Jumat, 28 April 2017

TIRATANA






PENGERTIAN TIRATANA

Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.

ISI TIRATANA

Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga ratana, yaitu: Buddha Ratana; Dhamma Ratana; dan Sangha Ratana.

Buddha Ratana

v  Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita
v  Yang telah memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa
v  Untuk mencapai kebebasan mutlak (Nibbana

Dhamma Ratana

v  Dhamma adalah kebenaran mutlak, dan juga merupakan ajaran Buddha
v  Yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, yaitu yang terbebas dari kejahatan, dan
v  Membimbing mereka mencapai kebebasan mutlak (Nibbana)

Sangha Ratana

v  Sangha adalah persaudaraan bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat).
v  Sebagai pengawal dan pelindung Dhamma
v  Mengajarkan dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga bisa mencapai kebebasan mutlak (Nibbana)

Secara sistematik, dapat disimak pada skema berikut ini:

TIRATANA


BUDDHA
1.       SAMMASAMBUDDHA



2.        PACCEKA BUDDHA



3.        SAVAKA BUDDHA






DHAMMA
1.        PARIYATI DHAMMA
Tipitaka
Vinaya pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka

2.        PATIPATTI DHAMMA
Ariya Atthangika Magga
Sila, Samadhi, Panna

3.        PATIVEDHA DHAMMA
Magga, Phala, Nibbana





SANGHA
1.        SAMMUTI SANGHA



2.        ARIYA SANGHA






PENJELASAN TIRATANA


BUDDHA

Arti Buddha (dalam Khuddaka Nikaya) adalah:
1.        Dia Sang Penemu (Bujjhita) Kebenaran
2.        Ia yang telah mencapai Pengerangan Sempurna
3.        Ia yang memberikan penerangan (Bodhita) dari generasi ke generasi
4.        Ia yang telah mencapai kesempurnaan melalui ‘penembusan’, sempurna penglihatannya, dan mencapai kesempurnaan tanpa bantuan siapapun.

Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/265, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sang Buddha, atau disebut Buddhaguna. Ada 9 Buddhaguna, yaitu:

1.        Araham= manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin
2.        Sammasambuddho = manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri
3.        Vijjacaranasampanno = mempunyai pengetahuan sempurna dan tindakannya juga sempurna
4.        Sugato = yang terbahagia
5.        Lokavidu = mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam
6.        Anuttaro purisadammasarathi = pembimbing umat manusia yang tiada bandingnya
7.        Satta devamanussanam = guru para dewa dan manusia
8.        Buddho = yang sadar
9.        Bhagava = yang patut dimuliakan (dijunjung)

Tingkat kebuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan sempurna.. Menurut tingkat pencapaiannya, Buddha dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

Samma sambuddho

1.        Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain
2.        Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh (dhamma) kepada mahluk lain
3.        Yang diajar tersebut bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya

Pacceka Buddha

1.        Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain
2.        Tidak mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain secara meluas
3.        Yang diajar tersebut belum mampu mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya.

Savaka Buddha

1.        Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan karena mendengarkan dan melaksanakan ajaran dari Sammasambuddha
2.        Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain.
3.        Yang diajar bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya.

Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar ajaran, yaitu seperti yang tercantum di dalam Dhammapada 183 sebagai berikut:
Sabbapapassa akaranam = tidak melakukan segala bentuk kejahatan
Kusalasupasampada = senantiasa mengembangkan kebajikan
Sacittapariyodapanam = membersihkan batin atau pikiran
Etam buddhana sasanam = inilah ajaran para Buddha

Ajaran sang Buddha memberikan bimbingan kepada kita untuk membebaskan batin dari kemelekatan kepada hal yang selalu berubah (anicca), yang menimbulkan ketidakpuasan (dukkha); karena semuanya itu tidak mempunyai inti yang kekal, tanpa kepemilikan (anatta). Usaha pembebasan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan pengertian masing-masing individu.

Jadi ajaran Buddha bukan merupakan paksaan untuk dilaksanakan, Sang Buddha hanya penunjuk jalan pembebasan, sedangkan untuk mencapai tujuan itu tergantung pada upaya masing-masing. Bagi mereka yang tidak ragu-ragu lagi dan dengan semangat yang teguh melaksanakan petunjuknya itu, pasti mereka akan lebih cepat sampai dibandingkan dengan mereka yang masih ragu-ragu dan kurang semangat.

Sang Buddha sebagai penunjuk jalan tidak menjanjikan sesuatu hadiah ataupun hukuman bagi para pengikutnya, sebab Beliau mengajarkan Dhamma atas dasar cinta kasih, tanpa pamrih apapun bagi dirinya. Beliau berpedoman kepada 3 dasar kebijaksanaan yang bebas dari pamrih, yaitu:
1.        Beliau tidak girang atau gembira bilamana ada orang yang mau mengikuti ajarannya.
2.        Beliau tidak akan kecewa atau menyesal bilamana tidak ada orang yang mau mengikuti ajarannya.
3.        Beliau tidak merasa senang atau kecewa bilamana ada sebagian orang yang mau mengikuti ajarannya, dan ada sebagian lagi yang tidak mau mengikuti ajarannya.

Adalah bijaksana bila sebagai umat Buddha, setelah terlahir sebagai manusia janganlah tenggelam di dalam kepuasan sang ‘aku.’ Di dunia ini kita telah diberi warisan yang sangat berharga oleh para bijaksana. Sungguh bahagia bagi manusia yang bisa menerima ajaran Buddha, yang sekarang telah dibabarkan di hadapan kita. Mengapa ?   Karena hadirnya seorang Buddha di alam kehidupan ini adalah sangat jarang.  Di dalam dhammapada 182 disebutkan demikian:
Kiccho manussapatilabho = sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia
Kiccho maccana jivitam = sungguh sulit kehidupan manusia
Kiccho saddhammasavanam = sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar
Kiccho Buddhanam uppado = sungguh sulit munculnya seorang Buddha

Jadi, manfaatkanlah kehidupan kita sekarang ini sebagai manusia, untuk lebih giat lagi mempelajari Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha tersebut. Ajaran Sang Buddha ini, telah dibabarkan kepada manusia dan bahkan juga kepada para dewa, adalah demi keuntungan manusia dan para dewa itu sendiri guna mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbana).

DHAMMA


Dhamma berarti kebenaran, kesunyataan, atau bisa juga dikatakan sebagai ajaran sang Buddha. Istilah Dhamma ini mempunyai arti yang sangat luas, yaitu mencakup tidak hanya segala sesuatu yang bersyarat saja, tetapi juga mencakup yang tidak bersyarat / yang mutlak. Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan sebagai berikut:
Dhamma terbagi menjadi dua bagian, yaitu Paramattha Dhamma dan Pannatti Dhamma.
1.        Paramattha Dhamma = kenyataan tertinggi, ada 4, yaitu citta (kesadaran), cetasika (faktor batin), rupa (materi), dan Nibbana
2.        Pannatti Dhamma = sebutan, konsep, untuk dijadikan panggilan atau sebutan sesuai dengan keinginan manusia.

Paramattha Dhamma ini juga terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu Sankhata Dhamma dan Asankhata Dhamma.

1.        Sankhata Dhamma, berarti keadaan yang bersyarat, yaitu:
v  Tertampak dilahirkan / timbulnya (uppado pannayati)
v  Tertampak padamnya (vayo pannayati)
v  Selama masih ada, tertampak perubahan-perubahannya (thitassa annathattan pannayati)

2.        Asankhata Dhamma, berarti sesuatu yang tidak bersyarat, yaitu:
v  Tidak dilahirkan (na uppado pannayati)
v  Tidak termusna (na vayo pannayati)
v  Ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati)

Nibbana disebut asankhata dhamma.

Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/266, disebutkan tentang sifat Dhamma, atau Dhammaguna. Ada 6 Dhammaguna, yaitu:

1.        Svakkhato Bhagavata Dhammo
      Dhamma ajaran sang Bhagava telah sempurna dibabarkan.
2.        Sanditthiko
      Berada sangat dekat (kesunyataan yang dapat dilihat dan dilaksanakan dengan kekuatan sendiri).
3.        Akaliko
       Tak ada jeda waktu atau tak lapuk oleh waktu
4.        Ehipassiko
      Mengundang untuk dibuktikan
5.        Opanayiko
       Menuntun ke dalam batin (dapat dipraktikkan)
6.        Paccattam veditabbo vinnuhi
      Dapat siselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing

Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma tersebut, maka kita harus melaksanakan dengan tiga tahap, yaitu:
1.        Pariyatti Dhamma
       Mempelajari Dhamma secara teori, dalam hal ini, yaitu mempelajari dengan tekun kitab suci Tipitaka.
2.        Patipatti Dhamma
       Melaksanakan (mempraktikkan) Dhamma tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.
3.        Pativedha dhamma
Hasil (penembusan), yaitu hasil menganalisa dan merealisasi kejadian-kejadian hidup melalui meditasi pandangan terang (vipassana) hingga merealisasi kebebasan Mutlak.
Istilah Dhamma di atas, meliputi Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka dan Abhidhamma Pitaka atau Kitab suci Tipitaka.

Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah parinibbana, namun Dhamma yang mulia, yang telah Beliau wariskan seluruhnya kepada umat manusia, masih ada dalam bentuknya yang murni. Sekalipun Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis tentang ajarannya, tetapi para siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau tersebut dengan jalan menghafal dan mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.

Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 orang Arahat yang merupakan siswa-siswa terkemuka yang ahli di dalam Dhamma menyeleneggarakan suatu pesamuan untuk mengulang kembali semua ajaran Buddha. Yang Mulia Ananda Thera, yang memiliki kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha, membaca ulang Dhamma; sedangkan yang mulia Upali Thera membaca ulang vinaya. Demikianlah Tipitaka dikumpulkan dan disusun dalam bentuk yang sekarang oleh para Arahat.

Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkan Dhamma. Praktik Dhamma akan membawa kebahagiaan. Barang siapa mengikuti Dhamma, maka tidak akan jatuh ke alam penderitaan.

SANGHA


Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para bhikkhu. Kata sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok bhikkhu. Ada 2 jenis sangha (persaudaraan para bhikkhu), yaitu:
1.        Sammuti sangha = persaudaraan para bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2.        Ariya sangha = persaudaraan para bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.

Pengertian ‘sangha’ di dalam sangha Ratana ini, berarti kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di dalam ajaran agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci, yang disebut dengan istilah Ariya Puggala. Ariya puggala ini ada 4 tingkat, yaitu:
1.        Sotapanna = orang suci tingkat pertama (sotapatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi.
2.        Sakadagami = orang suci tingkat kedua (sakadagami-phala) yang akan terlahir sekali lagi (di alam nafsu).
3.        Anagami = orang suci tingkat ketiga (anagami-phala) yang tidak akan terlahir lagi (di alam nafsu).
4.        Arahat = orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian).
Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan ‘belenggu’ yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
1.        Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
2.        Vicikiccha = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
3.        Silabbataparamasa = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
4.        Kamachanda /kamaraga = hawa nafsu indera
5.        Byapada / patigha = kebencian, dendam, itikad jahat.
6.        Ruparaga = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
7.        Aruparaga = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
8.        Mana = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
9.        Uddhacca = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
10.     Avijja = kegelapan / kebodohan batin.

Mereka yang telah terbebas dari 1 – 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.

Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 – 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.

Mereka yang telah  sepenuhnya bebas dari no. 1 – 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).

Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).

Selain ditinjau dari ‘belenggu’ yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (Kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
1.        Lobha = ketamakan
2.        Dosa = kebencian
3.        Moha = kebodohan batin
4.        Mana = kesombongan
5.        Ditthi = kekeliruan pandangan
6.        Vicikiccha = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
7.        Thina-Middha = kemalasan dan kelambanan batin
8.        Uddhacca = kegelisahan
9.        Ahirika = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10.     Anottappa = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)

Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6
Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya.
Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya.
Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.

Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:

1.        Supatipanno
       Bertindak / berkelakuan baik
2.        Ujupatipanno
       Bertindak jujur / lurus

3.        Nayapatipanno
       Bertindak benar (berjalan di ‘jalan’ yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
4.        Samicipatipanno
       Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
5.        Ahuneyyo
       Patut menerima pemberian / persembahan
6.        Pahuneyyuo
       Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
7.        Dakkhineyyo
       Patut menerima persembahan / dana
8.        Anjalikaraniyo
       Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
9.        Anuttaram punnakhettam lokassa
       Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.

Dalam  Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha. Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.

Para bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.

KEYAKINAN DALAM AGAMA BUDDHA


Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata yang sederhana, namn menyentuh hati, yang dikenal dengan nama TISARANA (Tiga Perlindungan)(. Kata-kata itu berbunyi sebagai berikut:

Buddham saranam gacchami (Saya datang berlindung kepada Buddha)
Dhammam saranam gacchami (Saya datang berlindung kepada Dhamma)
Sangham saranam gacchami (Saya datang berlindung kepada Sangha)

Kata-kata itu disabdakan oleh Sang Buddha (Gotama) sendiri, bukan oleh para siswanya atau oleh mahluk lain. Kata-kata itu disabdakan di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares, kepada 60 orang Arahat siswa langsung Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebar Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua mahluk. Di dalam Vinaya Pitaka I, 22; dijelaskan bahwa pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu itu, sebagai berikut:
“Saya perkenankan kalian, O, para Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat  yang jauh. Inilah yang harus kalian lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki para bhikkhu. Selanjutnya kalian harus mengucapkan dan mereka harus mengulangi ucapan kalian yang berbunyi demikian:’Saya datang berlindung kepada Buddha; Saya datang berlindung kepada Dhamma; Saya datang berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”

Selanjutnya, Sang Buddha (Gotama) menetapkan bahwa rumusan tersebut bukan hanya berlaku bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera atau bhikkhu, tetapi juga berlaku bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang umat awam ataupun seorang bhikkhu, akan menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Bagi umat Buddha, berlindung kepada Tiratana, merupakan ungkapan keyakinan; sama seperti halnya ‘syahadat’ bagi umat Islam dan ‘credo’ bagi umat Kristen. Tisarana (tiga perlindungan) adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha.

Adanya Tiratana sebagai perlindungan memang telah diungkapkan sendiri oleh sang Buddha, tetapi hakekat Tiratana sebagai perlindungan hanya dapat dibuktikan oleh tiap orang dengan merealisasinya di dalam batinnya masing-masing. Dalam batin seseorang, perlindungan itu akan timbul dan tumbuh berkembang bersamaan dengan proses perealisasiannya. Di dalam Dhammapada 25, hal tersebut dijelaskan pula sebagai berikut:

Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.

Saddha (keyakinan) yang diungkapkan dengan kata ‘berlindung’ itu mempunyai 3 aspek, yaitu:

1.        Aspek kemauan
Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan, atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif,  menunggu berkah dari ‘atas.’

2.        Aspek pengertian
Ini mencakup pengertian akan perlunya perlindungan, yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua mahluk di dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.

3.        Aspek perasaan
Berlandaskan pada aspek pengertian, dan mengandung unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya perlindungan memberikan keyakinan yang kokoh di dalam batin sendiri, seerta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya perlindungan mendorong  pengabdian yang mendalam;  dan pengertian akan perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih yang universal, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.

Jadi dapat dirumuskan bahwa ‘berlindung’ dalam agama Buddha berarti suatu tindakan yang sadar yang bertujuan untuk mencapai pembebasan, yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan. Atau secara singkat dapat dikatakan ‘suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.’

Ketiga aspek perlindungan ini, sesuai dengan aspek kemauan, aspek pengertian dan aspek perasaan dari batin manusia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, maka ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama. Selain itu, perlindungan kepada Tiratana juga mempunyai makna sebagai berikut:

1.        Buddha
Mengandung arti bahwa setiap orang mampu mencapai kebuddhaan, setiap orang dapat mencapai seperti apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. Sebagai perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Buddha Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi dari Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).

2.        Dhamma
Sebagai perlindungan, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin manusia biasa yang masih berada dalam keduniawian (lokiya),  melainkan empat pasang tingkat kesucian serta Nibbana, yang direalisasi pada akhir ‘Jalan.’

3.        Sangha
Sebagai perlindungan, berarti pesamuan para bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Ariya Puggala). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Tetapi makna sesungguhnya dari perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.

Dari semua uraian tadi, jadi jelaslah bahwa Buddha, Dhamma, dan Sangha dalam aspeknya sebagai perlindungan, mempunyai sifat mengatasi keduniawian (lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma, dan Sangha, merupakan manifestasi dari yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan akhir semua mahluk. Buddha, Dhamma, dan Sangha sebagai Tiratana merupakan bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai perlindungan yang tertinggi oleh Sang Buddha. Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, dari Keesaan  dalam alam semesta ini, yang di-‘puja’ dan dianut oleh seluruh umat Buddha di dunia ini.


1 komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke pariyattidhamma.blogspot