Selasa, 23 Mei 2017

 Y.A MOGGALLANA
Terkemuka dalam Kekuatan Gaib
Setelah memperoleh kekuatan gaib setelah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Sang Buddha, YA Moggallana menggunakan kekuatannya itu untuk mencari di mana ibunya terlahir kembali dan mencoba untuk membalas budi kepada ibu yang mengasuhnya hingga dewasa. Setelah menyelidiki, ditemukanlah bahwa ibunya terlahir kembali di alam neraka dan amat menderita. Melihat hal itu, YA Moggallana segera menggunakan kekuatan gaibnya mengirimkan makanan kepada ibunya. Tetapi pada saat ibunya mencoba memasukkan makanan ke mulutnya, makanan itu terbakar menjadi nyala api dan menyebabkan penderitaan yang lebih hebat dari sebelumnya.
Merasa iba dengan keadaan ibunya itu, YA Moggalana bertanya kepada Sang Buddha apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya. Sang Buddha bersabda, “Kekuatanmu sendiri tidak mampu untuk mengatasi akibat perbuatan buruk yang telah dilakukan ibumu. Kamu harus memberi persembahan kepada para bhikkhu dan meminta mereka untuk mendoakan ibumu. Doa mereka akan dapat membebaskan ibumu dari neraka”. YA Moggallana melaksanakan apa yang disampaikan oleh Sang Buddha, dan jasa perbuatan baik yang dilakukannya dengan memberikan persembahan kepada para bhikkhu untuk dilimpahkan kepada ibunya dan untuk membebaskan ibunya dari alam neraka.
YA Moggallana terlahir di desa Kolita di Rajagaha, berdekatan dengan desa Nalaka tempat kelahiran YA Sariputta. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Keluarga Moggallana merupakan keluarga Brahmana penasihat raja, tinggal di sebuah rumah besar yang dapat dibandingkan dengan istana raja di Rajagaha. Setelah berdiskusi dengan Sariputta, Moggallana memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Pada mulanya keluarganya menolak dengan keras karena keluarganya menaruh harapan besar kepada Moggallana yang mempunyai kemampuan luar biasa. Namun akhirnya mereka mengijinkan karena menyadari tekad Moggallana yang kuat dan keputusannya yang mantap. Moggallana bersama Sariputta berguru kepada Sañjaya, dan kemudian datang kepada Sang Buddha untuk menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Sangha.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Moggallana pergi menyepi di desa Kallavalamuttagama untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh dalam meditasi. Ketika suatu kali beliau merasa mengantuk dan kehilangan semangat, Sang Buddha menampakkan diri di hadapannya dan memberi petunjuk sehingga Moggallana dapat mengatasi perasaan itu. Dengan melaksanakan petunjuk itu Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Karena pengabdiannya yang besar kepada Sang Buddha, YA Moggallana mempunyai kemampuan untuk melihat wajah dan mendengar suara Sang Buddha tidak masalah berapapun jauhnya jarak yang memisahkan mereka.
Pada suatu ketika Sang Buddha pergi ke Vihara Jetavana meninggalkan Ya Sariputta dan YA Moggallana di Vihara Hutan Bambu. Suatu hari YA Moggallana menemui YA Sariputta dan berkata bahwa beliau baru saja berbicara dengan Sang Buddha. Dengan takjub YA Sariputta bertanya, “Bagaimana caranya anda berbicara dengan Beliau yang berada sangat jauh, melewati sungai dan gunung, di Vihara Jetavana?” YA Moggallana menjawab bahwa dengan kekuatan gaibnya beliau dapat berbicara dengan Sang Buddha dan Sang Buddha menguraikan ajaran kepadanya. Mendengar hal itu, YA Sariputta berkata bengan kagum, “Sahabatku, kita semua harus menghormatimu, dekat denganmu, dan berusaha keras untuk menjadi seperti dirimu, bagaikan batu kecil yang menyerupai Gunung Himalaya yang amat tinggi.”
YA Moggallana pun amat menghormati YA Sariputta. Pada suatu kesempatan, mendengar YA Sariputta menjelaskan dengan sangat fasihnya tentang Empat Jalan untuk Kebebasan, YA Moggallana berkata dengan penuh kekaguman, “Sahabatku, ajaranmu bagaikan makanan untuk mereka yang lapar, dan bagaikan minuman untuk mereka yang haus.” Sang Buddha memuji mereka dengan menyatakan, “Sariputta bagaikan seorang ibu yang melahirkan dengan membangunkan pikiran untuk mencari jalan kebebasan. Moggallana bagaikan pengasuh yang merawat si anak untuk mengembangkan pikiran kebebasan. Semua bhikkhu yang melatih diri hendaklah mengambil kedua siswaKu sebagai contoh dan berjuang untuk menyamai mereka untuk mencapai kesempurnaan diri sendiri”.
Dengan kekuatan gaibnya YA Moggallana sering mengunjungi surga dan alam lain serta membawa berita dari orang yang sudah meninggal dunia. Beliau mengunjungi Dewa Sakka di alam surga, bahkan Dewa Brahma Baka di alam Brahma, dan banyak orang penting dan membuat mereka yakin akan ajaran Sang Buddha. Dengan kekuatan gaibnya pula beliau mengajar Dhamma. Banyaknya orang yang mengikuti ajaran Sang Buddha menimbulkan iri hati dari kelompok kepercayaan lain. YA Moggallana yang membabarkan ajaran Sang Buddha secara terbuka dan menentang kepercayaan lain sering menjadi sasaran orang-orang itu.
Suatu ketika mereka ingin mempermalukan YA Moggallana dengan mengirim seorang pelacur untuk merayu YA Moggallana. Namun YA Moggallana dengan kekuatan gaibnya dapat mengetahui keadaan pelacur itu dan membimbingnya untuk memiliki keyakinan kepada ajaran Sang Buddha.
Pada akhirnya, YA Moggallana dibunuh oleh orang-orang yang membencinya. Mereka menyewa penjahat untuk menyerang beliau pada saat bermeditasi di gunung. Meskipun batu-batu mematahkan tulangnya, namun YA Moggallana bertekad kembali ke Vihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Sang Buddha. Setelah itu barulah beliau mencapai Parinibbana (wafat). Jenazahnya diperabukan dan reliknya diletakkan dalam sebuah cetiya pada pintu masuk Vihara Veluvana di Rajagaha. Kini relik itu dapat dijumpai pada salah satu stupa di Sanchi, India.
Y.A SARIPUTTA
Terkemuka dalam Kebijaksanaan
Pada suatu pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:
“Ye dhamma hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano”
Semua benda timbul karena suatu sebab,
‘Sebab’ itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung
Mendengar syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).
Sariputta terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda (Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat tinggalnya.
Pada hari kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana. Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.
Mereka kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama Sañjaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sañjaya, mereka belum juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan memberitahukan hal itu kepada lainnya.
Maka segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sañjaya. Namun Sañjaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu pergi bersama dua ratus lima puluh murid Sañjaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan kata-kata “Ehi Bhikkhu”.
Tujuh hari setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi).
YA Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur, merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam menyampaikan Ajaran kepada dunia.
Dalam suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Sang Buddha pernah bersabda “Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu”.
Meskipun YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu, mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati (Panglima dari Ajaran).
Ketika Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.
Pada saat Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.
Kurang lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang dipujanya ternyata menghormati putranya. Pada saat itulah YA Sariputta mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana. Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, “Saya telah bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai kesalahan, maafkanlah saya.” Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.

Kamis, 18 Mei 2017


Y.A. Maha Kassapa


Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras
Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana, maka badan jasmani beliau disiapkan untuk diperabukan. Empat orang dari suku Malla, setelah membersihkan diri dan mengenakan baju baru akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha. Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka menanyakan hal itu kepada YA Anuruddha. Beliau memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api jangan dinyalakan terlebih dahulu sebelum YA Maha Kassapa yang sedang dalam perjalanan menuju tempat itu memberi hormat di kaki Sang Buddha.
Saat itu YA Maha Kassapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan dari Pava ke Kusinara bertemu dengan Petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinara. Dari petapa itu YA Maha Kassapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa sangat sedih, meratap dan menangis. Di antara mereka terdapat seorang bhikkhu tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia berkata, "Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha 'Ini boleh, ini tidak boleh'. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita sukai". Kata-kata itu membuat YA Maha Kassapa berpikir bahwa beliau harus mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran Sang Buddha.
Setelah sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan YA Maha Kassapa beserta rombongannya selesai memberi penghormatan dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.
YA Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, "Selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian". Karena orang tuanya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisannya itu. Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka bertemu dengan Bhadda Kapilani yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah mau dan hidup bersama sampai orang tua Pipphali meninggal dunia.
Pada suatu hari setelah kematian orangtuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah di persimpangan jalan, Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke arah kanan.
Dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta mohon diterima sebagai murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan memberikan tiga nasihat, "O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi".
Pada perjalanan kembali ke Rajagaha, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Dhutanga. Delapan hari kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Ia tinggal di sana selama enam tahun. Kemudian setelah Maha Pajapati Gotami diijinkan untuk menerima penahbisan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni. Tak lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lampau.
YA Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal sangat rajin. Menjawab pertanyaan mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Beliau merupakan contoh yang sangat baik bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Dalam suatu pertemuan para bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha menyatakan bahwa YA Maha Kassapa adalah siswa yang terkemuka di antara mereka yang melakukan latihan yang keras.
Setelah upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, YA Maha Kassapa menceritakan ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh para bhikkhu lainnya. Tiga bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama di gua Sattapanni di Rajagaha dengan bantuan dan perlindungan Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh lima ratus Arahat. Sidang itu dipimpin oleh YA Maha Kassapa. Sidang itu mengulang semua peraturan Vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang berlainan dan pada waktu berlainan selama empat puluh lima tahun. Sidang berakhir setelah tujuh bulan bekerja keras.
Bagi para bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, YA Maha Kassapa dianggap sebagai bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak mengherankan karena beliau merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam melaksanakan latihan yang keras. Selain itu beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tujuh tanda dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbana pada usia seratus dua puluh tahun.
Y.A. Anuruddha


Terkemuka dalam Mata Dewa
Sesaat sebelum mencapai Parinibbana, Sang Buddha menyampaikan kata-kata terakhir Beliau, "O Bhikkhu dengarkanlah baik-baik nasihatku : Segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh". Setelah itu Sang Buddha memasuki Jhana kesatu, lalu Jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian memasuki keadaan 'Ruang Tak Terbatas', kemudian 'Kesadaran Terbatas', keadaan 'Kosong', keadaan 'Bukan Pencerapan pun Bukan Pencerapan' kemudian mencapai 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'.
Pada saat itulah YA Ananda berkata kepada Anuruddha, "Bhante, Sang Bhagava telah Parinibbana!" Tetapi YA Anuruddha menjawab, "Belum, Avuso Ananda. Sang Bhagava belum Parinibbana. Beliau sekarang berada dalam keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' ".
Kemudian Sang Buddha bangun dari keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' lalu memasuki keadaan yang telah dijalaninya dengan urutan sebaliknya sampai kembali ke Jhana kesatu. Dari Jhana kesatu, Beliau kembali memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Keluar dari Jhana keempat Sang Buddha segera mengakhiri hidupnya dan mencapai Parinibbana.
Ketika Sang Buddha mencapai Parinibbana, YA Anuruddha mengucapkan syair berikut,
Dengan tiada pergerakan napas,
tetapi dengan keteguhan hati,
Bebas dari keinginan dan tenang,
Demikianlah Sang Petapa mengakhiri hidupnya,
Tak gentar menghadapi saat mautnya,
Batinnya memperoleh kebebasan,
Bagaikan api lampu yang padam
".
YA Anuruddha terlahir sebagai saudara sepupu Sang Buddha, putera dari Amitodana. Mempunyai saudara kandung bernama Mahanama dan merupakan saudara satu ayah lain ibu dari Ananda. Wajahnya tampan, alisnya lurus dan bentuk hidungnya bagus, ahli dalam seni bela diri dan olahraga. Orangtuanya amat menyayanginya dan memberinya rumah untuk tiap musim, satu untuk musim panas, satu musim dingin dan satu untuk musim hujan, sebagaimana yang diperoleh Pangeran Siddhattha dari orang tuanya. Di dalam tiap rumah yang dibangun untuk Anuruddha terdapat banyak pelayan yang selalu siap melayaninya.
Kedatangan Sang Buddha ke Kapilavatthu membuat banyak orang tertarik akan ajaran Sang Buddha dan banyak di antara mereka yang meninggalkan hidup keduniawian dan menjadi bhikkhu. Dalam keluarga Anuruddha belum ada yang menjadi bhikkhu. Oleh karena itu Mahanama mengusulkan agar salah satu dari mereka untuk menjadi bhikkhu, karena apabila keduanya menjadi bhikkhu maka tidak ada lagi yang memelihara garis keturunan keluarga.

Anuruddha yang terbiasa hidup dalam kemewahan merasa sulit untuk hidup sebagai bhikkhu, namun Mahanama membujuknya dengan menunjukkan kesukaran kehidupan sebagai perumah tangga, dan pekerjaan dalam pertanian yang tiada habisnya. Anuruddha meminta ijin dari ibunya untuk menjadi bhikkhu. Ibunya yang amat menyayanginya mula-mula menolak memberi ijin, akhirnya memberi ijin dengan syarat sepupunya Bhaddiya, Raja Sakya yang menggantikan Raja Suddhodana yang telah mangkat, juga mengikutinya menjadi bhikkhu. Ibunya berpikir bahwa tidak mungkin Bhaddiya akan meninggalkan tugasnya sebagai raja untuk menjadi bhikkhu.
Bhaddiya berkata bahwa ia mau menemani Anuruddha menjadi bhikkhu asalkan Anuruddha mau menunggu tujuh tahun lagi. Atas desakan Anuruddha, masa menunggu itu dipersingkat menjadi enam tahun, lima tahun, empat tahun, sampai satu tahun. Akhirnya Bhaddiya berjanji untuk melaksanakan hal itu tujuh hari lagi setelah ia menyerahkan tugasnya kepada anak dan saudaranya.
Anuruddha kemudian mengajak pula Ananda, Bhagu, Kimbila dan Devadatta untuk menjadi bhikkhu. Agar tidak dicurigai, mereka pergi ke taman seolah-olah akan berolahraga dengan membawa pula tukang cukur mereka yang bernama Upali. Di tengah perjalanan mereka menyuruh para pengiring pulang, dan kemudian melepaskan baju dan perhiasan yang dipakai untuk dibawa pulang oleh Upali. Tetapi Upali yang merasa takut akan kemarahan orang Sakya bila membawa pulang barang-barang itu, akhirnya mengikuti mereka untuk menjadi bhikkhu. Mereka bertemu dengan Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi rasa kesombongan mereka karena dengan demikian selanjutnya mereka harus menghormati Upali sebagai bhikkhu yang lebih senior.
Bhaddiya kemudian mencapai tiga pengetahuan dan menjadi Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Devadatta memperoleh kesaktian yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Bhagu, Kimbila dan Upali pun kemudian mencapai tingkat Arahat.
Anuruddha yang terbiasa hidup nyaman dan dilayani oleh banyak pelayan kini harus mengenakan jubah kasar, berkeliling menerima dana makanan, tidur di alam terbuka dan menjalani aturan yang keras. Dengan tekadnya yang kuat, ia dapat terbiasa dengan kehidupan sebagai bhikkhu namun merasa amat lelah dalam melaksanakan latihan-latihan itu.
Pada suatu kali ketika Anuruddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya sedang berkumpul di vihara Jetavana mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia merasa sangat mengantuk dan tertidur. Ia terbangun ketika Sang Buddha menyebut namanya dan menyapanya dengan beberapa perkataan. Setelah khotbah selesai, dengan rasa malu Anuruddha menyampaikan rasa penyesalannya kepada Sang Buddha dan bertekad untuk tidak lagi tertidur pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha. Sejak saat itu Anuddha tidak pernah memejamkan mata walaupun di malam hari.
Dengan latihannya Anuruddha memperoleh mata dewa, yaitu kemampuan untuk melihat timbul lenyapnya makhluk-makhluk di alam semesta ini. Kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat. Namun latihan yang keras demikian menyebabkannya gangguan pada matanya sehingga tidak dapat melihat. Ketika diminta oleh Sang Buddha agar beliau tidur untuk memulihkan penglihatan matanya sesuai dengan anjuran dokter, beliau menjawab, "Bhante, dengan bertekad untuk tidak tidur saya dapat mengatasi semua penderitaan. Bagaimana saya dapat melepaskan tekad itu ?"
YA Anuruddha hadir pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana dan berperan pula dalam Sidang Agung Sangha yang diadakan setelah Sang Buddha Parinibbana. Beliau dengan para bhikkhu lainnya mendesak YA Ananda untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mencapai tingkat Arahat pada Sidang Agung tersebut. YA Anuruddha mencapai Parinibbana (wafat) di desa Veluva dari Vajjian di bawah kerimbunan pohon bambu.
Y.A. Ananda



Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
Pada suatu ketika dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Rajagaha, Sang Buddha yang saat itu berusia lima puluh lima tahun menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap untuk diriNya. Semua siswa utama seperti YA Sariputta dan YA Moggallana menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap namun semuanya ditolak oleh Sang Buddha. Para bhikkhu kemudian menganjurkan Ananda yang selama itu berdiam diri saja untuk memohon kepada Sang Buddha untuk dapat diterima sebagai pembantu tetap. Ananda mengatakan, "Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai Pembantu Tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya". Kemudian Sang Buddha berkata, "Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi Pembantu Tetap Sang Buddha".

Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi Pembantu Tetap asal Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu menolak empat hal dan memenuhi empat hal. Empat hal yang diminta Ananda untuk ditolak adalah: apabila Sang Buddha menerima persembahan jubah, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; apabila Sang Buddha menerima hadiah, hadiah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti); apabila Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk dirinya. Ananda mengatakan apabila Sang Buddha melakukan hal tersebut maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi Pembantu Tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal menyenangkan dan ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.

Empat hal yang diminta Ananda untuk dipenuhi adalah: apabila Ananda menerima undangan atas nama Sang Buddha maka Sang Buddha harus memenuhinya; apabila ada orang datang dari tempat jauh, agar Ananda dapat membawanya menghadap Sang Buddha; apabila Ananda merasa ada sesuatu yang meragukan ia diperbolehkan bertanya kepada Sang Buddha setiap waktu; apabila Ananda tidak hadir saat Sang Buddha berkhotbah, Sang Buddha bersedia mengulanginya kembali. Apabila hal tersebut tidak diperkenankan maka orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Sang Buddha menyetujui permintaan tersebut dan sejak saat itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (Pembantu Tetap Sang Buddha).
YA Ananda terlahir sebagai putera Sukkodana, saudara Suddhodana ayah Sang Buddha, oleh karenanya ia merupakan saudara sepupu pertama Sang Buddha. Hari kelahirannya bersamaan dengan hari kelahiran Sang Buddha, bersamaan pula dengan terlahirnya Puteri Yasodhara yang kemudian menjadi isteri Pangeran Siddhattha, Channa yang kemudian menjadi kusir Pangeran Siddhattha, Kaludayi yang kemudian mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Kanthaka yang kemudian menjadi kuda Pangeran Siddhattha, seekor gajah istana, pohon Bodhi tempat Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Agung, Nidhikumbhi yaitu tempat harta pusaka.
Ananda memasuki Sangha bersama-sama dengan para bangsawan Sakya yaitu Mahanama, Bhaddhiya, Bhagu, Kambila, Devadatta dan tukang cukur mereka yang bernama Upali. Mereka menjumpai Sang Buddha di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Di tempat itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebanggaan mereka, mereka memohon kepada Sang Buddha untuk mentasbihkan Upali, tukang cukur mereka, terlebih dahulu.
Selama vassa berikutnya, Bhaddhiya mendapat tiga kemampuan dan menjadi Arahat. Anuruddha mendapatkan yang kedua dari kemampuan tersebut yaitu mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk. Sang Buddha menyatakan Anuruddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang memperoleh mata dewa (dibbacakkhu) dan Bhaddhiya sebagai yang terkemuka di antara mereka yang mengalami kelahiran agung. Ananda mendengar khotbah YA Punnamantaniputta dan menjadi seorang Sotapanna (seorang suci tingkat pertama).
Devadatta memperoleh kekuatan gaib yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Di kemudian hari Devadatta mengembangkan pikiran jahat dan memusuhi Sang Buddha. Sedangkan Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan).
Sebagai Pembantu Tetap Sang Buddha, Ananda melayani Sang Buddha selama dua puluh lima tahun, mengikuti Sang Buddha bagaikan bayanganNya, membawakan air dan tusuk gigi, mencuci kaki Sang Buddha, menyertai Sang Buddha ke mana saja, menyapu tempat kediaman Sang Buddha. Karena dekatnya hubungan dengan Sang Buddha, Ananda berkesempatan untuk mendengarkan semua Khotbah Sang Buddha. Karena mempunyai daya ingat yang luar biasa, Ananda dapat mengingat segala sesuatu yang diucapkan oleh Sang Buddha sehingga ia dikenal sebagai 'Bendahara Dhamma' (Dhamma Bhandagarika)
Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana).
Ketika Maha Pajapati Gotami, ibu tiri Sang Buddha, memohon kepada Sang Buddha untuk diijinkan memasuki Sangha, Anandalah yang sangat mendukung keinginan tersebut dan berhasil memohon kepada Sang Buddha untuk memperkenankan wanita memasuki Sangha. Inilah permulaan adanya Sangha Bhikkhuni dalam agama Buddha. Ananda pulalah, atas permintaan Sang Buddha, yang merancang jubah bhikkhu dengan pola menyerupai sawah di Magadha.
Meskipun mempunyai hubungan yang dekat dengan Sang Buddha, sampai pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu YA Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang Dhamma dan Vinaya sehingga dapat diketahui Ajaran yang sesungguhnya. Para bhikkhu memintanya memilih anggota pertemuan dan beliau memilih 499 Arahat. Beliau diminta pula untuk memilih Ananda, karena meskipun belum mencapai Arahat, Ananda telah mempelajari Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri. Menyadari dirinya merupakan satu-satunya peserta pertemuan yang belum Arahat, sehari sebelum pertemuan dimulai Ananda melatih diri dengan sungguh-sungguh hingga larut malam.
Menjelang fajar, ia merasa mengantuk dan karenanya merebahkan diri. Pada saat kepala belum menyentuh bantal, belum lagi kakinya meninggalkan lantai, ia menyelami Enam Kemampuan Batin Luar Biasa (Abhiñña). Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).
Pada hari pertemuan, Ananda memasuki ruang pertemuan dan muncul di atas tempat duduk kosong yang telah disediakan untuknya. YA Upali dipilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan YA Maha Kassapa tentang Vinaya dan YA Ananda ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, yaitu tentang Sutta dan Abhidhamma. Oleh karena itulah tiap Sutta selalu dimulai dengan kata-katanya, "Evam me sutam" - 'Demikianlah telah kudengar'.

Ananda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada rekan-rekannya yang lebih muda. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut yaitu seratus dua puluh tahun. Menjelang wafatnya, beliau pergi ke sungai Rohini yang terletak di perbatasan antara Kapilavatthu dan Koliya. Setelah berkhotbah kepada kedua pihak, beliau berjalan ke tengah sungai dan dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Sisa badan jasmaninya dibagi dua dan ditaruh dalam stupa di Kapilavatthu dan di Koliya
MANUSIA SEUTUHNYA
MENURUT AGAMA BUDDHA



Pengertian Manusia Seutuhnya
            Manusia seutuhnya menurut Buddha Dharma adalah seseorang yang telah melenyapkan kekotoran Batin atau sekurang-kurangnya telah mencapai Sottapanna.
Kekotoran Batin dalam Buddha Dharma dibagi menjadi 3 yakni :
      1.        Lobha yaitu keserakahan
2.        Dosa yaitu kebencian
   3.        Moha yaitu kebodohan
Sottapanna merupakan tingkatan kesucian pertama dimana seseorang telah berhasil melenyapkan tiga belenggu (samyojana) dari sepuluh belenggu batin. Manusia merupakan perpaduan antara 5 gugus kehidupan (Pancakkhanda) yang terdiri dari:
1.        Kelompok Jasmani (rupa)
      2.        Kelompok Perasaan (vedana)
        3.        Kelompok Pencerapan (sanna)
                           4.        Kelompok Bentukan Kehendak (sankhara)
           5.        Kelompok Kesadaran (vinnana)
Jadi manusia seutuhnya dalam hal ini adalah umat Buddha yang sejahtera secara material dan memiliki moral yang tinggi. Manusia seutuhnya bukan dilihat dari kesempurnaan fisik. Seseorang yang terlahir rupawan, sehat, tidak cacat, pintar secara intelektual, kaya materi, belum tentu dapat disebut sebagai manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang hidup dengan menjunjung tinggi dan menjalani nilai-nilai kemanusiaan, seperti kedermawanan, kebajikan, kemoralan, dan kebijaksanaan.
Seorang manusia harus merenungi mengapa kita lahir ke dunia dan apa tujuan kita menjalani kehidupan kita. Apakah kehidupan yang kita jalankan bermakna atau tidak. Kalau kita mencermati bagaimana cara seseorang menjalani hidup, kita akan menemukan banyak jawaban untuk sebuah pertanyaan: apa tujuan hidupmu? Ada yang bertujuan hidup untuk memenuhi cita-cita karier dengan tujuan menghasilkan uang atau ketenaran. Ada sebagian yang bertujuan untuk mengumpulkan pahala demi kebahagiaan di surga kelak. Namun, banyak juga yang tidak punya tujuan yang jelas.
Manusia hidup di dunia memiliki tujuan antara lain:
1.        Hidup harmonis antar sesama dengan mewujudkan cinta kasih
2.        Membina Batin untuk mencapai tingkat kesucian
3.        Memanfaatkan berkah-berkah alam untuk membantu pencapaian kesucian.
       Sampai saat ini masih sedikit sekali orang yang melihat tujuan kelahiran sebagai manusia dari kacamata Buddhis, yaitu untuk memutuskan lingkaran samsara siklus lahir-mati yang berulang-ulang, dan merealisasikan Nibbana (Nirvana).
       Kualitas atau standar kemanusiaan kita dapat diukur dengan praktek-praktek pengembangan moralitas. Ada 5 hal yang menjadi pantangan bagi umat Buddha sebagai latihan kemoralan (Pancasila Buddhis) yaitu:
1.      Menghindari menyiksa dan membunuh makhluk hidup
2.      Menghindari mengambil barang yang tidak diberikan
3.      Menghindari perbuatan asusila
4.      Menghindari berucap kata yang tidak benar
5.      Menghindari meminum minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan atau yang menyebabkan ketagihan.
       Sejalan dengan lima pantangan tersebut, umat Buddha juga secara aktif mengembangkan 5 kebajikan (Panca Dharma) yaitu:
1.      Mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk (metta-karuna)
2.      Melaksanakan penghidupan yang benar (samma ajiva)
3.      Mampu berpuas diri dan menjaga harmoni (santutthi)
4.      Jujur dan hanya mengatakan hal yang bermanfaat (sacca)
5.      Menjaga kewaspadaan (sati sampadana)

Buddha Dharma dengan problematik Siswa
       Masa remaja merupakan masa-masa yang sangat penting dalam perkembangan seseorang. Bahkan masa ini sering disebut dengan “Masa Kritis” yaitu masa atau saat dimana banyak masalah. Sesungguhnya bukan hanya masa remaja saja kita mengalami masalah, bahkan sepanjang hidup kitapun sebenarnya memiliki rentetan masalah yang saling bergantungan satu sama lain yang harus dihadapi.
       Pada masa remaja masa ingin tahu mencoba hal-hal baru sangatlah kuat maka sering muncul persoalan-persoalan seperti penyalahgunaan narkoba, aborsi, pemerkosaan, tawuran pelajar dan sebagainya.
a.        Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika mencakup bahan-bahan lain yang dapat dipakai sebagai bahan pengganti morphine atau kokaina. Selain itu masih banyak lagi berbagai macam obat berbahaya sejenisnya yang dapat mempengaruhi kesadaran, fungsi mental dan fisik manusia. Pemakaian obat-obatan tersebut, diluar pengawasan dokter dapat menimbulkan keadaan yang tidak terkuasai oleh si pemakai, atau menimbulkan keadaan yang berbahaya bagi orang lain.
Ada 5 faktor yang harus diwaspadai oleh para remaja terhadap maraknya penyalahgunaan narkoba:
1.      Faktor Kemudahan, dengan mudah bisa mendapatkan narkoba
2.      Faktor Fisik, ingin lebih percaya diri dan menghilangkan rasa sakit
3.      Faktor Emosional, pelarian untuk mengurangi ketegangan dan mengubah suasana hati
4.      Faktor Intelektual, bosan dengan rutinitas dan ingin coba-coba
5.      Faktor Interpersonal, ingin diakui, menghilangkan rasa canggung, solidaritas dan ikut pergaulan.
Ketidaktahuan atau kebodohan merupakan salah satu akar dari kejahatan (akusala mula). “Bergantung pada ketidaktahuan maka terjadilah bentuk-bentuk karma” Demikian dijelaskan oleh Sang Buddha (Samyutta Nikaya XII, 3:22).
       “Orang yang gila perempuan, gemar bermabuk-mabukan, keranjingan judi, menghambur-hamburkan apa saja yang dimilikinya, inilah sebab-sebab kemerosotan”. (Parabhava sutta).
              Khususnya mengenai ketagihan bahan yang memabukkan, Buddha mengingatkan: Ada 6 akibat buruk bagi orang yang ketagihan minuman yang memabukkan yakni:
1.      Kehilangan harta dengan cepat
2.      Bertambahnya pertengkaran
3.      Mudah terkena penyakit
4.      Kehilangan watak yang baik
5.      Penampilan yang buruk
6.      Melemahkan kecerdasan
(Digha Nikaya 31, Sigalovada Sutta)
b.        Aborsi
              Banyak alasan atau sebab-sebab yang melatarbelakangi dilakukannya aborsi, misalnya pola hidup dimana nilai-nilai berkenaan dengan kehidupan seksual semakin longgar. Misalnya berkumpul secara bebas, seks bebas asal suka-sama suka. Ini merupakan akibat dari perkembangan dan perubahan perikehidupan modern dengan konotasinya yang dangkal dan dasar keimanan yang tipis.
              Dalam agama Buddha, yang dimaksud makhluk adalah gumpalan sel yang mempunyai jasad-jasad energi hidup (kekuatan karma) atau dalam kehidupan sehari-hari disebut jasad yang mempunyai jiwa. Jasad-jasad energi hidup tadi dimulai pada waktu bertemunya sel ovum dan sel sperma (sel pria dan wanita) melalui kekuatan karma, yaitu getaran-getaran karma dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa sejak terjadinya pertemuan antara sel ovum dan sel sperma yang dibarengi adanya getaran-getaran karma, maka sejak itu pula telah munculnya makhluk.
              Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan makhluk, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa aborsi termasuk perbuatan membunuh dan itu jelas melanggar sila. Dalam Agama Buddha suatu perbuatan dikatakan membunuh apabila memenuhi syarat yakni:
1.      Adanya suatu makhluk hidup
2.      Sadar bahwa itu adalah makhluk hidup
3.      Ada niat untuk membunuhnya
4.      Melakukan tindakan pembunuhan
5.      Makhluk itu mati akibat pembunuhan
              “Seseorang wanita atau pria yang membunuh makhluk hidup (manusia maupun hewan), kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukan itu ia akan dilahirkan penuh kesedihan dan penderitaan. Apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia dimana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang”. (Majjhima Nikaya 135)
              Usaha pencegahan aborsi dapat dilakukan melalui pendidikan seks yang benar, mendidik remaja pria dan wanita bagaimana menjadi insane yang bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga, agama, lingkungan dan masyarakat.

Memandang Kehidupan seutuhnya
       Alam manusia adalah alam yang paling menguntungkan karena di dalamnya terdapat perpaduan antara suka dan duka yang memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk menyadari sifat sejati kehidupan. Di alam manusia ini juga kita memiliki banyak kesempatan untuk berkarya suci dalam mengembangkan kebajikan, melatih diri dalam pembinaan batin untuk bisa mencapai kesucian Nibbana (Nirvana).
       Untuk hidup lebih baik dan menjadi manusia seutuhnya, kita dapat memegang 3 prinsip:
1.        Jadilah baik (be good)
Jagalah perbuatanmu, jangan lakukan perbuatan buruk apapun. Banyaklah melakukan kebajikan. Jadikan dirimu bermanfaat bagi banyak orang dan hiduplah sesuai Dharma.
2.        Jadilah bahagia (be happy)
Berbahagialah tanpa syarat. Kita sering kali membuat syarat bagi kebahagiaan kita: saya belum bahagia, saya baru akan bahagia jika saya sudah lulus SMA, jika saya sudah kuliah, jika saya sudah bekerja, jika saya sudah menikah….Dengan terus membuat syarat bagi datangnya kebahagiaan, kita tidak akan pernah benar-benar bahagia. Oleh sebab itu, berbahagialah di sini dan saat ini juga.
Konsep lama Time is money membuat manusia hidup penuh dengan tekanan batin dan tidak bahagia.
Konsep dunia satu keluarga Time is happiness mendatangkan kehidupan yang harmonis dan bahagia.
Inilah yang mendasari DMG mempromosikan Jam Bahagia.
3.        Jadilah berkesadaran (be mindful)
Kita seringkali tidak mengerti apa yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan karena kita tidak pernah benar-benar memberikan perhatian penuh terhadap diri kita: pikiran, perkataan, dan perbuatan kita. Oleh sebab itu, seringkali kita melukai diri kita sendiri dan orang lain. Orang selalu penuh perhatian ke dalam diri, pasti akan mengucapkan dan melakukan hal-hal yang baik yang akan membuat dirinya selalu bahagia. Salah satu cara melatih perhatian kita adalah dengan melakukan Introspeksi diri atau Samadhi.