Perkembangan Agama Buddha di Barat

Di setiap negara biasanya mempunyai ciri khasnya tersendiri dalam menerima Ajaran Sang Buddha yang merupakan suatu jawaban atas tuntutan dan pengaruh filosofis, sosial dan kebudayaan setempat. Sang Buddha sendiri agak pragmatis, Beliau lebih menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi pengamalan yang lebih intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan telah tercapai yang diibaratkan rakit yang dipakai untuk menyeberangi sungai.
Para pengikut Ajaran Sang Buddha pada umumnya mengakui bahwa tidak ada alasan apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar atau yang tidak benar, apa yang lebih dulu atau yang belakangan, dan apa yang ortodoks atau yang fleksibel, dimana pada dasarnya tetap satu yaitu batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha. Berbagai mazhab yang ada , yaitu Theravada atau Hinayana , dan Mahayana, Vajrayana atau Tantrayana dengan berbagai aliran dan sekte di dalamnya tersebut bermunculan setelah Sang Buddha Parinirvana yang ditandai dengan munculnya kosili Buddhis yang pertama di Rajagraha yang diadakan tidak lama sesudah Buddha Gautama Parinirvana.
Kita perlu menyadari juga bahwa pada eranya Buddha Gautama masih membabarkan Dharma, tidak terdapat segala nama aliran dan sekte yang seperti kita kenal saat ini. Malah Buddha Gautama sendiri tidak pernah mengatakan beragama Buddha apalagi mewakili aliran tertentu baik dari Theravada, Mahayana , ataupun Vajrayana. Pada saat ini diperkirakan terdapat sepertiga penduduk dunia merupakan pengikut Ajaran Sang Buddha. Dari hasil penjelajahan di beberapa situs internet (web sites), Penyusun menemukan sudah terdapat banyak sekali terjemahan literatur Ajaran Sang Buddha dalam bahasa Inggris yang sangat baik, khususnya oleh rekan-rekan Buddhis di negara Barat.

Alasan Buddhisme dapat masuk ke Negara Barat



Buddhisme tergolong unik, sebab tidak berparadigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran(minds). Sebab pikiran adalah sumber dari segala permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia, seperti adanya keinginan, hawa nafsu, emosi, penalaran, pencerapan, berbagai ide/konsepsi/kepercayaan, yang kesemuanya itu perwujudan dari ego atau “aku”.


Larisnya agama Buddha di masyarakat Barat dan kalangan cendekiawan umumnya, menunjukkan adanya fenomena perubahan paradigma beragama, dari ”teosentrisme” yang dipopulerkan oleh agama semitik (Abrahamic Faiths) menjadi ”antropo-entrisme”. Oleh beberapa penganut secular humanism, tradisi ”worship” bahkan sudah dianggap ketinggalan jaman dan terganti dengan praktek-praktek spiritual seperti meditasi dan yoga. Fenomena perubahan paradigma beragama ini hendaknya dapat menyadarkan kita untuk secara jujur me-reviewkembali paradigma beragama yang selama ini kita jalankan. Dan memandang Buddha sebagai ” the way of life “