Apakah SAYA salah satu orangnya?
Entahlah, apakah Anda setuju dengan celetukan di atas
atau sebaliknya. Yang jelas, di tengah-tengah kepedihan bangsa kita yang
dilanda berbagai bencana alam belakangan ini, masih begitu dalam keprihatinan
kita terhadap merajalelanya korupsi di negeri ini. Dengan kata lain, luka
bangsa ini karena munculnya krisis multidimensi: ekonomi, kepemipinan, moralitas,
dan lingkungan, kini menjadi lebih menganga dan tentu bertambah perih karena
datang berbagai bencana alam di negeri tercinta ini.
Tak pelak lagi, beberapa orang mengaitkan bahwa
bencana-bencana alam yang menimpa Bangsa Indonesia
adalah kutukan bahwa moral Bangsa Indonesia sudah teramat rendah.
Gejala Lupa Diri
Dalam keadaan duka, biasanya kita lebih sadar. Setelah
mengalami kecelakaan dan musibah, biasanya kita lebih waspada. Dikatakan
“biasanya” karena ada juga kasus-kasus luar biasa. Ada juga yang sudah mengalami kecelakaan,
sudah babak belur, tetapi masih tetap belum sadar.
Berangkat dari keprihatinan, kalau boleh
menengok ke kehidupan berbangsa kita yang terpuruk ini, ada saudara kita di
antara para pejabat ini termasuk golongan luar biasa. Sudah tahu persis betapa
buruknya keadaan negara, masih saja membebani negara dengan masalah-masalah yang berbahaya; dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah penyakit ‘lupa diri,’ jenis penyakit
aneh; ia membuat orang lain di sekelilingnya merasa geli dan muak tetapi
penderitanya sendiri tidak merasa menjadi “penderita” bahkan lenggang-
kangkung saja.
Mencari Akarnya
Banyak orang tidak tahu bahwa kejahatan adalah
kejahatan apapun alasannya. Kami memiliki pengertian bahwa tabungan kejahatan
dan tabungan kebaikan berada di bank yang berbeda. Jadi, bukan di satu bank
yang bisa mengakibatkan kata “impas.” Bank yang berbeda ini, juga memiliki bunga
yang berbeda. Tidak heran, dalam kehidupan kita sehari, kita selalu berhadapan
dengan wajah kehidupan yang selalu berubah: suka, duka, untung, rugi, dipuji,
dicela, gembira, bersedih dan masih banyak lagi. Apakah sebabnya? Karena,
selain melakukan perbuatan baik, kita juga masih melakukan perbuatan jahat,
apakah lewat pikiran, ucapan, atau perbuatan badan jasmani
Pengertian yang sederhana ini sekaligus juga mempertegas
bahwa orang yang melakukan korupsi adalah orang yang sedang menabung pada
“bank” yang buruk. Semakin banyak tindakan tercela yang dilakukan, semakin
besar juga bunga kejahatan yang harus ditanggungnya. Pada saat yang sama,
semakin parah juga ia membahayakan dirinya maupun orang lain.
Oleh karena itu, kita juga hendaknya tahu benar bahwa
akar atau sebab dari masih gemarnya seseorang yang melakukan tindakan korupsi
adalah ketidaktahuan atau pengetahuan salah. Kami menyebutnya dengan satu kata:
kekeotoran batin (Asava).
Disebut ketidaktahuan karena orang yang bertindak
kejahatan sedang tidak sadar pada kejahatan yang dilakukannya. Ia tidak
memiliki rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan tidak memiliki rasa takut
akan akibat perbuatan jahat yang dilakukannya (ottappa). Ia tidak tahu bahwa
tindakannya selain mencemari kehidupan masyarakat juga akan merusak tatanan
bangsa. Ia tidak tahu bahwa kejahatan yang dilakukannya akan mengancurkan
hidupnya sendiri juga membahayakan bahkan menghancurkan kehidupan orang lain.
Disebut pengetahuan yang salah karena tindakan korupsi
dimotivasi oleh pengertian-pengertian yang justru menyuburkan korupsi. Misalnya
ada pengertian bahwa kesalahan boleh dilakukan bila itu demi kebaikan, demi
manfaat banyak orang. Dengan kata lain, membenarkan diri mengambil harta yang
tidak diberikan (korupsi) asal untuk keperluan yang dianggapnya baik. Misalnya,
merasa nyaman melakukan korupsi karena bertujuan untuk pembangunan tempat
ibadah.
Yang lebih menyedihkan lagi, seorang teman melihat
spanduk yang dipasang di tempat umum yang bertuliskan, “Bersihkan penghasilan/harta
anda dengan beramal.”
Bukankah ini berbahaya? Kalau seseorang korupsi 3
milyar, kemudian beramal 1 milyar untuk pembangunan tempat ibadah, apakah ini
tidak menyedihkan?
Yang lain lagi berpengetahuan bahwa kebenaran dapat di
permainkan. Orang ini berpikir bahwa,”Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Pemaaf.”
Sehingga berangkat dari pengertian ini, ketika seseorang masih menjabat maka itu
dianggap kesempatan selebar-lebarnya untuk mengumpulkan harta, tidak peduli
caranya benar atau tidak! Toh suatu saat, Tuhan akan memaafkan hambanya sehina
apapun! Deretan pengertian atau pandangan inilah inilah yang kami sebut
pengetahuan salah.
Memperbaiki Kaca Mata
Ibarat menggunakan kaca mata, selama kaca mata yang
digunakan seseorang berwarna merah maka apapun yang dilihatnya akan berwarna
merah pula. Betapapun orang lain menujukkan kesalahannya, orang seperti ini
akan kukuh pada pendiriannya.
Begitu pula, selama masih memiliki ketidaktahuan dan
pengertian salah maka orang seperti ini tidak sadar pada kejahatan yang
dilakukannya. Selama menggunakan kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah
tersebut, betapapun orang lain memberikan peringatan, ia tidak ambil peduli. Ia
merasa benar dengan perbuatan yang dilakukannya, bahkan ia merasa berjasa dan
dengan tindakan-tindakan kelirunya.
Oleh karena itu, berangkat dari keprihatinan, cobalah
memperbaiki bahkan mengganti kaca mata ketidaktahuan dan pengertian salah
tersebut.
Mencabut Akar Kejahatan
Ibarat memotong rumput, rumput masih akan tetap tumbuh
bila kita hanya memotong batangnya. Bila menginginkan agar rumput tidak tumbuh
lagi maka kita harus mencabut sampai ke akar-akarnya.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa keserakahan bin
ketamakan alias kerakusan yang mengalir bersama nafsu keinginan yang didorong
oleh pengertian yang salah atau ketidaktahuan (asava) merupakan akar kejahatan yang
akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan kehidupan berbangsa yang adil dan
makmur.
Namun, kekotoran batin (Asava) yang bersarang di dalam
pikiran masing-masing orang ini tidak bisa dihilangkan dengan ritual semata. Jadi
berdoa berjuta-juta kalipun tidak akan mengikis kekotoran batinnya. Kekotoran
batin harus dibersihkan dengan latihan terus-menerus (bukan latihan sebulan,
dua bulan, atau tiga bulan).
Buddhisme menawarkan sebuah cara yang ampuh. Pertama,
menjalankan sila atau pengendalian diri. Orang yang mengendalikan dirinya akan
memiliki sifat malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat.
Sehingga yang dipilihnya adalah tindakan-tindakan yang baik dan berjuang untuk
menjauhi tindakan-tindakan yang jahat. Yang kami maksud mengendalikan diri juga termasuk mengendalikan indria-indria
yang lain. Ia mengendalikan matanya, jangan sampai matanya gemar atau senang
terhadap pemandangan-pemandangan yang dapat merusak moralnya. Demikin juga ia
mengendalikan indera-indera yang lain: telinga (suara), lidah (rasa), hidung
(penciuman), dan kulit (sentuhan). Dengan ungkapan yang lebih jelas. Ia
mengendalikan indria-indria itu sehingga tidak sampai menimbulkan pembunuhan
makhluk hidup, pencurian (mengambil barang yang tidak diberikan), perbuatan asusila (berzinah), berbohong
(termasuk fitnah, kata-kata kasar dan omong kosong) dan mabuk-mabukkan.
Kedua, mengembangkan kesadaran (samadhi). Buddhisme memiliki keyakinan bahwa
sumber dari segala kejahatan adalah pikiran yang tidak sadar (ketidaktahuan
atau pandangan salah). Oleh karena itu, mengembangkan kesadaran adalah pilar
utama dari pengendalian diri. Bila kesadaran di kembangkan maka seseorang tidak
akan memiliki nafsu untuk melakukan pembunuhan, pencurian, berzinah, berbohong
dan mabuk-mabukkan.
Dan langkah yang ketiga yaitu mengembangkan
kebijaksanaan (Pannya). Kebijaksanaan yang kami maksud di sini tidaklah sama
dengan kebijakan dalam arti umum, seperti kebijakan pemerintah dan lain
sebagainya. Kebijaksaan ini datang dari pikiran yang jernih, pikiran yang
sadar. Kebijaksanaan inilah yang mampu mencabut bersih kekotoran batin (asava).
Orang yang bijaksana akan melihat dengan terang dan jelas bahaya dari tindakan
korupsi.m Orang yang bijaksana tidak akan melakukan tindakan yang dapat
menghancurkaan orang lain bahkan makhluk lain. Orang yang bijaksana memiliki
pikiran bersih, ucapan bersih dan perilaku yang bersih.
Bila kita telah mengaplikasikan jalan-jalan ini, tidak
akan ada agi keraguan luntuk berkata, “Saya bukanlah seorang koruptor!” Bahkan
bagi orang-orang seperti ini, tidak perlu lagi bertanya atau menjawab
pertanyaan pada judul di atas. Apa yang telah ditunjukkan melalui sikapnya,
perbuatan badan jasmaninya, ucapannya dan pemikiran-pemikirannya sudah lebih
dari cukup untuk menjawab pertanyaan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot