisan ini sangat penting untuk anak-anak kita. Jadi apa yang ditentukan sebagai sutau kewajiban bagi orangtua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur karena akan mencegah terjadinya perselisihan dan konflik di antara mereka sebagai ahliwaris.

      Dapat disimpulkan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama atau yang terakhir baik pria maupun wanita, yang sukses dalam pendidikan atau tidak; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan akan dilandasi pengertian benar yang akhirnya tidak ada rasa irihati dan kecemburuan. Sehingga mereka bisa mempergunakan warisan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Karena harapan orangtua adalah supaya hidup mandiri dan sukses baik secara lahir maupun batinya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot