Kamis, 07 Desember 2017

KORUPTOR!


Apakah SAYA salah satu orangnya?




Ada yang berkata, ”Bangsa A terkenal pekerja keras, Bangsa B terkenal boros, Bangsa C terkenal pelit, lalu Bangsa Indonesia terkenal apanya?” Ada celetukan, “Bangsa Indonesia terkenal korupsinya!”

Entahlah, apakah Anda setuju dengan celetukan di atas atau sebaliknya. Yang jelas, di tengah-tengah kepedihan bangsa kita yang dilanda berbagai bencana alam belakangan ini, masih begitu dalam keprihatinan kita terhadap merajalelanya korupsi di negeri ini. Dengan kata lain, luka bangsa ini karena munculnya krisis multidimensi: ekonomi, kepemipinan, moralitas, dan lingkungan, kini menjadi lebih menganga dan tentu bertambah perih karena datang berbagai bencana alam di negeri tercinta ini.

Tak pelak lagi, beberapa orang mengaitkan bahwa bencana-bencana alam yang menimpa Bangsa Indonesia adalah kutukan bahwa moral Bangsa Indonesia sudah teramat rendah.


Gejala Lupa Diri

Dalam keadaan duka, biasanya kita lebih sadar. Setelah mengalami kecelakaan dan musibah, biasanya kita lebih waspada. Dikatakan “biasanya” karena ada juga kasus-kasus luar biasa. Ada juga yang sudah mengalami kecelakaan, sudah babak belur, tetapi masih tetap belum sadar.

Berangkat dari keprihatinan, kalau boleh menengok ke kehidupan berbangsa kita yang terpuruk ini, ada saudara kita di antara para pejabat ini termasuk golongan luar biasa. Sudah tahu persis betapa buruknya keadaan negara, masih saja membebani negara dengan  masalah-masalah yang berbahaya; dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah penyakit ‘lupa diri,’ jenis penyakit aneh; ia membuat orang lain di sekelilingnya merasa geli dan muak tetapi penderitanya sendiri tidak merasa menjadi “penderita” bahkan lenggang- kangkung saja.


Mencari Akarnya

Banyak orang tidak tahu bahwa kejahatan adalah kejahatan apapun alasannya. Kami memiliki pengertian bahwa tabungan kejahatan dan tabungan kebaikan berada di bank yang berbeda. Jadi, bukan di satu bank yang bisa mengakibatkan kata “impas.” Bank yang berbeda ini, juga memiliki bunga yang berbeda. Tidak heran, dalam kehidupan kita sehari, kita selalu berhadapan dengan wajah kehidupan yang selalu berubah: suka, duka, untung, rugi, dipuji, dicela, gembira, bersedih dan masih banyak lagi. Apakah sebabnya? Karena, selain melakukan perbuatan baik, kita juga masih melakukan perbuatan jahat, apakah lewat pikiran, ucapan, atau perbuatan badan jasmani

Pengertian yang sederhana ini sekaligus juga mempertegas bahwa orang yang melakukan korupsi adalah orang yang sedang menabung pada “bank” yang buruk. Semakin banyak tindakan tercela yang dilakukan, semakin besar juga bunga kejahatan yang harus ditanggungnya. Pada saat yang sama, semakin parah juga ia membahayakan dirinya maupun orang lain.

Oleh karena itu, kita juga hendaknya tahu benar bahwa akar atau sebab dari masih gemarnya seseorang yang melakukan tindakan korupsi adalah ketidaktahuan atau pengetahuan salah. Kami menyebutnya dengan satu kata: kekeotoran batin (Asava).

Disebut ketidaktahuan karena orang yang bertindak kejahatan sedang tidak sadar pada kejahatan yang dilakukannya. Ia tidak memiliki rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan tidak memiliki rasa takut akan akibat perbuatan jahat yang dilakukannya (ottappa). Ia tidak tahu bahwa tindakannya selain mencemari kehidupan masyarakat juga akan merusak tatanan bangsa. Ia tidak tahu bahwa kejahatan yang dilakukannya akan mengancurkan hidupnya sendiri juga membahayakan bahkan menghancurkan kehidupan orang lain.

Disebut pengetahuan yang salah karena tindakan korupsi dimotivasi oleh pengertian-pengertian yang justru menyuburkan korupsi. Misalnya ada pengertian bahwa kesalahan boleh dilakukan bila itu demi kebaikan, demi manfaat banyak orang. Dengan kata lain, membenarkan diri mengambil harta yang tidak diberikan (korupsi) asal untuk keperluan yang dianggapnya baik. Misalnya, merasa nyaman melakukan korupsi karena bertujuan untuk pembangunan tempat ibadah.

Ada juga pengetahuan salah yang menyatakan bahwa kemuliaan dapat diraih jika seseorang berkesempatan mengunjungi tempat-tempat suci. Akibatnya, tidak sedikit orang yang mencari harta dengan jalan-jalan yang kotor (korupsi) kemudian merasa suci atau bersih karena sudah berkali-kali mengunjungi tempat suci.

Yang lebih menyedihkan lagi, seorang teman melihat spanduk yang dipasang di tempat umum yang bertuliskan, “Bersihkan penghasilan/harta anda dengan beramal.”
Bukankah ini berbahaya? Kalau seseorang korupsi 3 milyar, kemudian beramal 1 milyar untuk pembangunan tempat ibadah, apakah ini tidak menyedihkan?

Yang lain lagi berpengetahuan bahwa kebenaran dapat di permainkan. Orang ini berpikir bahwa,”Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Pemaaf.” Sehingga berangkat dari pengertian ini, ketika seseorang masih menjabat maka itu dianggap kesempatan selebar-lebarnya untuk mengumpulkan harta, tidak peduli caranya benar atau tidak! Toh suatu saat, Tuhan akan memaafkan hambanya sehina apapun! Deretan pengertian atau pandangan inilah inilah yang kami sebut pengetahuan salah.


Memperbaiki Kaca Mata

Ibarat menggunakan kaca mata, selama kaca mata yang digunakan seseorang berwarna merah maka apapun yang dilihatnya akan berwarna merah pula. Betapapun orang lain menujukkan kesalahannya, orang seperti ini akan kukuh pada pendiriannya.

Begitu pula, selama masih memiliki ketidaktahuan dan pengertian salah maka orang seperti ini tidak sadar pada kejahatan yang dilakukannya. Selama menggunakan kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah tersebut, betapapun orang lain memberikan peringatan, ia tidak ambil peduli. Ia merasa benar dengan perbuatan yang dilakukannya, bahkan ia merasa berjasa dan dengan tindakan-tindakan kelirunya.

Oleh karena itu, berangkat dari keprihatinan, cobalah memperbaiki bahkan mengganti kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah tersebut.

Mencabut Akar Kejahatan

Ibarat memotong rumput, rumput masih akan tetap tumbuh bila kita hanya memotong batangnya. Bila menginginkan agar rumput tidak tumbuh lagi maka kita harus mencabut sampai ke akar-akarnya.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa keserakahan bin ketamakan alias kerakusan yang mengalir bersama nafsu keinginan yang didorong oleh pengertian yang salah atau ketidaktahuan (asava) merupakan akar kejahatan yang akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan kehidupan berbangsa yang adil dan makmur.

Namun, kekotoran batin (Asava) yang bersarang di dalam pikiran masing-masing orang ini tidak bisa dihilangkan dengan ritual semata. Jadi berdoa berjuta-juta kalipun tidak akan mengikis kekotoran batinnya. Kekotoran batin harus dibersihkan dengan latihan terus-menerus (bukan latihan sebulan, dua bulan, atau tiga bulan).

Buddhisme menawarkan sebuah cara yang ampuh. Pertama, menjalankan sila atau pengendalian diri. Orang yang mengendalikan dirinya akan memiliki sifat malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat. Sehingga yang dipilihnya adalah tindakan-tindakan yang baik dan berjuang untuk menjauhi tindakan-tindakan yang jahat. Yang kami maksud mengendalikan diri  juga termasuk mengendalikan indria-indria yang lain. Ia mengendalikan matanya, jangan sampai matanya gemar atau senang terhadap pemandangan-pemandangan yang dapat merusak moralnya. Demikin juga ia mengendalikan indera-indera yang lain: telinga (suara), lidah (rasa), hidung (penciuman), dan kulit (sentuhan). Dengan ungkapan yang lebih jelas. Ia mengendalikan indria-indria itu sehingga tidak sampai menimbulkan pembunuhan makhluk hidup, pencurian (mengambil barang yang tidak diberikan),  perbuatan asusila (berzinah), berbohong (termasuk fitnah, kata-kata kasar dan omong kosong) dan mabuk-mabukkan.

Kedua, mengembangkan kesadaran (samadhi). Buddhisme memiliki keyakinan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah pikiran yang tidak sadar (ketidaktahuan atau pandangan salah). Oleh karena itu, mengembangkan kesadaran adalah pilar utama dari pengendalian diri. Bila kesadaran di kembangkan maka seseorang tidak akan memiliki nafsu untuk melakukan pembunuhan, pencurian, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukkan.

Dan langkah yang ketiga yaitu mengembangkan kebijaksanaan (Pannya). Kebijaksanaan yang kami maksud di sini tidaklah sama dengan kebijakan dalam arti umum, seperti kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Kebijaksaan ini datang dari pikiran yang jernih, pikiran yang sadar. Kebijaksanaan inilah yang mampu mencabut bersih kekotoran batin (asava). Orang yang bijaksana akan melihat dengan terang dan jelas bahaya dari tindakan korupsi.m Orang yang bijaksana tidak akan melakukan tindakan yang dapat menghancurkaan orang lain bahkan makhluk lain. Orang yang bijaksana memiliki pikiran bersih, ucapan bersih dan perilaku yang bersih.

Bila kita telah mengaplikasikan jalan-jalan ini, tidak akan ada agi keraguan luntuk berkata, “Saya bukanlah seorang koruptor!” Bahkan bagi orang-orang seperti ini, tidak perlu lagi bertanya atau menjawab pertanyaan pada judul di atas. Apa yang telah ditunjukkan melalui sikapnya, perbuatan badan jasmaninya, ucapannya dan pemikiran-pemikirannya sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan di atas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot