Di dalam Petavatthu Dikisahkan di Rajagaha ada
seorang pedagang yang sangat kaya raya, karena memiliki kekayaan yang demikian
banyak maka ia dikenal sebagai Mahadhanasetthi. Ia mempunyai putra semata
wayang yang amat disayangi dan dibanggakannya. Ketika putranya telah mencapai
akil balik, lantas ia berpikir bahwa seandainya putranya membelanjakan seribu
keping setiap hari selama seratus tahun pun tidak akan habis, maka biarlah dia
menikmati kekayaan ini sesukanya. Sehingga ia tak perlu menanggung beban dan
bersusah payah dengan tubuh dan pikirannya untuk mempelajari pengetahuan serta
ketrampilan. Ketika sudah dewasa, orangtuanya mencarikan pendamping baginya.
Ketika sedang dimabuk kenikmatan dengan istrinya, anak muda ini sekilas pun
tidak mempunyai minat pada Dhamma, juga tidak memiliki rasa hormat terhadap
para pertapa dan brahmana serta orang-orang yang pantas dihormatinya. Karena ia
hidup dilingkungan orang-orang jahat, sehingga ia bergembira-ria dan hanyut
dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Karena kebodohanya itu ia terus mengejar
kesenangan-kesenangan indria.
Setelah
kedua orangtuanya meninggal, dia menghambur-hamburkan kekayaannya
sepuas-puasnya dengan para penyanyi dan penari dsb. Dan tidak lama kemudian
hartanya habis tanpa sisa. Akhirnya ia tinggal di bangsal kota yang dibangun untuk fakir miskin dan ia
berkelana jadi pengemis. Inilah satu kisah orangtua yang mendidik anaknya
dengan cara yang tidak benar, sehingga
berakibat penderitaan bagi anaknya.
Sudah menjadi
kewajiban orangtua untuk membuat anaknya menjadi besar dan hidup sejahtera,
dalam kenyataannya orangtua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab.
Meskipun kadangkala terdapat anak yang tidak menghargai jerih payah dan tidak
tahu membalas budi orangtuanya, akan tetapi orangtua dengan sedikit penghargaan
seringkali tetap memperhatikan segala kebutuhan anaknya, meskipun anak tersebut
telah dewasa, berumah tangga dan pergi dari rumah. Orangtua akan sangat bahagia
apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam segala aspek, atau paling
tidak setara dengan mereka. Mereka akan merasa tidak puas apabila tarap
kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan
anak-anaknya ke jalan yang benar, maka orangtua harus memberikan contoh dan
teladan, serta memperlihatkan cara hidup yang ideal bagi keluarganya.
Suatu kekeliruan yang
fatal apabila orangtua membiarkan anak-anaknya tidak memiliki keyakinan
terhadap Tiratana, karena kemungkinan besar mereka akan memiliki keyakinan atau
agama lain sebagai pegangan hidupnya. Orangtua yang lalai disebabkan oleh
hal-hal yang lain, misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain sehingga
anak dapat berpindah ke keyakinan lain. Memiliki keyakinan terhadap Tiratana
adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha
untuk selanjutnya, misalnya: mematuhi Sila, mengembangkan cinta kasih dan kasih
sayang, meningkatkan kemurahan hati, dan mempunyai kebijaksanaan. Oleh karena
itu setiap orangtua yang beragama Buddha mempunyai kewajiban untuk menanamkan
keyakinan terhadap Sang Tiratana pada generasi mereka. Perlu diingat bahwa anak
yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi para
leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pelimpahan jasa. Suatu
perbuatan yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di
alam-alam menderita.
Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha bersabda
bahwa orangtua mempunyai lima
kewajiban terhadap anaknya, yaitu sebagai berikut:
- Mencegah anaknya berbuat jahat
- Menganjurkan anaknya berbuat baik
- Memberikan pendidikan profesional
pada anaknya
- Mencarikan pasangan yang sesuai
bagi anaknya
- Menyerahkan warisan kepada anaknya
pada saat yang tepat.
Dalam Sutta ini dapat diketahui bahwa peranan orangtua dalam membina
keluarga
terutama pada
anak-anaknya telah dijelaskan secara rinci oleh Sang Buddha pada waktu itu.
Maka orangtua mempunyai lima
kewajiban yang harus dilakukan kepada anak-anaknya, yaitu:
- Mencegah anaknya berbuat jahat
Orangtua adalah guru yang pertama bagi anak-anak.
Biasanya mereka mendapat
pendidikan dasar
tentang baik dan buruk dari orangtuanya. Sehingga tidak bijaksana orangtua yang
secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan untuk berdusta, menipu,
berbohong, memaki, dendam dan lain-lainnya kepada mereka selagi masih
kanak-kanak. Maka sudah menjadi kewajiban orangtua berusaha menghidarkan mereka
dari kejahatan dan perbuatan tak terpuji itu. Karena sejak kecil seorang anak
belum mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat
dan mana yang tidak bermanfaat, dan lain sebaginya. Sehingga di sinilah peranan
orangtua untuk menanamkan pengertian dan
membiasakan anak-anak agar selalu berbuat baik. Karena hal tersebut sangat
penting baginya sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya.
Anak-anak tidak boleh dibesarkan dengan ketakutan.
Karena hal ini akan sangat
mempengaruhi
kondisi psikologi sehingga akan membahayakan bagi mereka nantinya.
Sehingga dalam memdidik
anak yang penurut, rendah hati sebaiknya di pisahkan dari anak yang mempunyai
karakter ketakutan yang tak beralasan tersebut. Menurut Sang Buddha, katakutan
adalah salah satu dari pasukan mara, si jahat. Maka kita dalam memdidik anak
kita harus menunjukan sikap takutlah pada kejahatan tetapi bukan takut kepada
orang. Karena ketakutan yang tak beralasan ini akan menjadikan anak-anak lemah,
dan secara tak langsung mengembangkan sifat “rendah diri”.
Sebaiknya tidak ada
salahnya kita membaca ceritera-ceritera Jataka tentang kisahnya Pangeran
Pancayudha, Raja Dutugemunu, dan yang lainnya.
Pangeran Pancayudha yang
berumur enambelas tahun, tidak takut berkelahi dengan setan kejam dan jahat.
Suatu ketika Pangeran disarankan untuk tidak melalui hutan yang di diami itu,
ia menjawab, “baiklah, kita mati hanya sekali”. Sehingga ia berjalan melalui
hutan tersebut, tanpa rasa takut dan dapat mengalahkan setan tersebut.
Dalam ceritera Jataka
disebutkan bahwa ada seorang Raja yang mempunyai anak jahat dan ganas. Ia
dibawa kepada seorang pertapa yang tinggal di kebun kerajaan. Lantas pertapa
tersebut berjalan-jalan bersama pangeran di kebun itu. Setelah melihat pohon
nimba yang tingginya kira-kira dua kaki dan hanya berdaun satu atau dua saja,
lalu pangeran menanyakan apa nama pohon itu. Pertapa yang bijaksana tersebut
menyuruh mencoba untuk memakannya. Karena merasa pahit dan tidak enak dari daun
nimba, maka ia segera menyuruh untuk mencabutnya, dengan berpikir bahwa bila
pohon kecil ini sudah pahit kelak supaya tidak tumbuh menjadi besar. “Cabutlah
pohon itu!”, teriaknya. “Tunggu sebentar, O pangeran,” kata pertapa. “Orang
yang telah menilai anda juga demikian. Bila anda sebagai pangeran yang jahat
dan ganas, maka apakah yang akan terjadi bila anda kelak menjadi raja?”
Saat itu pangeran
benar-benar memperhatikan nasehat ini. Sehingga dengan beberapa nasehat saja ia
telah berubah sama sekali.
- Mengajurkan anaknya berbuat
baik
Orangtua adalah guru pertama,
sebelum anak mendapat pelajaran di sekolah.
Orangtua
bertanggung jawab untuk masa depan anak-anaknya agar hidup sesuai dengan apa yang
diharapkan. Maka mengajurkan atau mengajarkan anak untuk berbuat baik adalah
menjadi tanggung jawab dari orangtua. Agar tumbuh menjadi anak-anak yang baik
dan bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Anak-anak sebaiknya tidak
ditinggalkan di bawah asuhan pengasuhnya atau pembantu yang bodoh. Karena akan
berpengaruh pada karakter dan perkembangan psikologi dan ini sangat berbahaya.
Sering anak-anak lebih dekat dengan pengasuhnya daripada orangtuanya sendiri.
Hal-hal seperti ini harus diperhatikan oleh para orangtua untuk mengatasinya.
Selanjutnya setelah
seorang anak mulai berkembang dan mempunyai pengalaman, orangtua mempunyai
kewajiban untuk mengajurkan anak-anaknya berbuat baik sesuai dengan
kemampuannya, karena pada masa itu anak-anak mulai bergaul dengan menemukan
berbagai pengalaman yang turut mempengaruhi tingkah laku dan perbuatannya
sehari-hari. Oleh karena itu, orangtua harus pandai-pandai mengawasi
anak-anaknya tanpa mereka merasa terkekang.
Sebaiknya mereka juga
diajarkan bagaimana melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan
sehari-harinya.
Dengan melaksanakan sila
pertama tidak membunuh atau menyakiti mahkluk hidup, mereka telah membangkitkan
rasa cinta kasih dan kasih sayang kepada mahkluk hidup atau menghargai kehidupan.
Sehingga anak tidak bersikap kejam dan brutal maka mereka mulai mengetahui apa
makna hidup ini.
Sila kedua adalah tidak
mencuri, berarti membangkitkan rasa jujur dan lurus. Demikian juga untuk tidak
mencuri mainan temannya itu pun sebaiknya diajarkan pula. Hendaknya mereka
diajarkan pula sikap untuk memberi dan menolong terhadap orang lain. Sehingga
mereka mempunyai sikap yang dermawan dan suka menolong terhadap sesamanya.
Sila ketiga berkenaan
dengan moral yang baik. Anak-anak sebaiknya diajarkan menjadi suci dan sopan
santun terhadap sesamanya. Perhatian yang sungguh-sungguh harus dilakukan agar
mereka tak bersahabat dengan teman-teman yang jahat. Dalam hubungan ini, maka
orangtua harus menjadi contoh, bila tidak maka mereka akan mengikuti perbuatan
orangtuanya. Karena orangtua bagi mereka merupakan cerminan bagi anak-anaknya. Orangtua yang amoral
jangan mengharapkan anaknya menjadi moralis, tetapi orangtua yang hidup suci
dan bersih justru akan membahagiakan anaknya dan dirinya sendiri.
Sila keempat adalah
bagaimana mereka diajarkan supaya
berkata-kata yang benar. Anak-anak harus diajarkan demikian, orangtua
harus tegas berkata, “Anakku tidak boleh berbohong.” Orangtua harus
mempertimbangkan suatu kesalahan dan harus mengingatkan anak-anaknya. Seperti
dengan cara demikian, “O, anakku sayang, siapa yang benar adalah terpuji dan
siapa yang salah pasti akan dicela. Jadi walaupun berguaru, janganlah berkata
bohong.”
Memfitnah, pada anak-anak
harus dicegah sebelum itu menjadi suatu kebiasaan. Sedapat mungkin jangan
sampai ia melakukan fitnahan seperti mengatakan bahwa kakaknya juga melakukan
kesalahan.
Kata-kata kasar dan omong
kosong harus dihindarkan pula. Anak-anak harus dilatih menggunakan kata-kata
yang lembut dan sopan. Mereka tidak boleh dengan kasar dan tak sadar
mengucapkan kata-kata yang keluar dari pembicaraan mereka. Mereka harus
dinasihati untuk mengucapkan apa yang benar, baik dan fakta. Sebaiknya mereka
menjaga mulutnya sejak masih kecil, sehingga mereka akan terbiasa dengan tutur
kata yang manis dan sopan. Sebab lidah yang tak terlatih merupakan senjata
penghancur dan lebih ganas dari bom atom. Sedangkan lidah yang terlatih akan
membawa banyak orang menjadi baik.
Sila yang kelima
menyadari bahaya yang diakibatkan oleh minuman keras, alkohol, dan narkoba.
Jangan biarkan anak-anak sampai mengenal atau bahkan mencicipi barang-barang
maksiat ini. Bilamana mereka menghadiri pesta-pesta maka orangtua harus
memperhatikan dengan seksama dan sebaiknya memberikan nasehat atau larangan, dan
akibat apa yang akan diderita dengan mengkomsumsi barang maksiat itu.
Karena anak-anak mempunyai sifat ingin
tahu akan kepahitan atau enaknya dari barang-barang tersebut.
Jadi tugas ini merupakan
tanggung jawab orangtua untuk menanamkan dan mengajarkan kepada mereka. Karena
mereka adalah generasi yang harus dikondisikan menjadi generasi yang baik dan
berguna. Sehingga tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua.
- Memberikan pendidikan yang
profesional kepada anak
Ketiga, memberikan pendidikan yang profesional dan pantas adalah
warisan paling tepat dari orangtua untuk anak-anaknya. Pembinaan moral dan
pengetahuan tidalah cukup, karena masih diperlukan lapangan yang baik untuk
menambah ilmu pengetahuan di luar yaitu sekolah. Dengan berinteraksi kepada
dunia luar, si anak akan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Hal ini pun
tidak merugikan, karena kelak mereka pada suatu saat dia akan terjun dan
berkecimpung dalam masyarakat. Tentunya paranan orangtua untuk memberikan
pengertian kepada mereka yang sangat diperlukannya. Maka anak memerlukan
bimbingan untuk mengenal lingkungannya supaya mereka tidak terjerumus pada
pergaulan yang tidak baik.
Pendidikan agama harus
menduduki tempat yang sangat penting dalam kurikulum lembaga pendidikan
Buddhis. Agama tidak boleh dipisahkan dari pendidikdn umum. Karena kemajuan
material dan spiritual harus seimbang sehingga tidak berat sebelah. Janganlah
membiarkan anak-anak mempelajari agama semata-mata hanya untuk kelulusannya dan
formal saja. Pengetahuan Dhamma dipelajari dan dibutuhkan untuk dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti apa
yang tersebut dalam Dhammapada: “Barang siapa yang mempelajari Dhamma tanpa
melaksanakannya, orang tersebut bagaikan gembala yang menghitung-hitung ternak
orang lain.”
Apakah tidak lebih baik
memanfaatkan tenaga untuk untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran yang lebih
menarik dan berguna bagi mereka? Bagi anak-anak, sebelum mereka mencapai
tingkat dimana mereka dapat memilih jurusan akademi, maka sebaiknya pendidikan ditekankan pada pokok-pokok ajaran
yang dapat mengarahkan untuk menjadi perumah tangga yang baik. Janganlah
seperti contoh cerita dibawah ini:
Pada suatu hari di kota kecil Salatiga.
Dimana orangtua mengharapkan anaknya bisa menjadi seorang dokter. Tetapi apa
yang terjadi pada si anak, teryata si anak mempuyai bakat di bidang lain yaitu,
ia menyukai dengan bidang tehnik mesin. Karena orangtua tidak mau mengerti
dengan kemauan dan kemampuan si anak tersebut, maka orangtua tetap memaksakan
agar anaknya kuliah kedokteran. Apa akibatnya bagi dia, awal mulai kuliah anak
ini mulai stress dan depresi. Akibat yang paling fatal adalah anak ini mejadi
gila, dengan demikian pupuslah harapan orangtua.
Jadi ini adalah hanya
salah satu kisah cerita yang kadang-kadang perlu kita renungkan sebagai
orangtua. Walaupun orangtua mempuyai tujuan yang baik tetapi perlu
dipertimbangkan akibatnya bagi si anak, supaya tidak terjadi seperti kasus
cerita di atas. Jadi kita sebagai orangtua harus bijaksana dan anak-anak kita beri
kebebasan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Satu lagi walaupun
perhatian banyak ditujukan pada pendidikan, tetapi ada yang tidak boleh
dipisahkan serta dilupakan yaitu memperhatikan kesehatannya. Seorang anak yang
sakit-sakitan tak akan sanggup membantu dirinya sendiri, keluarga dan
masyarakat.
- Mencarikan pasangan yang sesuai
untuk mereka
Keempat, membantu mencarikan pasangan yang sesuai bagi anak-anaknya.
Carilah yang memiliki Saddha artinya
mempunyai keyakinan atau agama yang sama dan berlindung pada Tiratana; carilah
yang berperangai baik, murah hati dan tidak kikir namun tidak boros; dan
carilah yang memilki kebijaksanaan yang cukup artinya pengertian, hormat setia
dan sebagainya.
Dalam Maha Mangala
Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar kelak menjadi istri yang membawa
berkah adalah sebagai berikut: ia harus orang yang ramah tamah, usianya
sepadan, setia, baik hati, dan subur (dapat memberikan keturunan), memilki
keyakinan, bermoral serta berasal dari keluarga baik-baik.
Walaupun pemilihan
dibatasi pada kreteria-kreteria tertentu, adalah lebih baik mengelak memilih
seorang pria untuk dijadikan suami bila ia adalah; hidung belang, pemabuk,
penjudi dan pemboros, (Vasala Sutta). Kesehatan hendaknya diperhatikan sebelum
mereka melaksanakan pernikahan. Kalau tidak orangtua akan dihina karena
keturunan mereka. Maka perlu memperhatikan hal ini demi kelangsungan dan masa
depan anak-anak kita.
- Memberikan warisan pada saat
yang tepat
Sebagai yang terakhir, memberikan warisan pada saat
yang tepat. Orangtua yang
baik bukan hanya
mencitai dan memelihara anak-anaknya selama dalam asuhan mereka saja, tetapi
juga mempersiapkan kebahagiaan anak-anaknya di masa mendatang. Walaupun dengan
dengan susah payah mereka mengumpulkan dan menyimpan harta, tetapi mereka akan
menghadiahkannya dengan tulus dan rela kepada anak-anaknya. Warisan ini tidak
hanya yang berbentuk materi, tetapi juga yang bukan materi seperti cinta kasih,
ketulusan, kesabaran dan sebagainya. Justru warisan ini sangat penting untuk
anak-anak kita. Jadi apa yang ditentukan sebagai sutau kewajiban bagi orangtua
ini adalah merupakan sikap moral yang luhur karena akan mencegah terjadinya
perselisihan dan konflik di antara mereka sebagai ahliwaris.
Dapat disimpulkan bahwa
agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama atau yang
terakhir baik pria maupun wanita, yang sukses dalam pendidikan atau tidak;
sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan akan dilandasi pengertian benar
yang akhirnya tidak ada rasa irihati dan kecemburuan. Sehingga mereka bisa
mempergunakan warisan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Karena harapan
orangtua adalah supaya hidup mandiri dan sukses baik secara lahir maupun
batinya.