Kamis, 07 Desember 2017

Menjadi Orangtua Yang Ideal



      Di dalam Petavatthu Dikisahkan di Rajagaha ada seorang pedagang yang sangat kaya raya, karena memiliki kekayaan yang demikian banyak maka ia dikenal sebagai Mahadhanasetthi. Ia mempunyai putra semata wayang yang amat disayangi dan dibanggakannya. Ketika putranya telah mencapai akil balik, lantas ia berpikir bahwa seandainya putranya membelanjakan seribu keping setiap hari selama seratus tahun pun tidak akan habis, maka biarlah dia menikmati kekayaan ini sesukanya. Sehingga ia tak perlu menanggung beban dan bersusah payah dengan tubuh dan pikirannya untuk mempelajari pengetahuan serta ketrampilan. Ketika sudah dewasa, orangtuanya mencarikan pendamping baginya. Ketika sedang dimabuk kenikmatan dengan istrinya, anak muda ini sekilas pun tidak mempunyai minat pada Dhamma, juga tidak memiliki rasa hormat terhadap para pertapa dan brahmana serta orang-orang yang pantas dihormatinya. Karena ia hidup dilingkungan orang-orang jahat, sehingga ia bergembira-ria dan hanyut dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Karena kebodohanya itu ia terus mengejar kesenangan-kesenangan indria.

Setelah kedua orangtuanya meninggal, dia menghambur-hamburkan kekayaannya sepuas-puasnya dengan para penyanyi dan penari dsb. Dan tidak lama kemudian hartanya habis tanpa sisa. Akhirnya ia tinggal di bangsal kota yang dibangun untuk fakir miskin dan ia berkelana jadi pengemis. Inilah satu kisah orangtua yang mendidik anaknya dengan cara yang tidak  benar, sehingga berakibat penderitaan bagi anaknya.

Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk membuat anaknya menjadi besar dan hidup sejahtera, dalam kenyataannya orangtua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Meskipun kadangkala terdapat anak yang tidak menghargai jerih payah dan tidak tahu membalas budi orangtuanya, akan tetapi orangtua dengan sedikit penghargaan seringkali tetap memperhatikan segala kebutuhan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, berumah tangga dan pergi dari rumah. Orangtua akan sangat bahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam segala aspek, atau paling tidak setara dengan mereka. Mereka akan merasa tidak puas apabila tarap kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, maka orangtua harus memberikan contoh dan teladan, serta memperlihatkan cara hidup yang ideal bagi keluarganya.

      Suatu kekeliruan yang fatal apabila orangtua membiarkan anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Tiratana, karena kemungkinan besar mereka akan memiliki keyakinan atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Orangtua yang lalai disebabkan oleh hal-hal yang lain, misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain sehingga anak dapat berpindah ke keyakinan lain. Memiliki keyakinan terhadap Tiratana adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya: mematuhi Sila, mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati, dan mempunyai kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orangtua yang beragama Buddha mempunyai kewajiban untuk menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada generasi mereka. Perlu diingat bahwa anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi para leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pelimpahan jasa. Suatu perbuatan yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam-alam menderita.

      Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha bersabda bahwa orangtua mempunyai lima kewajiban terhadap anaknya, yaitu sebagai berikut:
  1. Mencegah anaknya berbuat jahat
  2. Menganjurkan anaknya berbuat baik
  3. Memberikan pendidikan profesional pada anaknya
  4. Mencarikan pasangan yang sesuai bagi anaknya
  5. Menyerahkan warisan kepada anaknya pada saat yang tepat.
Dalam Sutta ini dapat diketahui bahwa peranan orangtua dalam membina keluarga
terutama pada anak-anaknya telah dijelaskan secara rinci oleh Sang Buddha pada waktu itu. Maka orangtua mempunyai lima kewajiban yang harus dilakukan kepada anak-anaknya, yaitu:

  1. Mencegah anaknya berbuat jahat

Orangtua adalah guru yang pertama bagi anak-anak. Biasanya mereka mendapat
pendidikan dasar tentang baik dan buruk dari orangtuanya. Sehingga tidak bijaksana orangtua yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan untuk berdusta, menipu, berbohong, memaki, dendam dan lain-lainnya kepada mereka selagi masih kanak-kanak. Maka sudah menjadi kewajiban orangtua berusaha menghidarkan mereka dari kejahatan dan perbuatan tak terpuji itu. Karena sejak kecil seorang anak belum mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, dan lain sebaginya. Sehingga di sinilah peranan orangtua untuk menanamkan pengertian       dan membiasakan anak-anak agar selalu berbuat baik. Karena hal tersebut sangat penting baginya sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya.

Anak-anak tidak boleh dibesarkan dengan ketakutan. Karena hal ini akan sangat
mempengaruhi kondisi psikologi sehingga akan membahayakan bagi mereka nantinya.

      Sehingga dalam memdidik anak yang penurut, rendah hati sebaiknya di pisahkan dari anak yang mempunyai karakter ketakutan yang tak beralasan tersebut. Menurut Sang Buddha, katakutan adalah salah satu dari pasukan mara, si jahat. Maka kita dalam memdidik anak kita harus menunjukan sikap takutlah pada kejahatan tetapi bukan takut kepada orang. Karena ketakutan yang tak beralasan ini akan menjadikan anak-anak lemah, dan secara tak langsung mengembangkan sifat “rendah diri”.

      Sebaiknya tidak ada salahnya kita membaca ceritera-ceritera Jataka tentang kisahnya Pangeran Pancayudha, Raja Dutugemunu, dan yang lainnya.

      Pangeran Pancayudha yang berumur enambelas tahun, tidak takut berkelahi dengan setan kejam dan jahat. Suatu ketika Pangeran disarankan untuk tidak melalui hutan yang di diami itu, ia menjawab, “baiklah, kita mati hanya sekali”. Sehingga ia berjalan melalui hutan tersebut, tanpa rasa takut dan dapat mengalahkan setan tersebut.
      Dalam ceritera Jataka disebutkan bahwa ada seorang Raja yang mempunyai anak jahat dan ganas. Ia dibawa kepada seorang pertapa yang tinggal di kebun kerajaan. Lantas pertapa tersebut berjalan-jalan bersama pangeran di kebun itu. Setelah melihat pohon nimba yang tingginya kira-kira dua kaki dan hanya berdaun satu atau dua saja, lalu pangeran menanyakan apa nama pohon itu. Pertapa yang bijaksana tersebut menyuruh mencoba untuk memakannya. Karena merasa pahit dan tidak enak dari daun nimba, maka ia segera menyuruh untuk mencabutnya, dengan berpikir bahwa bila pohon kecil ini sudah pahit kelak supaya tidak tumbuh menjadi besar. “Cabutlah pohon itu!”, teriaknya. “Tunggu sebentar, O pangeran,” kata pertapa. “Orang yang telah menilai anda juga demikian. Bila anda sebagai pangeran yang jahat dan ganas, maka apakah yang akan terjadi bila anda kelak menjadi raja?”

      Saat itu pangeran benar-benar memperhatikan nasehat ini. Sehingga dengan beberapa nasehat saja ia telah berubah sama sekali.
           
  1. Mengajurkan anaknya berbuat baik

Orangtua adalah guru pertama, sebelum anak mendapat pelajaran di sekolah.
Orangtua bertanggung jawab untuk masa depan anak-anaknya agar hidup sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka mengajurkan atau mengajarkan anak untuk berbuat baik adalah menjadi tanggung jawab dari orangtua. Agar tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

      Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuhnya atau pembantu yang bodoh. Karena akan berpengaruh pada karakter dan perkembangan psikologi dan ini sangat berbahaya. Sering anak-anak lebih dekat dengan pengasuhnya daripada orangtuanya sendiri. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan oleh para orangtua untuk mengatasinya.

      Selanjutnya setelah seorang anak mulai berkembang dan mempunyai pengalaman, orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajurkan anak-anaknya berbuat baik sesuai dengan kemampuannya, karena pada masa itu anak-anak mulai bergaul dengan menemukan berbagai pengalaman yang turut mempengaruhi tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari. Oleh karena itu, orangtua harus pandai-pandai mengawasi anak-anaknya tanpa mereka merasa terkekang.

      Sebaiknya mereka juga diajarkan bagaimana melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-harinya.

      Dengan melaksanakan sila pertama tidak membunuh atau menyakiti mahkluk hidup, mereka telah membangkitkan rasa cinta kasih dan kasih sayang kepada mahkluk hidup atau menghargai kehidupan. Sehingga anak tidak bersikap kejam dan brutal maka mereka mulai mengetahui apa makna hidup ini.

      Sila kedua adalah tidak mencuri, berarti membangkitkan rasa jujur dan lurus. Demikian juga untuk tidak mencuri mainan temannya itu pun sebaiknya diajarkan pula. Hendaknya mereka diajarkan pula sikap untuk memberi dan menolong terhadap orang lain. Sehingga mereka mempunyai sikap yang dermawan dan suka menolong terhadap sesamanya.

      Sila ketiga berkenaan dengan moral yang baik. Anak-anak sebaiknya diajarkan menjadi suci dan sopan santun terhadap sesamanya. Perhatian yang sungguh-sungguh harus dilakukan agar mereka tak bersahabat dengan teman-teman yang jahat. Dalam hubungan ini, maka orangtua harus menjadi contoh, bila tidak maka mereka akan mengikuti perbuatan orangtuanya. Karena orangtua bagi mereka merupakan cerminan  bagi anak-anaknya. Orangtua yang amoral jangan mengharapkan anaknya menjadi moralis, tetapi orangtua yang hidup suci dan bersih justru akan membahagiakan anaknya dan dirinya sendiri.

      Sila keempat adalah bagaimana mereka diajarkan supaya  berkata-kata yang benar. Anak-anak harus diajarkan demikian, orangtua harus tegas berkata, “Anakku tidak boleh berbohong.” Orangtua harus mempertimbangkan suatu kesalahan dan harus mengingatkan anak-anaknya. Seperti dengan cara demikian, “O, anakku sayang, siapa yang benar adalah terpuji dan siapa yang salah pasti akan dicela. Jadi walaupun berguaru, janganlah berkata bohong.”

      Memfitnah, pada anak-anak harus dicegah sebelum itu menjadi suatu kebiasaan. Sedapat mungkin jangan sampai ia melakukan fitnahan seperti mengatakan bahwa kakaknya juga melakukan kesalahan.

      Kata-kata kasar dan omong kosong harus dihindarkan pula. Anak-anak harus dilatih menggunakan kata-kata yang lembut dan sopan. Mereka tidak boleh dengan kasar dan tak sadar mengucapkan kata-kata yang keluar dari pembicaraan mereka. Mereka harus dinasihati untuk mengucapkan apa yang benar, baik dan fakta. Sebaiknya mereka menjaga mulutnya sejak masih kecil, sehingga mereka akan terbiasa dengan tutur kata yang manis dan sopan. Sebab lidah yang tak terlatih merupakan senjata penghancur dan lebih ganas dari bom atom. Sedangkan lidah yang terlatih akan membawa banyak orang menjadi baik.
      Sila yang kelima menyadari bahaya yang diakibatkan oleh minuman keras, alkohol, dan narkoba. Jangan biarkan anak-anak sampai mengenal atau bahkan mencicipi barang-barang maksiat ini. Bilamana mereka menghadiri pesta-pesta maka orangtua harus memperhatikan dengan seksama dan sebaiknya memberikan nasehat atau larangan, dan akibat apa yang akan diderita dengan mengkomsumsi barang maksiat itu. Karena  anak-anak mempunyai sifat ingin tahu akan kepahitan atau enaknya dari barang-barang tersebut.

      Jadi tugas ini merupakan tanggung jawab orangtua untuk menanamkan dan mengajarkan kepada mereka. Karena mereka adalah generasi yang harus dikondisikan menjadi generasi yang baik dan berguna. Sehingga tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua.


  1. Memberikan pendidikan yang profesional kepada anak

Ketiga, memberikan pendidikan yang profesional dan pantas adalah warisan paling tepat dari orangtua untuk anak-anaknya. Pembinaan moral dan pengetahuan tidalah cukup, karena masih diperlukan lapangan yang baik untuk menambah ilmu pengetahuan di luar yaitu sekolah. Dengan berinteraksi kepada dunia luar, si anak akan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Hal ini pun tidak merugikan, karena kelak mereka pada suatu saat dia akan terjun dan berkecimpung dalam masyarakat. Tentunya paranan orangtua untuk memberikan pengertian kepada mereka yang sangat diperlukannya. Maka anak memerlukan bimbingan untuk mengenal lingkungannya supaya mereka tidak terjerumus pada pergaulan yang tidak baik.

      Pendidikan agama harus menduduki tempat yang sangat penting dalam kurikulum lembaga pendidikan Buddhis. Agama tidak boleh dipisahkan dari pendidikdn umum. Karena kemajuan material dan spiritual harus seimbang sehingga tidak berat sebelah. Janganlah membiarkan anak-anak mempelajari agama semata-mata hanya untuk kelulusannya dan formal saja. Pengetahuan Dhamma dipelajari dan dibutuhkan untuk dilaksanakan dalam kehidupan  sehari-hari. Seperti apa yang tersebut dalam Dhammapada: “Barang siapa yang mempelajari Dhamma tanpa melaksanakannya, orang tersebut bagaikan gembala yang menghitung-hitung ternak orang lain.”

      Apakah tidak lebih baik memanfaatkan tenaga untuk untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran yang lebih menarik dan berguna bagi mereka? Bagi anak-anak, sebelum mereka mencapai tingkat dimana mereka dapat memilih jurusan akademi, maka sebaiknya  pendidikan ditekankan pada pokok-pokok ajaran yang dapat mengarahkan untuk menjadi perumah tangga yang baik. Janganlah seperti contoh cerita dibawah ini:     
      Pada suatu hari di kota kecil Salatiga. Dimana orangtua mengharapkan anaknya bisa menjadi seorang dokter. Tetapi apa yang terjadi pada si anak, teryata si anak mempuyai bakat di bidang lain yaitu, ia menyukai dengan bidang tehnik mesin. Karena orangtua tidak mau mengerti dengan kemauan dan kemampuan si anak tersebut, maka orangtua tetap memaksakan agar anaknya kuliah kedokteran. Apa akibatnya bagi dia, awal mulai kuliah anak ini mulai stress dan depresi. Akibat yang paling fatal adalah anak ini mejadi gila, dengan demikian pupuslah harapan orangtua.

      Jadi ini adalah hanya salah satu kisah cerita yang kadang-kadang perlu kita renungkan sebagai orangtua. Walaupun orangtua mempuyai tujuan yang baik tetapi perlu dipertimbangkan akibatnya bagi si anak, supaya tidak terjadi seperti kasus cerita di atas. Jadi kita sebagai orangtua harus bijaksana dan anak-anak kita beri kebebasan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

      Satu lagi walaupun perhatian banyak ditujukan pada pendidikan, tetapi ada yang tidak boleh dipisahkan serta dilupakan yaitu memperhatikan kesehatannya. Seorang anak yang sakit-sakitan tak akan sanggup membantu dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.



  1. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk mereka

Keempat, membantu mencarikan pasangan yang sesuai bagi anak-anaknya. Carilah yang memiliki  Saddha artinya mempunyai keyakinan atau agama yang sama dan berlindung pada Tiratana; carilah yang berperangai baik, murah hati dan tidak kikir namun tidak boros; dan carilah yang memilki kebijaksanaan yang cukup artinya pengertian, hormat setia dan sebagainya.

      Dalam Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar kelak menjadi istri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus orang yang ramah tamah, usianya sepadan, setia, baik hati, dan subur (dapat memberikan keturunan), memilki keyakinan, bermoral serta berasal dari keluarga baik-baik.

      Walaupun pemilihan dibatasi pada kreteria-kreteria tertentu, adalah lebih baik mengelak memilih seorang pria untuk dijadikan suami bila ia adalah; hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros, (Vasala Sutta). Kesehatan hendaknya diperhatikan sebelum mereka melaksanakan pernikahan. Kalau tidak orangtua akan dihina karena keturunan mereka. Maka perlu memperhatikan hal ini demi kelangsungan dan masa depan anak-anak kita.




  1. Memberikan warisan pada saat yang tepat

Sebagai yang terakhir, memberikan warisan pada saat yang tepat. Orangtua yang
baik bukan hanya mencitai dan memelihara anak-anaknya selama dalam asuhan mereka saja, tetapi juga mempersiapkan kebahagiaan anak-anaknya di masa mendatang. Walaupun dengan dengan susah payah mereka mengumpulkan dan menyimpan harta, tetapi mereka akan menghadiahkannya dengan tulus dan rela kepada anak-anaknya. Warisan ini tidak hanya yang berbentuk materi, tetapi juga yang bukan materi seperti cinta kasih, ketulusan, kesabaran dan sebagainya. Justru warisan ini sangat penting untuk anak-anak kita. Jadi apa yang ditentukan sebagai sutau kewajiban bagi orangtua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur karena akan mencegah terjadinya perselisihan dan konflik di antara mereka sebagai ahliwaris.

      Dapat disimpulkan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama atau yang terakhir baik pria maupun wanita, yang sukses dalam pendidikan atau tidak; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan akan dilandasi pengertian benar yang akhirnya tidak ada rasa irihati dan kecemburuan. Sehingga mereka bisa mempergunakan warisan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Karena harapan orangtua adalah supaya hidup mandiri dan sukses baik secara lahir maupun batinya. 


KORUPTOR!


Apakah SAYA salah satu orangnya?




Ada yang berkata, ”Bangsa A terkenal pekerja keras, Bangsa B terkenal boros, Bangsa C terkenal pelit, lalu Bangsa Indonesia terkenal apanya?” Ada celetukan, “Bangsa Indonesia terkenal korupsinya!”

Entahlah, apakah Anda setuju dengan celetukan di atas atau sebaliknya. Yang jelas, di tengah-tengah kepedihan bangsa kita yang dilanda berbagai bencana alam belakangan ini, masih begitu dalam keprihatinan kita terhadap merajalelanya korupsi di negeri ini. Dengan kata lain, luka bangsa ini karena munculnya krisis multidimensi: ekonomi, kepemipinan, moralitas, dan lingkungan, kini menjadi lebih menganga dan tentu bertambah perih karena datang berbagai bencana alam di negeri tercinta ini.

Tak pelak lagi, beberapa orang mengaitkan bahwa bencana-bencana alam yang menimpa Bangsa Indonesia adalah kutukan bahwa moral Bangsa Indonesia sudah teramat rendah.


Gejala Lupa Diri

Dalam keadaan duka, biasanya kita lebih sadar. Setelah mengalami kecelakaan dan musibah, biasanya kita lebih waspada. Dikatakan “biasanya” karena ada juga kasus-kasus luar biasa. Ada juga yang sudah mengalami kecelakaan, sudah babak belur, tetapi masih tetap belum sadar.

Berangkat dari keprihatinan, kalau boleh menengok ke kehidupan berbangsa kita yang terpuruk ini, ada saudara kita di antara para pejabat ini termasuk golongan luar biasa. Sudah tahu persis betapa buruknya keadaan negara, masih saja membebani negara dengan  masalah-masalah yang berbahaya; dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah penyakit ‘lupa diri,’ jenis penyakit aneh; ia membuat orang lain di sekelilingnya merasa geli dan muak tetapi penderitanya sendiri tidak merasa menjadi “penderita” bahkan lenggang- kangkung saja.


Mencari Akarnya

Banyak orang tidak tahu bahwa kejahatan adalah kejahatan apapun alasannya. Kami memiliki pengertian bahwa tabungan kejahatan dan tabungan kebaikan berada di bank yang berbeda. Jadi, bukan di satu bank yang bisa mengakibatkan kata “impas.” Bank yang berbeda ini, juga memiliki bunga yang berbeda. Tidak heran, dalam kehidupan kita sehari, kita selalu berhadapan dengan wajah kehidupan yang selalu berubah: suka, duka, untung, rugi, dipuji, dicela, gembira, bersedih dan masih banyak lagi. Apakah sebabnya? Karena, selain melakukan perbuatan baik, kita juga masih melakukan perbuatan jahat, apakah lewat pikiran, ucapan, atau perbuatan badan jasmani

Pengertian yang sederhana ini sekaligus juga mempertegas bahwa orang yang melakukan korupsi adalah orang yang sedang menabung pada “bank” yang buruk. Semakin banyak tindakan tercela yang dilakukan, semakin besar juga bunga kejahatan yang harus ditanggungnya. Pada saat yang sama, semakin parah juga ia membahayakan dirinya maupun orang lain.

Oleh karena itu, kita juga hendaknya tahu benar bahwa akar atau sebab dari masih gemarnya seseorang yang melakukan tindakan korupsi adalah ketidaktahuan atau pengetahuan salah. Kami menyebutnya dengan satu kata: kekeotoran batin (Asava).

Disebut ketidaktahuan karena orang yang bertindak kejahatan sedang tidak sadar pada kejahatan yang dilakukannya. Ia tidak memiliki rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan tidak memiliki rasa takut akan akibat perbuatan jahat yang dilakukannya (ottappa). Ia tidak tahu bahwa tindakannya selain mencemari kehidupan masyarakat juga akan merusak tatanan bangsa. Ia tidak tahu bahwa kejahatan yang dilakukannya akan mengancurkan hidupnya sendiri juga membahayakan bahkan menghancurkan kehidupan orang lain.

Disebut pengetahuan yang salah karena tindakan korupsi dimotivasi oleh pengertian-pengertian yang justru menyuburkan korupsi. Misalnya ada pengertian bahwa kesalahan boleh dilakukan bila itu demi kebaikan, demi manfaat banyak orang. Dengan kata lain, membenarkan diri mengambil harta yang tidak diberikan (korupsi) asal untuk keperluan yang dianggapnya baik. Misalnya, merasa nyaman melakukan korupsi karena bertujuan untuk pembangunan tempat ibadah.

Ada juga pengetahuan salah yang menyatakan bahwa kemuliaan dapat diraih jika seseorang berkesempatan mengunjungi tempat-tempat suci. Akibatnya, tidak sedikit orang yang mencari harta dengan jalan-jalan yang kotor (korupsi) kemudian merasa suci atau bersih karena sudah berkali-kali mengunjungi tempat suci.

Yang lebih menyedihkan lagi, seorang teman melihat spanduk yang dipasang di tempat umum yang bertuliskan, “Bersihkan penghasilan/harta anda dengan beramal.”
Bukankah ini berbahaya? Kalau seseorang korupsi 3 milyar, kemudian beramal 1 milyar untuk pembangunan tempat ibadah, apakah ini tidak menyedihkan?

Yang lain lagi berpengetahuan bahwa kebenaran dapat di permainkan. Orang ini berpikir bahwa,”Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Pemaaf.” Sehingga berangkat dari pengertian ini, ketika seseorang masih menjabat maka itu dianggap kesempatan selebar-lebarnya untuk mengumpulkan harta, tidak peduli caranya benar atau tidak! Toh suatu saat, Tuhan akan memaafkan hambanya sehina apapun! Deretan pengertian atau pandangan inilah inilah yang kami sebut pengetahuan salah.


Memperbaiki Kaca Mata

Ibarat menggunakan kaca mata, selama kaca mata yang digunakan seseorang berwarna merah maka apapun yang dilihatnya akan berwarna merah pula. Betapapun orang lain menujukkan kesalahannya, orang seperti ini akan kukuh pada pendiriannya.

Begitu pula, selama masih memiliki ketidaktahuan dan pengertian salah maka orang seperti ini tidak sadar pada kejahatan yang dilakukannya. Selama menggunakan kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah tersebut, betapapun orang lain memberikan peringatan, ia tidak ambil peduli. Ia merasa benar dengan perbuatan yang dilakukannya, bahkan ia merasa berjasa dan dengan tindakan-tindakan kelirunya.

Oleh karena itu, berangkat dari keprihatinan, cobalah memperbaiki bahkan mengganti kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah tersebut.

Mencabut Akar Kejahatan

Ibarat memotong rumput, rumput masih akan tetap tumbuh bila kita hanya memotong batangnya. Bila menginginkan agar rumput tidak tumbuh lagi maka kita harus mencabut sampai ke akar-akarnya.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa keserakahan bin ketamakan alias kerakusan yang mengalir bersama nafsu keinginan yang didorong oleh pengertian yang salah atau ketidaktahuan (asava) merupakan akar kejahatan yang akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan kehidupan berbangsa yang adil dan makmur.

Namun, kekotoran batin (Asava) yang bersarang di dalam pikiran masing-masing orang ini tidak bisa dihilangkan dengan ritual semata. Jadi berdoa berjuta-juta kalipun tidak akan mengikis kekotoran batinnya. Kekotoran batin harus dibersihkan dengan latihan terus-menerus (bukan latihan sebulan, dua bulan, atau tiga bulan).

Buddhisme menawarkan sebuah cara yang ampuh. Pertama, menjalankan sila atau pengendalian diri. Orang yang mengendalikan dirinya akan memiliki sifat malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat. Sehingga yang dipilihnya adalah tindakan-tindakan yang baik dan berjuang untuk menjauhi tindakan-tindakan yang jahat. Yang kami maksud mengendalikan diri  juga termasuk mengendalikan indria-indria yang lain. Ia mengendalikan matanya, jangan sampai matanya gemar atau senang terhadap pemandangan-pemandangan yang dapat merusak moralnya. Demikin juga ia mengendalikan indera-indera yang lain: telinga (suara), lidah (rasa), hidung (penciuman), dan kulit (sentuhan). Dengan ungkapan yang lebih jelas. Ia mengendalikan indria-indria itu sehingga tidak sampai menimbulkan pembunuhan makhluk hidup, pencurian (mengambil barang yang tidak diberikan),  perbuatan asusila (berzinah), berbohong (termasuk fitnah, kata-kata kasar dan omong kosong) dan mabuk-mabukkan.

Kedua, mengembangkan kesadaran (samadhi). Buddhisme memiliki keyakinan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah pikiran yang tidak sadar (ketidaktahuan atau pandangan salah). Oleh karena itu, mengembangkan kesadaran adalah pilar utama dari pengendalian diri. Bila kesadaran di kembangkan maka seseorang tidak akan memiliki nafsu untuk melakukan pembunuhan, pencurian, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukkan.

Dan langkah yang ketiga yaitu mengembangkan kebijaksanaan (Pannya). Kebijaksanaan yang kami maksud di sini tidaklah sama dengan kebijakan dalam arti umum, seperti kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Kebijaksaan ini datang dari pikiran yang jernih, pikiran yang sadar. Kebijaksanaan inilah yang mampu mencabut bersih kekotoran batin (asava). Orang yang bijaksana akan melihat dengan terang dan jelas bahaya dari tindakan korupsi.m Orang yang bijaksana tidak akan melakukan tindakan yang dapat menghancurkaan orang lain bahkan makhluk lain. Orang yang bijaksana memiliki pikiran bersih, ucapan bersih dan perilaku yang bersih.

Bila kita telah mengaplikasikan jalan-jalan ini, tidak akan ada agi keraguan luntuk berkata, “Saya bukanlah seorang koruptor!” Bahkan bagi orang-orang seperti ini, tidak perlu lagi bertanya atau menjawab pertanyaan pada judul di atas. Apa yang telah ditunjukkan melalui sikapnya, perbuatan badan jasmaninya, ucapannya dan pemikiran-pemikirannya sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan di atas.



KEMISKINAN



a.       Pengertian kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang dihubungkan dengan kebutuhankesulitan dan kekurangan dalam hal hidup dan kehidupan. Istilah ini termasuk diantaranya kebutuhan materi termasuk kekurangan bahan pokok, pelayanan: keadaan ekonomi dimana kekurangan kekayaan seperti modal, uang, materi/sumber daya; hubungan sosial termasuk pengucilan sosial dsb.

b.      Penyebab kemiskinan

Jadi ada beberapa faktor penyebab kemiskianan, yaitu:
1.       Sebagai sebab individual/patological yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan dan kondisi dari simiskin.
2.       Faktor dari keluarga yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3.       Kemiskinan dapat disebabkan oleh sub budaya yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari dipelajari/dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4.       Sebagai penyebab agensi yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari orang lain, termasuk perang,pemerintah dan ekonomi.
5.       Kemiskinan dapat pula disebabkan oleh struktural yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Faktor lain yang menyebabkan kemiskinan adalah faktor kemalasan dalam bekerja, lapangan kerja yang sedikit, dll. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya pengangguran, efeknya memicu munculnya strata sosial yang baru seperti pengemis, gelandangan dan yang lebih parah adalah menjadi pelaku-pelaku kejahatan/kriminal.
Kemiskinan dapat pula disebabkan oleh faktor karma yang lampau dan karma yang sekarang seperti dikarenakan kehidupan lampau terlalu kikir, tidak pernah memberi, sombong, suka menghina orang yang tidak mampu dan tidak pernah mau menolong orang lain. Hal inilah yang mendasari sifat-sifat/ karakter  keserakahan & kebodohan batin yang memicu munculnya sifat kikir, kecemburuan & sifat suka menghina orang lemah.

c.       Akibat kemiskinan

Kemiskinan mengakibatkan dan menimbulkan kesengsaraan baik yang bersangkutan lingkungan, status sosial, alam dsb. seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan kesehatan. Selain itu akibat dari kemiskinan yang lain adalah akan mempertinggi tingkat kriminalitas seperti penodongan, pencurian, perampokan dan tindak kriminalitas lainnya. Akibat kemiskinan juga akan memicu kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, yang akan berpengaruh pada kepincangan status/strata sosial.

d.      Bagaimana mengatasi kemiskinan!

Kita semua harus belajar dari pengalaman masa lampau, suatau contoh banyak orang yang tadinya tidak mampu tetapi sekarang jadi orang sukses/kaya. Banyak juga yang mengaku miskin tetapi di dalam rumahnya mereka mempunyai fasilitas, kekayaan yang berlimpah dsb.
Banyak cara yang bisa lakukan untuk mengatasi kemiskinan diantaranya adalah: belajar dengan giat, tambah wawasan sebanyak-banyaknya, punya skill/keahlian sehingga ketika melamar pekerjaan potensi untuk diterima lebih besar, harus punya komitmen yang tinggi, disiplin & bertanggung- jawab dalam mengerjakan pekerjaan.


Dalam sudut pandang agama Buddha untuk mengurangi beban dan untuk keluar dari kemiskinan kita banyak melakukan amal seperti berdana, membantu pada sesama yang kekurangan dan berbuat baik yang lainnya. Bisa dilakukan dengan materi, tenaga, ucapan & dengan pikiran yang baik/positif.
Karena dengan memberi kita dapat mengikis kekikiran, tindakan praktik kedermawanan membantu mengikis sifat keserakahan, irihati,  kebencian dan egositas/keakuan.
Sang Buddha memandang bahwa kemiskinan adalah penyakit yang paling berbahaya & paling berat (dalida paramang roga). Karena orang yang miskin scara materi (lahir) & scara batin (spiritual) akan mudah melakukkan berbagai bentuk kejahatan atau kriminalitas. Jika kita akan memberikan bantuan berupa materi, hendaknya materi tersebut berupa materi yang dapat menunjang sifat kemandirian.
Keserakahan aalah sifat yang paling mendasar yang dapat memicu kemelekatan dan memperbesar keinginan yang merupakan sumber dukkha/penderitaan.


Semoga semua makhluk berbahagia.  

HIDUP BAHAGIA & MENGHINDARI PENDERITAAN

Sabbapapassa akaranam, Kusalassupasampada,
Sacittapariyodapanam, Etam Buddhana sasanam.
Tak melakukan kejahatan, Mengembangkan kebajikan,
Menyucikan pikiran sendiri, Ini adalah ajaran Para Buddha.

Kebanyakan umat manusia tidak mengerti apa yang menyebabkan kebahagiaan, dan apa yang penyeba kebahagiaan. Di dalam ajaran Sang Buddha di jelaskan bahwa ‘setiap perbuatan yang  diandasi oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, akan menimbulkan penderitaan. Dan tiap perbuatan yang dilandasi oleh lenyapnya/musnahnya keserakahan, kebencian & kebodohan akan membuahkan kebahagiaan.
Sekarang kita ingin membahas tentang tiga jenis orang yang mempraktikan ajaran Sang Buddha, yaitu:
1.       Orang pada tingkat terendah menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan atau tidak mau terlahir di alam-alam yang rendah. Oleh karena itu, ia mempraktikan ajaran Sang Buddha dengan maksud supaya kelak bisa dilahirkan sebagai manusia atau terlahir di alam-alam dewa. Sehingga ia tidak mempunyai kekuatan & keberanian untuk sama sekali meninggalkan keduniawian. Ia hanya menginginkan yang terbaik dari dunia, ia menghindari yang buruk. Oleh karena itu, ia menjalankan ajaran Sang Buddha agar terlahir di alam yang lebih tinggi.
2.       Sedangkan orang yang berada ditingkat madya, mengerti bahwa segala hal yang bersifat keduniawian, tidak peduli dilahirkan di alam mana pada dasarnya mengandung penderitaan; bagaikan api yang sifat dasarnya adalah panas. Ia ingin lepas daripadanya & mencapai nibbana (suatu  keadaan di mana semua penderitaan lenyap.
3.       Orang yang berada pada tingkat paling atas akan menyadari bahwa,seperti ia sendiri tidak menginginkan penderitaan namun mengharapkan kebahagiaan, demikian pula semua makhluk memiliki kekhawatiran & pengharapan yang sama. Dan karena hubungan kita dengan semua tsb, orang yang mulia adalah ia yang mempraktikan ajaran Sang Buddha demi kebahagiaan semua makhluk.

Bagaimana cara mempraktikkannya?

Di dalan proses belajar & mempraktikkan Buddhism ada dua hal yang sangat penting, yaitu: meditasi & empat renungan. Empat renungan itu adalah:
1.       Bahwa sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia.
2.       Bahwa segala sesuatu yang berkodisi adalah tidak kekal adanya.
3.       Bahwa eksistensi keduniawian (enam alam kehdupan) yang mengandung penderitaan.
4.       Perenungan tentang Hukum Kamma (hukum sebab akibat).

1)      Renungan yang pertama, adalah betapa sulitnya untuk dilahirkan sebagai manusia. Mengapa dikatakan sulit untuk terlahir sebagai manusia? Jadi yang menyebabkan makhluk terlahir sebagai manusia karena dilakukannya perbuatan baik dan mentaati tata-susila yang benar, dan sangat sedikit orang yang mampu menyadarinya, itulah sebabnya kelahiran sebagai manusia menjadi sangat sulit. Karena pada dasarnya, jauh lebih mudah untuk dilahirkan di alam-alam lain. Sebagai contoh, diumpamakan seperti seekor kura-kura buta yang tinggal di dasar samudra. Ada sebuah gandar yang terapung di atas permukaan, kura-kura itu muncul ke permukaan sekali dalam 100 tahun, meskipun demikian kesempatan untuk meletakan lehernya di atas gandar tersebut, namun masih jauh lebih mudah dibanding kesempatan untuk terahir sebagai manusia.
Pandangan umum, bahwa manusia itu jumlahnya sangat banyak, tetapi dibandingkan dengan jumlah makhluk lain, baru kita sadar bahwa betapa sangat sedikit sekali orang terlahir sebagai manusia (misalnya, di dalam tubuh kita saja ada berjuta-juta bakteri, virus, cacing dll)
Di dalam Dhamma ada 8 tempat tmimbal lahir yang tidak menguntungkan (Attha duttha khana), yaitu: alam-alam neraka, setan kelaparan, binatang, lahir dimana tidak ada kelahiran Sammasambuddha, lahir di alam Asannyisata (alam dewa tertentu), lahir sebagai orang** biadab, lahir sebagai orang cacat mental, dan sebagai orang bisu-tuli.
Bila kita terlahir sebagai manusia, ada 10 kondisi yang diperlukan, yaitu: terlahir dimana ada kelahiran Sammasambuddha, tempat dimana Sang Buddha mengajarkan kebenaran, tempat dimana Ajaran tsb masih dikenal dengan baik, tempat dimana guru-guru mengajar dengan penuh Kasih sayang, & tenpat dimana masih ada pengikut Buddha, yaitu: para Bhikkhu & umat awam. Selain itu 5 faktor luar dimana yang harus dipenuhi, yaitu; seseorang tidak melakukan atau melanggar salah satu dari pelanggaran berat (Garukakamma), yaitu: membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh seorang Arahat, melukai seorang Buddha, & memecah belah Sangha; sebab ini akan menciptakan rintangan yang sangat besar & berat.

2)      Renungan yang kedua, adalah perenungan terhadap Anicca (ketidakkekalan). Bahwa segala sesuatu yang berkodisi pasti akan mengalami perubahan, seperti perubahan cuaca, hujan, panas, dingin, gugur; anak tumbuh menjadi remaja, dewasa, tua-sakit & mati; kondisi fisik yang berubah uban mulai muncul, gigi menjadi ompong, kulit mulai keriput, jalan sempoyongan dsb. Jadi tidak suatu apapun yang dapat menghindari hukum perubahan atau ketidakkekalan. Mengingat bahwa tidak ada yang bisa terhindar dari perubahan maka tak seorang pun mengetahui kapa ini akan berakhir.
Ada dua hal tentang kematian yang kita ketahui; kematian pasti datang tapi kita tidak tahu kapan datang. Ia bisa datang setiap saat tanpa permisi, dan penyebabnya ada banyak faktor baik dari dalam maupun dari luar. Dengan merenungkan ketidakkekalan kita akan termotifasi untuk mempraktikan Dhamma & akan membantu langkah kita dalam menghadapi segala fenomena ini. Praktik Damma Sang Buddha yang sangat mudah dan simple adalah tidak melakukan kejahatan & mengembangkan kebajikan, dengan mempraktikkan Ajaran ini akan bahagia hidupnya, baik kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

3)      Renungan ketiga, adalah merenungkan enam eksistensi (enam alam kehidupan) yang diliputi oleh penderitaan, yaitu: tiga macam penderitaan itu derita karena penderitaan; penderitaan karena perubahan; & derita karena eksistensi yang bersyarat.
a)      Derita yang pertama adalah derita biasa sperti sakit perut, sakit kepala, pegal, diare dsb. itulah penderitaan yang diterima sebagai penderitaan.
b)      Penderitaan yang disebabkan karena adanya perubahan, yaitu: usia tua, kematian, berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang disenangi dsb. Tak ada sesuatu pun yang tidak berubah dan karenanya kita pun mengalami penderitaan karena perubahan.
c)       Penderitaan karena eksistensi yang bersyarat artinya ketidakpuasan terhadap kegiatan duniawi. Kita selalu melakukkan banyak hal tetapi tak pernah merasa puas, & ketika tak dapat melakukkannya timbul frustasi. Inilah penderitaan yang disebabkan oleh eksistensi yang bersyarat.
d)      Alam dewa, mereka banyak menikmati kesenangan & umurnya amat panjang, tetapi cepat atau lambat usia tua serta kematian akan menghampirinya. Karena mereka tak berbuat apa-apa kecuali bersenang-senang, tak mengumpilkan kebajikan maka mereka akan terjatuh ke dalam keadaan yang amat menderita.
e)      Alam kelima adalah makhluk setengah dewa yang selalu terlibat perang dengan para dewa, karena irihati & kecemburuannya. Oleh karena itu, dengan sendirinya mereka akan menderita dalam kehidupan yang akan datang.
f)       Terakhir adalah alam binatang, dimana penyebab kelahiran di alam tersebut adalah kebodohan. Makhluk dari ketiga alam yang paling rendah hanya mengalami derita karena penderitaan; manusia mengalami ketiganya, tapi yang utama adalah dua yang pertama; sementara para dewa terutama mengalami dua yang terkhir.

4)      Perenungan yang terakhir, adalah perenungan terhadap Hukum kamma (hukum sebab & akibat). Menurut pandangan Buddhis, segala sesuatu yang kita miliki adalah akibat dari perbuatan di masa lalu & perbuatan di masa sekarang. Konkritnya jika anda ingin mengetahuinya apa yang telah anda lakukan di masa lalu, lihatlah kondisi sekarang; dan apabila ingin melihat masa yang akan datang maka lihatlah apa yang kita perbuat di masa kini. Sebagai umat Buddha kita tahu bahwa setiap hari kita disuruh untuk merenungkan tentang perenungan Hukum Kamma, yaitu:

Marilah kita membaca perenungan kerap kali,
Aku wajar mengalami usia tua, Aku takkan mampu menghindari usia tua;
Aku wajar menyandang penyakit, Aku takkan mampu menghindari penyakit;
Aku wajar mengalami kematian, Aku takkan mampu menghindari kematian;
Segala milikku yang kucintai & kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku;
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri, Terwarisi oleh perbuatanku sendiri,
Lahir dari perbuatanku sendiri, Berhubungan dengan perbuatanku sendiri,
Perbuatan apa pun yang kulakukan, baik atau buruk, perbuatan itulah yang akan kuwarisi.

Dengan merenungkan perenungan ini setiap hari, maka akan membuat kita sadar bahwa apa pun yang kita alami selama ini adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Jadi untuk mengharapkan kebahagiaan kita harus melakukan kebajikan bukan dengan cara menjadi pengemis spiritual seperti yang telah kita lakukan selama ini. Dan penderitaan yang kita alami sekarang ini merupakan buah dari perbuatan buruk yang kita lakukan selama ini sehingga tidak ada campur tangan dari makhluk lain. Jika kita tidak ingin menderita, hindarilah sebabnya. Apabila tak ada sebab maka tak akan ada akibat; sama seperti pohon yang telah dicabut maka pohon tersebut tak akan menghasilkan buah lagi. Jika kita ingin hidup bahagia maka harus memelihara panyebab kebahagiaan tersebut, yaitu dengan tidak melakukan kejahatan, mengembangkan kebajikan & membersihkan pikiran sendiri inilah yang merupakan penyebab kebahagiaan & inti dari Ajaran Guru Agung Sang Buddha.



Mental yang sehat menuju hidup bahagia

Vaya dhamma sankhara, appamadetha sampadetha’ti
Semua yang berkondisi tidak kekal adanya maka berjuanglah dengan sunguh-sungguh.

Menurut pandangan umum ada beberapa pandanngan yang disebut padangan fatalisme, yaitu:
1.       Pandanga bahwa baik/buruk, senang/susah, kaya/miskin, sempurna/cacat dsb semua itu sudah ini ada yang mengatur (the grand scanario) yaitu Tuhan (makhluk agung, dsb).
2.       Pandangan segala sesuatu yang kita alami itu terjadi sebagai suatu kebetulan saja, karena baik/buruk, senang/susah, kaya/miskin, sempurna/cacat dan penderitaan itu terjadi begitu saja/ tidak ada sebabnya.
3.       Pandangan lain melihat bahwa baik/buruk, senang/susah, kaya/miskin, sempurna/cacat dan penderitaan terjadi hanya disebabkan oleh karma lampau saja sehingga karma yang sekarang tidak berpengaruh apa-apa.

Yang menjadi akar dari penderitaan/dukkha adalah: ’Keinginan’, mengapa keinginan disebut sebagai akar dari dukkha! Karena semakin banyak keinginan penderitaan semakin banyak tetapi sebaliknya semakin sedikit keinginan maka penderitaan semakin berkurang. Jadi seperti tiga pandangan di atas adalah tidak benar adanya. Alasanya berdasarkan pengetahuan pertama Sang Buddha sesaat sbelum mencapai penerangan..... kemudian diperkuat dengan pengetahuan yang kedua.....
Maka dari itu ada dua istilah, yaitu:
1.       Kebutuhan primer seperti makanan, sandang, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dll. Keinginan seperti mobil, motor, televisi, Hp, hiburan dll.
2.       Kemudian ada pengertian bahwa keinginan harus disaring/dipilih/ditapis; kalau tida diaring dengan benar maka akan menjadi gejala sakit mental. Jadi tanda-tandanya kalau penyakit mental sudah meyerang adalah:
·         Kalau bukan kelompoku adalah musuhku
·         setuju/tidak, menang/kalah, untung/rugi, berhasil/gagal dsb.
·          Kekerasan/anarkis, merusak, mejarah dsb yang menjadi penyaki masyarakat.

Menurut pandangan Dhamma yang menjadi akar dari dukkha/penderitaan adalah:
·         Pandangan umum melihat bahwa karena masyarakat sekarang ini terlalu banyak dosanya sehingga Tuhan memberi hukuman yang setimpal.
·         Pandangan cuek ah! Karena penderitaan itu terjadi begitu saja/ tidak ada sebabnya.
·         Pandangan lain melihat bahwa sebab penderitaan disebabkan karena terlalu banyak keinginan.

Ciri-ciri mental yang sehat adalah dapat menyaring setiap keinginan yang muncul. Sedangkan perilaku yang tidak sehat akan memunculkan lima keprihatinan, yaitu:
1.       Penyakit mental seperti stress, depresi dll.
2.       Akan mencari kambing hitam sebagai pelampiasannya.
3.       Korupsi (KKN) dll
4.       Memunculkan budaya kekerasan/anarkis
5.       Rusaknya lingkungan/alam

Bagaimana memperbaiki penyakit mental supaya tidak menimbulkan penderitaan!
v  Dengan memperbaiki diri sendiri (apakah diriku menjadi ebih baik hari ini!) inilah tindakan yang lebih reel/nyata sebagai usaha & tanggung-jawab moral.
v  Mampu menyaring semua keinginan, lalu Bagaimana caranya? Yaitu dengan Sampajannya (meliaht banyak faktor)
1.       Seperti kasus pada keinginan baik/buruk, bermanfaat/tidak, benar/salah dsb.
2.       Sesuai dengan kemampuan masing-masing dsb.

Menurut Dhamma dijelaskan bahwa orang yang mempunyai sikap mental yang sehat, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

·         Tidak menghujat & tidak menyakiti,
·         Tidak mencari kambing hitam,
·         Terkendali dalam tata susila,
·         Tahu ukuran dalam hal makan & sederhana hidupnya,
·         Hidup ditempat yang tenang/sunyi, dan

·         Berusaha mengembangkan pikiran yang luhur.

Rabu, 06 Desember 2017

Menggali Potensi Diri



Setiap orang mempunyai potensi untuk maju & berkembang, tetapi untuk maraih sukses seseorang harus punya sarana yaitu pengetahuan dan menggunakan kemajuan teknologi untuk meraih cita-cita tsb. Dalam Dhamma dijelaskan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan guna meraih kesuksesan tsb, yaitu:
1.       Utthana sampada yaitu kerja keras, sungguh-sungguh menekuni perkerjaan dan mau untuk belajar sehingga menjadi ahli, jadi efisien dalam mengerjakan sesuatu supaya maraih hasil yang maksimal & optimal.
2.       Arrakha sampada yaitu berhati-hati, teliti, cermat dalam menjaga hasil pekerjaan sehingga tidak mudah rusak, hilang atau dicuri orang akibat kelalaian kita.
3.       Kalyanamitta yaitu  memliki sahabat-sahabat yang baik, setia, terpelajar, dermawan & mampu memberikan nasehat-nasehat serta memerikan solusi yang baik.
4.       Samajivita yaitu ia arus hidup dengan batas-batas kemampannya, sederhana, tidak boros & sepantasnya.
Sebagai umat Buddha kita banyak dibekali oleh Guru Agung kita Sang Buddha, sebagaimana dijelaskan dalam Catu Idhipada untuk mencapai sukses, yang terdiri empat poin yaitu:
1.       Chanda Idhpada yaitu setelah dengan susah payah mencari peerjaan untuk menyambung hidup maka hendaknya kita mensyukuri dan mencintai pekerjaan kita, dan berrusaha mengejakannya dengan penuh tanggung-jawab & sepenuh hati sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal & memuaskan.
2.       Viriya Idhipada yaitu dengan penuh semangat, rajin & ulet dalam mengerjakan segala sesuatu maka akan maraih kesuksesan. Dan mereka pantang melakukan kelalaian, KKN, dsb tidak akan mengalami kerugian.
3.       Citta Idhipada yaitu melakukan tugas dengan sepenuh hati, kosentrasi, waspada/hati-hati sehingga tidak melamun, asal-asalan & ngawur. Dengan demikian maka ia dapat mengharapkan hasil yang optimal.
Vimamsa Idhipada yaitu meneliti, menyelidiki kembali dengan seksama apa yang telah dikerjakan sehingga kita tahu dimana kekurangan/kelemahannya. Mengetahui apa yang harus diperbaiki dan ditambah supaya memperoleh hasil yang optimal sesuai dengan yang diharapkannya. Dalam menggali diri yang paling perlu dimiliki adalah keyakinan terhadap apa yang dikerjakan.

KECANTIKAN MENURUT AGAMA BUDDHA


Kecantikan adalah salah satu fenomena yang menarik  & kerap dijadikan sebagai bahan pembicaraan yang tak pernah mebosankan dan tetap menarik dari waktu ke waktu. Tetapi sayangnya pembicaran- pembicaraan yang dilakukan kebanyakan tidak menjurus pada nilai-nilai kecantikan yang sesungguhnya. Mereka cenderung hanya membicarakan yang bersifat duniawi atau yang tampak di luar, yang semua itu hanya bersifat sementara dan tidak memuaskan. Sehingga mereka lupa bahwa kecantikan yang di dalam seperti moralitas, kesabaran dsb. dalam pengertian umum dijelaskan ada dus kreteria, yaitu:
1.       Kecantikan di luar atau yang bersifat duniawi, yaitu:
·         Kecantikan yang dikondisikan dengan barang/alat-alat/ asesoris.
·         Kecantikan yang bersifat lahiriah yang dibawa sejak lahir/akibat karma baik lampau.
2.       Kecantikan batiniah, yaitu:
·         Kecantikan moralitas (sila)
·         Kecantikan batin atau melatih kesabaran (Khanti).