Selasa, 25 Maret 2014

Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati :
“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”
Kemudian pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal; tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah ini.
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Bumi telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Setelah berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian. Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.
Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :
“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”

Artinya :
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Di kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru; binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.



Jumat, 21 Maret 2014

Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna (Penerangan Agung)

Petapa Gotama melanjutkan perjalanannya, dan pada sore hari akhirnya ia tiba di Gaya. Ia memilih untuk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi. Kemudian ia menyiapkan tempat di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Ia kemudian bertekad dan berkata dalam hati:

“Dengan disaksikan oleh Bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana.

Sotthiya mempersembahkan rumput kering untuk digunakan sebagai alas bermeditasi bagi Petapa Gotama

Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang rendah orang lain. Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang merintangi Pembebasan, yaitu:
o   Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana)
o   Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana) 
o   Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o   Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana) 
o   Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana) 

Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat. Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai vitakka(pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”. Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsetrasi”. Petapa Gotama telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni”. Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai 'aku' atau 'milikku'. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan - yang dilandasi oleh kemampuan batin).
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.
dig7 � a , 8�� `A� n tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.

Persembahan Makanan Dari Sujata

Di dekat tempat itu tinggallah seorang wanita muda kaya-raya yang bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya untuk mendapatkan anak laki-laki dapat tercapai. Hari itu Sujata mengutus pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon tersebut. Sujata pun kaget ketika pelayannya datang kembali dengan tergesa-gesa dengan memberitahukan bahwa dewa pohon itu saat ini muncul. Mendengar hal ini Sujata gembira sekali. Sujata dengan menggendong bayinya kemudian bersama pelayan-pelayannya membawa berbagai masakan yang lezat untuk pergi ke tempat pohon itu. Sujata melihat dewa pohon itu sedang bermeditasi dan kelihatannya sangat agung. Ia tidak tahu bahwa orang yang dia anggap sebagai dewa pohon itu adalah Petapa Gotama. Kemudian Sujata dengan hati-hati mempersembahkan semua makanan kepada Petapa Gotama, yang dikiranya sebagai dewa pohon. Petapa Gotama menerima persembahan itu, dan setelah habis menyantapnya ia pun bertanya:

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang agung, makanan ini aku persembahkan sebagai ucapan terima kasihku karena Tuanku telah mengabulkan permohonanku untuk mendapatkan anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menengok ke arah bayi itu dan meletakkan tangannya di dahi bayi itu. Petapa Gotama pun berkata:
“Semoga hidupmu selalu diliputi berkah dan keberuntungan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi seorang petapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada semua makhluk yang berada dalam jalan kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat aku akan memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini, persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itulah, maka engkau pasti akan mendapatkan berkah yang sangat besar akibat persembahanmu ini. Tetapi, adikku yang baik, apakah engkau sekarang bahagia dan semua kehidupanmu sudah terpuaskan dari segala sisinya?”
“Tuanku yang agung, aku tidak menuntut banyak di kehidupan ini. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk Bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah puas dapat hidup bersama dengan suamiku dan membesarkan anak ini. Setiap hari dengan senang aku mengurusi semua pekerjaan rumah tangga, memberi sesajen kepada para dewata, serta tidak lupa kami sekeluarga selalu berbuat baik dan menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Kami sekeluarga tahu bahwa keberuntungan selalu datang dari perbuatan baik, dan kemalangan selalu datang dari perbuatan jahat. Oleh karena itulah, apa yang musti kami sekeluarga takuti meski tiba saatnya kematian datang nanti?”

“Kau sudah memberikan penjelasan sederhana yang mengandung saripati kebajikan sangat tinggi di dalamnya. Meski kau tidak mempelajari semua segi dunia ini, namun kau dan sekeluargamu tahu jalan kebenaran dan menyebarkan keharuman sampai ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapatkan kepuasan, maka semoga aku pun juga akan mendapatkan apa yang aku cari.”
“Semoga Tuanku yang agung berhasil mencapai apa yang Tuanku cari selama ini.”

Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya (adhitthana) dalam hati:
“Jika memang jalan yang aku jalani ini benar dan akan membawaku pada Pencerahan Sempurna, biarlah mangkuk ini mengalir melawan arus sungai.”

Satu keajaiban pun terjadi, karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus. Hal ini membuat Petapa Gotama mendapatkan semangat baru dan kepercayaan yang sangat tinggi.


Bertapa Bersama 5 Orang Pertapa

Petapa Gotama kemudian sampai di Senanigama, di Uruvela. Di tempat ini Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa lain yang bernama Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna. Mereka menerapkan cara ekstrim agar dapat mengendalikan batin dan kesadaran mereka, yang mereka percaya dapat menyelami kebenaran sejati guna menemukan cara menghindari usia tua, sakit dan mati. Mereka berlima bersama Petapa Gotama berlatih dengan menyiksa diri. Petapa Gotama melaksanakan latihan dengan cara yang paling ekstrim di antara mereka semua. Petapa Gotama menjemur dirinya di bawah terik matahari pada hari siang, dan pada waktu tengah malam ia berendam di sungai dalam waktu yang sangat lama. Ia juga merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Dengan sakit yang demikian hebatnya, Petapa Gotama berusaha agar batinnya tidak melekat, selalu waspada, tenang serta fokus. Setelah beberapa lama, Petapa Gotama kemudian menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar dari hidung atau mulut, namun keluar sedikit demi sedikt dari lubang telinga sehingga mengeluarkan suara yang mendesis. Petapa Gotama juga berpuasa dengan mengurangi makanannya dari hari ke hari, hingga hanya memakan sebutir nasi dalam waktu satu hari. Karena hal inilah maka kesehatan tubuhnya sangat memburuk. Badannya kurus sekali. Saking kurusnya, bahkan jika perut bagian depan ditekan dengan jari tangan, maka bagian punggung bawah pun akan muncul tonjolan akibat dari bagian perut depan yang ditekan tersebut. Kulit dan dagingnya sudah tersisa sedikit sekali. Ia bagaikan tengkorak hidup. Warna kulitnya berubah menjadi gelap kehitam-hitaman dan banyak rambutnya yang rontok. Ia juga tidak sanggup berdiri karena kakinya sangat lemah. Hal ini diketahui oleh orang kepercayaan Raja Suddhodana yang kemudian melaporkannya kepada Raja. Raja dan seluruh anggota istana menangisi keadaan Petapa Gotama. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap agar Petapa Gotama dapat dengan segera menjadi Buddha.
T umimbal Lahir (proses penerusan kehidupan). Dalam waktu yang singkat, ia sudah menyamai kepandaian gurunya. Petapa Gotama merasa semua pengetahuan yang diajarkan gurunya ini masih belum bisa mengakhiri usia tua, sakit dan mati. Maka Petapa Gotama pun mohon diri dan melanjutkan pengembaraannya. Di tempat lain, Pertapa Gotama bertemu dengan Pertapa Uddaka Ramaputta dan ia pun melatih diri bersamanya. Uddaka Ramaputta terkenal sebagai petapa yang hebat di zaman itu. Di sana Petapa Gotama dan Petapa Uddaka Ramaputta mengembangkan cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga dapat mencapai keadaan “bukan-pencerapan dan bukan bukan-pencerapan”. Dalam waktu yang singkat, Petapa Gotama berhasil mencapai tingkat kemampuan yang tinggi. Karena itu Petapa Gotama diminta untuk menjadi mitra dan membantu untuk mengajarkan semua ilmunya kepada murid-murid Uddaka Ramaputta yang banyak sekali. Karena semua pengetahuan yang ia miliki sekarang masih juga belum berhasil mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Petapa Gotama pun mohon diri dan kembali meneruskan pengembaraannya.

Petapa Gotama pun berpikir jika cara yang ia terapkan sekarang adalah tidak benar. Ia merasa bahwa untuk melatih diri agar batin tidak lagi melekat dan selalu waspada pada setiap saat tidak harus dilakukan dengan cara seperti ini. Petapa Gotama pun mandi di sungai, kemudian berjalan dengan tertatih-tatih ke gubuknya untuk beristirahat. Namun ketika berjalan tidak seberapa jauh dari sungai, Petapa Gotama jatuh pingsan. Pada waktu itu ada seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang menemukannya. Ia kemudian memberi air susu kambing kepada Petapa Gotama sehingga dia pun menjadi siuman kembali. Petapa Gotama selalu dirawat oleh Nanda dan diberikan berbagai makanan bergizi sehingga perlahan pun kesehatannya pulih kembali. Hal ini diketahui oleh lima orang petapa yang lain. Mereka menganggap Petapa Gotama sudah gagal, maka mereka pergi meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.

Saat kesehatan Petapa Gotama sudah pulih, ia kembali melakukan pertapaannya. Petapa Gotama merenungkan tentang cara-caranya selama ini, dan berusaha untuk mencari jalan yang benar agar dapat menemukan cara menghindari usia tua, sakit dan mati. Ketika ia sedang merenungkan hal ini, lewatlah serombongan penari ronggeng yang berjalan sambil berbincang-bincang. Salah satu dari penari ronggeng itu kemudian berkata:

“Kalau kecapi dipetik terlalu keras, maka talinya akan putus sehingga lagunya hilang. Kalau dipetik terlalu lemah, maka suaranya tidak akan harmonis. Orang yang dapat memainkan kecapi dengan baik adalah orang yang dapat memetik kecapi dengan tepat, sehingga lagunya harmonis
. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap agar Petapa Gotama dapat dengan segera menjadi Buddha.


Bertapa di Hutan Uruvela

Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran Siddhattha lalu pergi ke kebun mangga di Anupiya dan berdiam di sana sampai tujuh hari. Suatu pagi Pangeran berjalan ke arah Rajagaha untukpindapata (berjalan dengan mangkuk dan menerima pemberian makanan dari para penduduk). Di sana Pangeran (Petapa Gotama) menolong sekawanan domba-domba yang akan disembelih oleh satu kelompok aliran kepercayaan di Pandavapabbata. Pangeran lalu menjelaskan betapa hal itu adalah kesia-siaan, dan akhirnya penyembelihan domba itu pun tidak sampai terjadi. Raja Bimbisara terkesima dengan kebijaksanaan Petapa Gotama. Raja Bimbisara pun mengundang Petapa Gotama untuk tinggal di kerajaannya dan membabarkan ajarannya kepada banyak orang. Tetapi Petapa Gotama menolaknya dan menjawab:

“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat mencintai orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri, dan semua makhluk di dunia ini. Aku belum mencapai Pencerahan Sempurna. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku masih ingin melanjutkan perjalananku.”

Raja Bimbisara kemudian menjawab:

“Kalau itu menjadi keputusanmu, aku juga tidak akan memaksa. Tapi berjanjilah bila Anda sudah mendapatkan obat itu, maka jangan lupa untuk mengunjungi Rajagaha kembali.”

Dan Petapa Siddhattha mengiyakan permintaan Raja Bimbisara itu: “Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari Rajagaha, Petapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan sampai di tempat Petapa Alara Kalama. Di tempat ini Petapa Gotama berguru pada Petapa Alara Kalama. Petapa Gotama diajari tentang cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan konsep Tumimbal Lahir (proses penerusan kehidupan). Dalam waktu yang singkat, ia sudah menyamai kepandaian gurunya. Petapa Gotama merasa semua pengetahuan yang diajarkan gurunya ini masih belum bisa mengakhiri usia tua, sakit dan mati. Maka Petapa Gotama pun mohon diri dan melanjutkan pengembaraannya. Di tempat lain, Pertapa Gotama bertemu dengan Pertapa Uddaka Ramaputta dan ia pun melatih diri bersamanya. Uddaka Ramaputta terkenal sebagai petapa yang hebat di zaman itu. Di sana Petapa Gotama dan Petapa Uddaka Ramaputta mengembangkan cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga dapat mencapai keadaan “bukan-pencerapan dan bukan bukan-pencerapan”. Dalam waktu yang singkat, Petapa Gotama berhasil mencapai tingkat kemampuan yang tinggi. Karena itu Petapa Gotama diminta untuk menjadi mitra dan membantu untuk mengajarkan semua ilmunya kepada murid-murid Uddaka Ramaputta yang banyak sekali. Karena semua pengetahuan yang ia miliki sekarang masih juga belum berhasil mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Petapa Gotama pun mohon diri dan kembali meneruskan pengembaraannya.

Pangeran Siddhattha Meninggalkan Istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja Suddhodana mengadakan satu pesta yang sangat mewah. Tapi Pangeran Siddhattha tampak terdiam dan tidak berbahagia. Dengan berhati-hati Pangeran pun mendekati Raja, kemudian memohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati di pedalaman hutan. Hal ini membuat Raja menjadi marah besar. Kemudian Pangeran Siddhattha mengganti permohonannya menjadi suatu permintaan yang mustahil bisa dilakukan oleh semua orang atau pribadi manapun.

“Ayahanda, kalau aku tidak diberikan izin, maka mohon kiranya Ayahanda berkenan memberikan delapan macam anugerah kepadaku.”

“Tentu saja, anakku. Aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu kali ini.”

“Kalau begitu, mohon Ayahanda memberikan kepadaku :

1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak menderita penyakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayahanda tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama dengan semua kerabat dapat tetap bersamaku.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap berjaya seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, sakit dan mati pada semua makhluk.”


Mendengar pernyataan tersebut, Raja menjadi kaget dan kecewa. Raja kemudian membujuk Pangeran Siddhattha dengan berkata:

“Anakku, usiaku sekarang sudah tua. Tunggu dan tangguhkan kepergianmu saja setelah aku mangkat.”

“Ayahanda, relakan kepergianku justru sewaktu Ayahanda masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, aku akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayahanda.”


Perdebatan terus berlangsung, sampai Pangeran merasa frustasi dan pergi ke kamarnya. Raja memerintahkan para dayang yang cantik untuk menyusul Pangeran dan menghiburnya, agar Pangeran dapat melupakan niatnya itu. Dayang-dayang cantik masuk ke kamar dan menghibur Pangeran Siddhattha. Karena Pangeran kelelahan, maka dia pun terlelap di kamar itu. Para dayang pun berhenti menghibur Pangeran dan ikut tertidur di kamar itu. Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat para dayang itu tergeletak dan tidur simpang-siur dalam berbagai posisi. Ada yang terlentang, ada yang terkelungkup, ada yang mulutnya menganga, ada yang air liurnya mengalir keluar, ada yang menggigau, dan masih banyak lagi. Pangeran merasa dirinya berada di pekuburan sehingga membuatnya merasa jijik. Karena hal itulah, maka Pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana malam itu juga. Pangeran memanggil Channa dan menyuruhnya untuk menyiapkan Kanthaka. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat anak dan istrinya sebelum pergi untuk bertapa. Yasodhara sedang tidur nyenyak dan memeluk Rahula. Wajah Rahula berpaling dan menghadap ke arah dekapan ibunya, sehingga wajahnya tidak dapat terlihat. Pangeran ingin menggeser sedikit sehingga wajah Rahula dapat terlihat. Namun hal itu diurungkan karena takut kalau Yasodhara terbangun dan rencananya bisa gagal. Pangeran Siddhattha pun berkata dalam hati:

“Biarlah malam ini aku tidak dapat melihat wajah anakku, tapi nanti setelah aku berhasil mendapatkan obat itu, aku akan datang kembali dan dengan puas melihat wajah anak dan istriku.”

Kamis, 20 Maret 2014

Peristiwa di tepi Sungai Anoma

Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur mlang melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; mereka semua tak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sãkya, Koliya, dan Malla. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anoma dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.

Pelepasan Kuduniawian

Keempat peristiwa agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani sang pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana - Rãhula, yang lahir pagi itu.

Sang pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang berbahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan

Empat Penampakan

1. Orang Tua
Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.

Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

2. Orang Sakit
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

3. Orang Mati
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: "Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodhara, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati."
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.


4. Pertapa Suci 
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

Pernikahan Pangeran Siddhattha

Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.
Pada saat itu tahun 547 S.E.U (607 S.E.U) atau tahun 64 S.E.B, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. 
Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai isteri.
Berita pemilihan isteri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi isteri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodhara, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.


Welas Asih Pangeran Siddhatta

Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.


Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, "Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!"

Masa Kecil dan Pendidikan

Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Pu??arika dengan teratai putihnya.
Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Veda?ga yang terdiri dari ilmu fonetik (sik?a), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyakara?a), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyoti?a).
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

Masa Kanak-Kanak Pangeran Siddhattha

Ketika Pangeran Siddhattha menginjak usia kanak-kanak, Raja Suddhodana mengajaknya ke perayaan membajak yang sudah menjadi tradisi Kerajaan Sakka. Raja juga turut membajak bersama para petani dengan memakai alat bajak yang terbuat dari emas. Perayaan berlangsung sangat menarik, sehingga para dayang yang bertugas untuk menjaga Pangeran Siddhattha malah meninggalkannya. Di sana, Pangeran kecil pun melihat satu fenomena kehidupan yang cukup membuatnya heran. Di sana Pangeran melihat seekor cacing yang dimakan oleh seeokor katak, kemudian katak itu dimangsa oleh seekor ular, dan kemudian ular itu diterkam oleh seekor burung untuk kemudian dimakannya. Pangeran pun tertegun dengan kejadian itu. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa kebahagiaan di kehidupan hanyalah sementara, karena kelak akan tiba saatnya menderita. Pangeran juga merasa heran kenapa banyak makhluk yang harus menderita seperti ini, dan terus menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa ketakutan dan kesenangan semu. Pangeran lalu merenungkannya di bawah pohon jambu pada tengah hari saat itu. Ketika para dayang kembali, mereka terheran melihat Pangeran Siddhattha sedang duduk bersila dan tidak menghiraukan sekelilingnya. Mereka lantas melaporkan hal ini kepada Raja. Raja Suddhodana pun lekas menengok putranya bersama semua orang di perayaan itu. Raja Suddhodana dan orang-orang pun terheran ketika melihat Pangeran Siddhattha. Mereka juga melihat keajaiban, dimana jatuhnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti arah sinar matahari, namun tetap memayungi Pangeran Siddhattha yang sedang bermeditasi. Melihat kejadian ini, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.

Ketika Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah kolam di halaman istana untuk ditanami Bunga Teratai. Satu kolam ditanami bunga teratai berwarna biru (Upalla), satu kolam ditanami bunga teratai berwarna merah (Paduma), dan kolam lainnya dengan bunga teratai berwarna putih (Pundarika). Raja juga memesan wewangian, pakaian, dan tutup kepala dari Negeri Kasi, yang waktu itu merupakan negeri penghasil barang bermutu tinggi. Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran Siddhattha dengan sebuah payung yang indah kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam sebagai lambang keagungannya. Setelah usianya cukup, Pangeran Siddhattha pun dibawa pada seorang guru bernama Visvamitta. Pangeran diberikan pelajaran berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddhattha dapat memahami semua pelajaran dalam waktu yang singkat, sehingga tidak ada lagi yang dapat diajarkan kepadanya.




Rabu, 19 Maret 2014

Upacara Pemberian Nama


Raja Suddhodana mempunyai guru yang dikenal dengan nama petapa Asita. Ketika petapa Asita mendengar bahwa putra mahkota telah lahir, maka petapa asita pun pergi ke istana mengunjungi raja Suddhodana. Sesampainya di istana, Raja Suddhodana merasa sangat bahagia karena gurunya datang berkunjung. Raja lalu membawa putra mahkota kepada petapa Asita, agar bayi tersebut dapat memberikan hormat kepada guru kerajaan, tetapi.... Kaki bayi tesebut malah bertumpu di kepala petapa Asita. Karena merasa heran dan menyadari kekuatan dari Boddisatta, maka petapa Asita segera memberikan hormat kepada bayi tersebut. Raja Suddhodana pun ikut memberikan hormat. Inilah penghormatan Raja yang pertama kalinya.
Petapa Asita lalu memeriksa tubuh pangeran dan menemukan pada tubuh pangeran ada tanda-tanda dari mahkluk agung. Mengetahui hal ini, petapa Asita tertawa sangat bahagia, lalu setelah itu ia menangis tersedu-sedu. Melihat hal tersebut, Raja merasa sangat heran dan ia bertanya kepada gurunya apakah ada hal buruk yang akan menimpa bayi tersebut? Petapa Asita menjawab “ Oooo.. tidak, tidak ada hal buruk yang akan menimpa putra mahkota. Sya tertawa karena merasa sungguh beruntung dapat bertemu dengan-Nya. Sesungguhnya kelak, ia akan menjadi Buddha. Saya menangis karena tidak akan cukup waktu bagi saya untuk meyaksikan tercapainya pencerahan-Nya. Ini adalah kerugian besar bagi saya”
Setelah kelahiran putra mahkota, Raja dan ratu sangat gembira, hingga suatu ketika Raja mengadakan upacara pemberian nama. Raja mengundang 180 orang brahmin untuk hadir dalam upacara tesebut. Para brahmin tersebut setelah melihat bayi tersebut menyampaikan kepada raja bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada bayi tersebut. Jika ia memilih kehidupan berumah tangga, maka ia akan menjadi Raja Adidunia, dan jika ia meniggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa maka ia kan menjadi Buddha. Para brahman tersebut juga menyampaikan bahwa pangeran akan meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa setelah melihat 4 peristiwa, yaitu orang tua, orang sakit, orang meninggal dan petapa.

Pangeran kecil akhirnya di beri nama “Siddhartha” yang berarti “ yang akan terpenuhi pengharapannya”. Pangeran kecil diberi nama tersebut karena para brahmin telah meramalkan bahwa pangeran kecil ini kelak akan mencapai Kebuddhaan. Sehingga pangeran kecil ini dikenal dengan nama “ Siddharta Gautama”


Kelahiran Bodhisatta

Ketika Ratu Mahamaya sampai pada tahap akhir dari kehamilannya, Ratu merasakan keinginannya untuk mengunjungi Devadaha, tempat tinggal sanak saudara kerajaannya. Ia memohon restu dari Raja Suddhodana dan Raja pun merestuinya.
Raja melakukan persiapan dengan megah. Setelah persiapan selesai,Raja mendudukkan Sang Ratu di dalam tandu emas baru yang diangkat oleh seribu prajurit istana, dengan dikawal oleh para pengawal dan pelayan untuk melakukan berbagai tugas selama dalam perjalanan. Dengan kemegahan dan kemuliaan demikian, Sang Ratu berangkat menuju Kota Devadaha.
Di antara Kapilavatthu dan Devadaha, terdapat hutan pohon Sala yang dinamakan Taman Lumbini, yang merupakan tempat rekreasi bagi orang-orang dari kedua kerajaan. Ketika Mahamaya Dewi sampai disana, semua pohon Sala di hutan itu berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Menyaksikan taman Lumbini dengan segala keindahannya Mahamaya Dewi merasakan keinginan untuk bersantai dan beristirahat di dalamnya. Raja Suddhodana pun mengabulkan permohonan Sang Ratu.
Pada saat Mahamaya Dewi memasuki taman, semua dewa berseru yang gemanya menembus sepuluh ribu alam semesta, “Hari ini Boddhisatta akan terlahir dari kamar teratai rahim ibu-Nya.” Para dewa dan Brahma dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini, mereka membawa berbagai macam harta benda yang indah sebagai penghormatan dalam kelahiran boddhisatta. Langit surga ditutupi oleh payung putih surgawi dan terompet kulit kerang pun ditiup.
Segera setelah Mahamaya Dewi memasuki Taman Lumbini, ia merasakan desakan untuk meraih dahan sebatang pohon Sala yang sedang mekar penuh, batangnya bulat dan lurus.Seolah-olah bergerak, dahan tersebut merunduk dengan sendirinya seperti tongkat rotan yang lunak karena dipanaskan, sehingga dahan tersebut menyentuh telapak tangan Ratu, sebuah peristiwa ghaib yang menggemparkan.
Dengan berpegangan pada dahan pohon Sala, Ratu Mahamaya berdiri dengan anggun dengan berpakaian dari bahan kain broklat berbenang emas dan selendang bersulamkan hiasan-hiasan indah berwarna putih yang mirip mata ikan yang menutupi sampai ujung jari kakinya. Pada saat itu ia merasakan tanda-tanda kelahiran. Para pelayannya buru-buru membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai.
Pada saat itu, tiba-tiba sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan samudera raya bergolak, berguncang dan berputar bagaikan roda pembuat tembikar. Dewa dan Brahma berseru gembira dan menyiramkan bunga-bunga dari angkasa; segala alat musik secara otomatis memainkan lagu-lagu yang indah dan merdu. Seluruh alam semesta menjadi terlihat cerah dan jernih tanpa halangan di semua arah. Fenomena-fenomena ajaib ini yang seluruhnya berjumlah tiga-puluh-dua (32) terjadi menyambut kelahiran Boddhisatta.
Pada saat kelahiran Boddhisatta, dua mata air, hangat dan dingin mengalir dari angkasa dan jatuh di tubuh Boddhisatta yang memang telah bersih dan suci dan tubuh ibunya sebagai penghormatan, mereka dapat menyesuaikan panas dan dingin dari air tersebut yang jatuh ke tubuh mereka.
Empat Maha-Brahma yang telah bebas dari nafsu indriya adalah yang pertama menerima Boddhisatta di atas sebuah jaring emas pada saat kelahiran. Kemudian mereka meletakkannya di depan sang ibu dan berkata,”Ratu, bergembiralah, seorang putra yang penuh kekuasaan telah engkau lahirkan.”
Kemudian empat raja dewa menerima Boddhisatta dari tangan empat Maha-Brahma di atas sehelai kulit rusa hitam seolah-olah benda yang sangat berharga. Kemudian manusia menerima Boddhisatta dari tangan empat raja dewa di atas sehelai kain putih.
Ketika pertunjukan pemujaan yang menakjubkan sedang berlangsung, Boddhisatta berhenti setelah berjalan tujuh-langkah ke arah utara. Pada saat itu semua Brahma, Dewa, dan manusia seketika diam, menunggu sambil berharap dengan pikiran,”Apakah yang akan dikatakan oleh Boddhisatta?”
Boddhisatta lalu menyerukan seruan berani yang terdengar oleh semua makhluk di seluruh sepuluh ribu alam semesta :
“Aggo’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang tertinggi di antara semua makhluk di tiga alam)
“Jettho’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang terbesar di antara semua makhluk di tiga alam)
“Settho’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang termulia di antara semua makhluk di tiga alam)
“Ayam antima Jati!”
(Inilah kelahiran-Ku yang terakhir)
“Natthi dani punabhavo!”
(Tidak ada kelahiran ulang bagik-Ku)
Sewaktu Boddhisatta menyerukan seruan ini, tidak ada seorang pun yang dapat membantahnya; seluruh Brahma, Dewa, dan manusia mengucapkan selamat.
Pada waktu yang bersamaan dengan kelahiran Boddhisatta, tujuh pendamping berikut juga terlahir :
1.Putri Yasodhara, calon istri Pangeran Siddhatta Gotama dan Ibunda Pangeran Rahula.
2.Pangeran Ananda
3.Menteri Channa
4.Menteri Kaludayi
5.Kuda istana Kanthaka
6.Mahabodhi atau Pohon Boddhi Assattha, dan
7.Empat kendi emas
Para penduduk dari kedua kota – Kapilavatthu dan Devadaha – mengiringi Ratu Mahamaya dan putranya, Boddhisatta mulia kembali ke Kota Kapilavatthu.

Selasa, 18 Maret 2014

Mimpi Ratu Mahamaya

Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya.
Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana.