Perkembangan Agama Buddha di Barat
Ajaran Sang Buddha memiliki suatu keunikan yang bersifat universal dimana mampu senantiasa berkembang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan setempat. Sehingga kini terdapat berbagai sekte dan aliran yang terkadang kelihatannya sangat berbeda, namun pada intinya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai pembebasan [Nirvana/Nibbana]. Ajaran Sang Buddha yang dikenal sebagai Ajaran Damai dengan semboyan suci : Cinta Kasih dan Kasih Sayang, telah tersebar di hampir seluruh Asia, Amerika dan Eropa.
Di setiap negara biasanya mempunyai ciri khasnya tersendiri dalam menerima Ajaran Sang Buddha yang merupakan suatu jawaban atas tuntutan dan pengaruh filosofis, sosial dan kebudayaan setempat. Sang Buddha sendiri agak pragmatis, Beliau lebih menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi pengamalan yang lebih intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan telah tercapai yang diibaratkan rakit yang dipakai untuk menyeberangi sungai.
Para pengikut Ajaran Sang Buddha pada umumnya mengakui bahwa tidak ada alasan apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar atau yang tidak benar, apa yang lebih dulu atau yang belakangan, dan apa yang ortodoks atau yang fleksibel, dimana pada dasarnya tetap satu yaitu batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha. Berbagai mazhab yang ada , yaitu Theravada atau Hinayana , dan Mahayana, Vajrayana atau Tantrayana dengan berbagai aliran dan sekte di dalamnya tersebut bermunculan setelah Sang Buddha Parinirvana yang ditandai dengan munculnya kosili Buddhis yang pertama di Rajagraha yang diadakan tidak lama sesudah Buddha Gautama Parinirvana.
Kita perlu menyadari juga bahwa pada eranya Buddha Gautama masih membabarkan Dharma, tidak terdapat segala nama aliran dan sekte yang seperti kita kenal saat ini. Malah Buddha Gautama sendiri tidak pernah mengatakan beragama Buddha apalagi mewakili aliran tertentu baik dari Theravada, Mahayana , ataupun Vajrayana. Pada saat ini diperkirakan terdapat sepertiga penduduk dunia merupakan pengikut Ajaran Sang Buddha. Dari hasil penjelajahan di beberapa situs internet (web sites), Penyusun menemukan sudah terdapat banyak sekali terjemahan literatur Ajaran Sang Buddha dalam bahasa Inggris yang sangat baik, khususnya oleh rekan-rekan Buddhis di negara Barat.
Alasan Buddhisme dapat masuk ke Negara Barat
Negara Barat yang identik dengan sekuler sekalipun dapat menerima ajaran agama Buddha sebagai “ the way of life”. Perkembangan peradaban manusia rupanya telah membawa perubahan pada segenap sisi kehidupan, antara lain sisi spiritualitas. Sebuah fakta yang menarik bahwa ”spiritualisme” sedang berkembang di negara sekuler macam Amerika Masyarakat di sana rupanya sudah ”lelah” dengan agama-agama yang bersifat institusional dan dogmatis (baca: agama semitik), dan cenderung memilih jalan hidup yang antropo-sentris. Buddhisme menjadi salah satu alternatif yang semakin banyak digemari masyarakat di Amerika.
Tidak hanya masyarakat Amerika, golongan intelektual pada umumnya memang memiliki apresiasi yang baik terhadap Buddhisme, dikarenakan prinsip ajarannya yang tidak dogmatis dan sejalan dengan cara berpikir modern.
Buddhisme tergolong unik, sebab tidak berparadigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran(minds). Sebab pikiran adalah sumber dari segala permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia, seperti adanya keinginan, hawa nafsu, emosi, penalaran, pencerapan, berbagai ide/konsepsi/kepercayaan, yang kesemuanya itu perwujudan dari ego atau “aku”.
Mengetahui seluk beluk pikiran atau “aku” beserta segenap fenomenanya, kita dapat mencari akar permasalahan dan menundukkannya. Hal ini diwujudkan dengan berbagai latihan disiplin dan praktik meditasi. Dari pikiran sebagai fundamen itulah, maka Buddhisme banyak disebut oleh para orientalis barat sebagai ”ilmu pengetahuan tentang pikiran”. Dari situ dapat dipahami bahwa Buddhisme memiliki metoda memandang ke dalam (menguasai pikiran/diri sendiri) terlebih dahulu untuk kemudian membuat laku ke luar/menanggapi alam sekitar (termasuk misalnya menolak atau menerima suatu ajaran). Sehingga Buddhisme tidak mementingkan siapa yang mengajarkan suatu ajaran apakah ”nabi” atau ”tuhan” atau ”orang penting” mana pun, tetapi apa yang diajarkan. Apakah bermanfaat atau tidak, apakah logis atau tidak, dan sebagainya. Dan semua penilaian itu tentunya tergantung pada bagaimana kualitas pikiran kita (sikap ini diterapkan termasuk kepada ajaran Buddha Gautama sendiri, seperti yang dituturkan beliau dalam khutbahnya pada orang-orang suku Kalama.
Meski banyak diminati oleh masyarakat Amerika dan banyak diapresiasi oleh kaum cendekiawan, citra Buddhisme tidaklah sebagus itu di Asia dan masyarakat awam pada umumnya. Di Asia, Buddhisme banyak ditinggalkan penganutnya yang beralih ke agama Kristen. Buddhisme juga dianggap sebagai agama yang kolot, penyembah berhala, kaku, dan sudah ketinggalan jaman. Semua tuduhan itu muncul karena orang tidak banyak tahu tentang agama Buddha yang sesungguhnya.
Larisnya agama Buddha di masyarakat Barat dan kalangan cendekiawan umumnya, menunjukkan adanya fenomena perubahan paradigma beragama, dari ”teosentrisme” yang dipopulerkan oleh agama semitik (Abrahamic Faiths) menjadi ”antropo-entrisme”. Oleh beberapa penganut secular humanism, tradisi ”worship” bahkan sudah dianggap ketinggalan jaman dan terganti dengan praktek-praktek spiritual seperti meditasi dan yoga. Fenomena perubahan paradigma beragama ini hendaknya dapat menyadarkan kita untuk secara jujur me-reviewkembali paradigma beragama yang selama ini kita jalankan. Dan memandang Buddha sebagai ” the way of life “