Kamis, 18 Mei 2017

PERKAWINAN DAN KELUARGA BAHAGIA 
DALAM BUDDHA DHAMMA 



A. Pendahuluan 
     Umat Buddha bebas dalam menempuh cara hidupnya, yang terpenting adalah mampu menciptakan ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam menjalani hidupnya. Terdapat dua cara yang tidak sama, yaitu kehidupan seorang perumah-tangga dan kehidupan orang yang tidak memiliki ikatan keduniawian dengan menjalankan kehidupnya menjadi bhikkhu-bhikkhuni (anggota Sangha), wajib meninggalkan kehidupan duniawi dan bertempat tinggal dilingkungan tempat ibadah (vihara) yang disebut kuti (tempat tinggal para anggota Sangha). Selain menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-bhikkhuni, juga mengabdikan demi kepentingaan perkembangan agama Buddha, membabarkan dhamma ajaran Sang Buddha dengan penuh cinta kasih. Mereka yang kuat dan mampu sebaiknya tidak kawin dan memasuki kehidupan Sangha. Sebaliknya mereka yang tidak kuat atau belum mampu hidup selibat dipersilahkan memilih hidup perkawinan. Tidak ada kewajiban kawin dalam agama Buddha. Tetapi mereka yang tidak kawin harus menghindari hubungan kelamin. Kebanyakan orang memiliki nafsu yang mendorongnya untuk mendapatkan pasangan, yang saling membutuhkan dalam mencapai kepuasan atau kesenangan duniawi sehingga lambang perkawinan diperlukan untuk menjamin hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pasangan suami istri yang bersangkutan serta memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan perlindungan. 
       Perumah-tangga dan anggota Sangha merupakan satu ikatan tali persaudaraan yang tak dapat terpisahkan dalam kehidupan. Keduanya saling memanfaatkan kesempatan sesuai dengan cara hidupnya masing-masing untuk belajar, melaksanakan dan membabarkan kembali apa yang telah di ajarkan oleh Buddha. Mereka saling menopang, bersama-sama merealisasi dhamma yang sejati, menyebrangi lautan samsara dan berusaha mengahkiri penderitaan. Buddha memberikan petunjuk kepada Sigala, Putra perumah-tangga seorang perumah-tangga hendaknya melayani para pertapa dan brahmana dengan penuh kasih sayang melalui pikiran, ucapan dan perbuatan, membukakan pintu rumah untuk mereka, dan menunjang kebutukan yang bersifat materi, menyediakan kebutuhan anggota Sangha (empat kebutuhan pokok bagi para bhikkhu sangha, jubah, makanan, tempat tingga dan obat-obatan serta sarana yang lainnya) sebaliknya para anggota Sangha mengajarkan mereka Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada ahkirnya (It.111). 
      Kehidupan sebagai pertapa adalah tidak mudah, sedangkan kehidupan sebagai perumah-tangga yang buruk jelas sangat menyakitkan. Sebab tinggal dengan orang yang tidak dicintai adalah penderitaan. Hidup mengembara dialam samsasara adalah penderitaan. Karena itu janganlah menjadi orang yang dikuasai oleh penderitaan (Dhp. 302). Jalan yang manapun adalah memiliki tujuan untuk mengahkiri penderitaan. 
Umat Buddha bebas memilih jalan hidupnya, tentunya harus mempertimbangkan dengan baik, bahwa jalan yang dipilihnya adalah jalan yang paling baik bagi kemajuan dirinya, juga bagi orang disekitarnya dalam kehidupan sekarang juga dikemudian hari. Orang yang tidak kawin dapat hidup membujang ditengah keluarganya, atau meninggalkan rumah untuk memasuki kehidupan Sangha. Sedangkan mereka yang telah memilih hidup perumah-tangga tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi anggota Sangha (Bhikkhu-bhikkhuni), mengikuti jejak Buddha Sakyamuni. Sebaliknya seorang anggota Sangha mungkin saja bisa kembali pada kehidupan sebagai perumah-tangga. Citthattha pernah bolak-balik ditabiskan lalu meninggalkan jubah kembali kepada istrinya, hingga ahkirnya setelah betul-betul melepaskan kemelekatannya, ia mencapai tingkat kesucian dan ditabiskan untuk ketujuh kalinya menjadi anggota Sangha. 
      Kehidupan perumah-tangga merupakan bukan suatu kewajiban dalam agama Buddha, tetapi bagi mereka yang tidak menikah harus menghindari hubungan kelamin. Pengakuan atas kebutuhan primer yang bersifat biologis tidak mencakup hubungan seks. Kebutuhan seks tidak bisa disamakan dengan kebutuhan makan, minum, tidur dan pakaian. Seks sendiri bukanlah satu-satunya alasan bagi seseorang untuk menempuh hidup perumah-tangga atau menikah. Walaupun setiap orang yang ingin hidup berumah-tangga, menyadari benar bahwa ia harus mendapatkan orang yang dicintai dan mencintainya setulus hatinya. Namun cinta jaman sekarang mudah diucapkan, sering disalah artikan dan disalah-gunakan. Seorang laki-laki yang berusaha untuk merayu bhikkhuni Subha tertarik kepadanya karena mata bhikkhuni Subha sangat indah dan membuat lelaki itu jatuh cinta. Maka Bhikkhuni tersebut mencukil bola matanya dan menyerahkan kepada lelaki yang tergila-gila kepadanya. Nafsu laki-laki itupun padam dalam sekejap (Thig. 366-399). 
Apa yang disebut jodoh, pada dasarnya ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh suatu kekuatan karma seseorang. Karma masa kini dapat merubah pengaruh karma masa lampau menjadi baik atau buruk. Sidharta Gautama memilih sendiri calon istrinya, dari puluhan ribu gadis, ia memilih Yasodhara. Sang putrid pun menyambutnya, dimana pasangan itu telah melakoni cinta yang memiliki latar belakang penghidupan dimasa yang lampau. Lalu kehidupan perkawinannya ditinggalkan ketika Siddharta pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju pada kehidupan pertapa, tetapi mereka tidak pernah kehilangan cinta. 

B. Makna Perkawinan 
     Banyak orang yang berpendapat bahwa tujuan dari perkawinan adalah mencapai kebahagiaan. Tentunya kebahagiaan yang dimaksudkan adalah kebahagiaan yang bersifat duniawi, karena kebahagiaan sebagai salah satu aspek kehidupan akan selalu ditandai oleh fenomena penderitaan. Kebahagiaan tertinggi yaitu nibbanam ditandai oleh padamnya hawa nafsu, termasuk nafsu seks.akan tetapi mereka yang hidup perumah-tangga (menikah) tidak kehilangan kesempatan untuk meraih tingkat kesucian. 
Buddha berkata kepada pasangan Nakulapita dan Nakulamata “Demikianlah perumah-tangga, bila pria dan wanita keduanya mengharapkan untuk berjodoh satu sama yang lain dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan yang akan datang, hendaknya mereka berdua harus memiliki keyakinan (Saddha) yang sebanding, moral (sila) yang sebanding, kemurahan hati (caga) yang sebanding, dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding, maka mereka akan berjodoh….demikianlah di dunia ini hidup sesuai dengan tuntunan dhamma, pasangan suami-istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka-cita mencapai kebahagiaan yang mereka idam-idamkan” (A.II,61). 
      Berdasarkan sabda Buddha ini akan dapat didefinisikan bahwa perkawinan yang dinyatakan oleh undang-undang dianjurkan adalah monogami, mengikat dua orang yang berbeda jenis kelamin yang hidup bersama untuk selamanya melaksanakan Dhamma (sila dan vinaya). Dimana kebahagiaan perumah-tangga dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila, kemurahan hati,dan kebijaksanaan yang sebanding. Karena itu makna perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami-istri yang sah secara hukum agama maupun adat dan pemerintah dalam membentuk keluarga bahagia yang saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. 
      Sang Buddha memuji bentuk penikahan adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik dengan seorang perempuan yang baik maka makna perkawinan menurut agama Buddha adalah asas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Perlu menjadi pertimbangan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang belum mencapai tingkat-tingkatan kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi ia mempunyai istri lebih dari satu maupun suami lebih satu, berakibat akan menyakiti hati dan perasaan suami atau istri yang lainya (A.II,57). 
Berjalannya hidup perkawinan memiliki dasar tidak lain dari cinta yang merupakan timbunan jasa-jasa dalam kehidupan yang telah lampau atau sekarang ini. Cinta bersemi bagaikan bunga tratai dipermukaan air. Cinta adalah sesuatu yang berkembang. Akar dari cinta sebagai ikatan tali perkawinan adalah saling pengertian, bukan nafsu biarahi. Cinta itu muncul dalam wujud bukan pada kesenangan pribadi semata. Jika seseorang mengembangkan cinta nafsu dan cinta yang egois, adalah cinta yang tidak bertahan lama, pada waktunya akan mendapat kekecewaan dan penderitaan. Cinta adalah memberi dan ukurannya adalah seberapa banyak seseorang bisa untuk memberi. Dengan membahagiakan orang lain seseorang akan menemukan suatu kebahagiaan bagi dirinya sendiri, karena itu cinta dalam perkawinan mengandung kesediaan untuk berkorban. Tanpa sebuah pengorbanan, suatu perkawinan bisa gagal dan berahkir ditengah jalan. 
Sedangkan makna perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagiaan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tiap-tiap perkawinan dicacat menurut peratuan perundang-undangan yang berlaku. 
      Buddha memandang tentang perkawinan tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral atau tidak sakral, suci atau tidak suci tetapi lembaga perkawinan yang memberikan legitiminasi bagi pasangan yang bersangkutan untuk melakukan kehidupan perumah tangga atau diperbolehkan melakukan hubungan seksual. Walaupun kehidupan seksual masih ditemukan pada orang-orang suci pemula (sotapanna dan sakadagami). Tetapi nafsu yang berlebihan pasti tidak baik untuk perkembangan spiritual. Cinta seksual adalah bukan cinta yang sebenarnya. Sekalipun cinta dalam perkawinan dan seks itu tidak terpisahkan, seks tidak harus merupakan unsur yang utama dan paling penting dalam kehidupan suami-istri. 
Jadi makna perkawinan menurut pandangan agama Buddha adalah suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita tanpa ada paksaan untuk hidup bersama dalam sebuah rumah-tangga sebagai suami-istri berdasarkan pada cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), dan rasa sepenanggungan (mudita), menghadapi setiap permasalahan bersama dengan baik (panna), dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sesuai dengan Dhamma dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Adi Buddha). Siddharta Gotama memilih sendiri calon istrinya. Dari puluhan ribu gadis, ia memilih Yasodara sang putri pun menyambutnya, maka diambil kesimpulan bahwa pernikahan yang dijalani Sidharta dan Yasodara bukan kawin paksa. Tetapi pasangan itu melakoni cinta yang memiliki latar belakang penghidupan di masa kelahiran yang lampau. Lalu kehidupan Lalu kehidupan perkawinan ditinggalkan ketika Siddharta Gotama pergi bertapa, tetapi mereka tidak pernah kehilangan cinta. 

C. Membentuk Keluarga Yang Bahagia. 
     Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak dapat terlepas dari peran kehidupan keluarga yang menuntut sub-unit terkecil dari masyarakat. Keluarga merupakan kelompok masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak yang terikat dengan adanya iakatan perkawinan, yang sah. Pembentukan keluarga yang sah dalam ikatan perkawinan akan membawa pada pembentukan keluarga bahagia dan sejahtera. Perkawinan sebagai suatu persekutuan dari dua individu yang diperkaya dan ditinggikan apabila perkawinan itu mengizinkan keperibadian yang bersangkutan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Perkawinan akan hancur apabila salah satu pihak menuntut kebebasan secara penuh dan mengekang kebebasan pihak yang lain. 
      Ajaran kebenaran dari Sang Buddha selalu mengajak umatnya berbuat kebaikan. Karena dengan kebajikan yang dilakukan akan mengakibatkan kebahagiaan, kesejahteraan dalam kehidupan berkeluarga, kebahagiaan diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan dengan mudah (Sukha), disisi yang lainya dhamma mengajarkan satu kebahagiaan yang lebih tinggi bersifat lokuttara (kekal). “Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar, Kepuasan adalah keukayaan yang paling berharga, Kepercayaan adalah saudara yang paling baik, Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi” (Dhp. 204). Isyarat ini menunjukkan secara jelas bahwa dalam dunia ini terdapat dua macam kebahagiaan. Sebagian besar menyenangkan dirinya dengan memuaskan nafsu indera sebagai yang lain mencari kesenangan dengan meninggalkan kemelekatan sebagai samana. Tidak terikat oleh sifat duniawi mengarah pada kebahagiaan batin yang tertinggi, termulia dan teragunng. 
     Buddha mengajarkan kebenaran Dhamma untuk berbuat kebajikan yang mengakibatkan kebahagiaan. Ada empat jenis kebahagiaan yang dapat dicapai oleh umat perumah tangga tatau umat awam yang menikmati kesenangan indera, bergantung pada waktu dan kesempatan. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan memiliki kekayaan, kebahagiaan dapat menikmati kekayaan, kepuasan, kebahagiaan tanpa hidup tercela” A.II’236). 
Kebahagiaan dalam kehidupan keluarga adalah sasaran yang selalu didambakan oleh setiap keluarga, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil dari kehidupan berkeluarga yang memiliki dasar dan persiapan yang matang. Sebagian pendapat memiliki kekayaan yang berlimpah keharmonisan dan kebahagiaan keluarga dapat tercapai. Kemakmuran ekonomi merupakan landasan bagi kehidupan yang baik. Buddha tidak melarang pada umatnya untuk mengumpulkan kekayan sebanyak-banyaknya dengan batas kekayaan yang dikumpulkan harus sesuai dengan Dhamma yaitu uasaha benar dengan penuh semangat dan dikumpulkan dengan tangannya sendiri. Kekayaan yang telah dimiliki hendaknya dapat dipertahankan, yang akan dapat bergunakan dikala kesulitan ekonomi, justru perlu ditambah supaya berlipat ganda, untuk menambah kekayaan maka seseorang harus merencanakan kekayan dengan baik, penuh semangat dalam membangun dan bekerja tanpa lelah. 
      Pondasi keluarga dalam menuju kebahagiaan adalah memiliki harta kekayaan untuk kelangsungan kehidupan keluarga dan dapat menikmati kekayaan yang dihasilkan dengan benar. Setelah mendapat kekayaan bukan berarti langsung berfoya-foya namun menggunakan dengan sewajarnya dan tidak berlebihan. Dalam hal tersebut seseorang dituntut untuk memiliki pola kehidupan yang seimbang, manajemen keluarga yang baik. Keteraturan ekonomi keluarga dalam ekonomi keluarga sangat membantu seseorang untuk terbebas dari hutang. Kehidupan yang tidak terjerat oleh hutang adalah kebahagiaan (annana sukkha). Memiliki perasaan puas dengan apa yang dimiliki kebiasaan hidup hemat dan sederhana maka seseorang terbebas dari hutang. 
     Kehidupan keluarga yang memiliki hutang maka kehidupan akan dipenuhi perasaan tertekan akan kewajiban membayar hutang maupun kridit, akan tetapi seorang yang miskin hidup cukup ketika terbebas dari jerat hutang akan merasa lega dan bahagia. Begitu pula kehidupan keluarga yang luhur memiliki prilaku, ucapan dan pemikiran tanpa cela adalah sumber kebahagiaan. Setiap tindakan hendaknya selalu melakukan kebaikan yaitu perbuatan yang bermanfaat untuk kesejahteraan diri sendiri maupun orang lain, untuk tindakan baik yang dilakukan adalah melaksanakan sila. Sila merupakan pedoman dalam kehidupan berkeluarga. 
      Sila merupakan dasar moralitas yang baik apabila dijalankan akan membuat kehidupan menjadi bahagia. Demikian juga sebagai umat awam yang menjalani kehidupan berkeluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup harus berpedoman pada sila yaitu bermata pencaharian benar, yang berarti menghindari mata pencahariaan yang menyebabkan kerugian orang lain atau mahluk lain seperti penipuan, penghianatan dan pemerasan. Buddha menjelaskan lima macam perbuatan tercela yang seharusnya dihindarkan dalam mata pencahariaan yaitu; (1) berdagang binatang yang akan dipotong, (2) berdagang daging, (3) berdagang senjata, (4) berdagang minuman keras dan obat-obat bius lainya, (5) berdagang racun” (A.III,208).
Perbuatan tercela dalam kehidupan berumah tangga disamping lima macam mata pencaharian yang tidak benar diatas juga masih dikategorikan sebagai suatu perbuatan tidsak baik yang tercela. Segala bentuk perbuatan kecil apapun yang masih tercela oleh bijaksana adalah perbuatan yang tidak baik dan seyogyanya tidak dilakukan oleh umat Buddha pada umumnya dan para perumah tangga pada khususnya. Kehidupan berkeluarga untuk menjaga keharmonisan, kebahagiaan adalah melaksanakan sila pancasila buddhis agar keduanya saling menjaga kesetiaan diantara pasangan. 
      Buddha memberikan nasehat kepada suami-istri didalam kehidupan berkeluarga, saat memberikan nasehat kepada wanita (Vesakha) berkenaan dengan perannya didalam rumah tangga. Buddha berpendapat bahwa kedamaian, kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga banyak tergantung pada seorang istri. Berkenaan dengan kelakuan sehari-hari yang pantas dan tidak pantas dilakukan seorang istri yaitu; (1) tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang kurang baik tentang suaminya, (2) tidak bersikap kasar, kejam dan menguasai, (3) tidak hidup boros sebaiknya harus hemat dan pola hidup sewajarnya, (4) menjaga kekayaan dan menyimpan hasil kerja keras suaminya, (5) selalu memberikan perhatian, pertimbangan pemikiran dalam berpikir dan berbuat kepada keluargannya, (6) penuh kasih sayang, rajin dan bekerja berbakti kepada suaminya dengan sungguh-sungguh, (7) rendah hati dan menaruh rasa hormat pada istrinya, dengan menjaga kesetiaan dan memberikan keleluasaan dalam mengatur urusan rumah tangga yang telah memberikan keperluan kebutuhan keluarga, (8) menajalankan kewajiban sebagai seorang istri yang baik. “Seorang pria atau suami secara tegas melakukan lima cara yaitu; menghormati istrinya, bersikap lemah lembut, setia, menyerahkan kekuasaan rumah tangga, dan memberikan barang-barang hasil kerja serta memberikan perhiasan” (D.III,190). 

D. Nilai spiritual dan Karakteristik Hidup Berkeluarga 
      Orang yang memasuki perkawinan tentunya harus merencanakan dengan matang keluarga yang diharapkan bersama. Menikah bukan semata-mata karena keterpaksaan tetapi karena sudah siap bersaam untuk melakukan hidup bersama. Disisi yang lain orang yang bijaksana seharusnya benar-benar mengenali calon istri-suiaminya dengan baik sebelum sampai pada pelaminan. Masa pacaran, pendekatan, kesepakatan, jadian untuk pertunangan dapat dimanfaatkan untuk memastikan bahwa ia tidak salah pilih. Tentunya perlu kejujuran, berikutnya harus ada keberanian untuk mundur bila tidak ada kecocokan. Karena perkawinan itu membawa tanggung jawab, kedewasaan bersama baik jasmani, mental maupun spiritual. 
      Nilai-nilai spiritual tidak boleh dikesampingkan oleh banyak pertimbangan mengenai seks dan kekayaan. Buddha memberi banyak nasehat bagi perumah tangga yang menekankan aspek moral dari suatu perkawinan. Menurut Buddha ada empat macam pasangan perkawinan yaitu; (1) pria busuk atau Chavo dan wanita busuk, suami istri yang merupakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk, (2) pria busuk dengan dewi, suami yang berkelakuan buruk dengan istri yang berbudi luhur atau berkelakuan baik, (3) dewa dan wanita busuk, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang berkelakuan buruk, (4) dewa dan dewi, suami yang berkelakuan baik dengan istri yang berbudi luhur atau berkelakuan baik atau sama-sama mulia karena kelakuan yang baik. Sudah tentu perkawinan akan membawa bahagia, yang dipuji oleh Sang Buddha (A.II,57-58). 
      Pesta perkawinan di Jambunada Buddha menasehati khotbah mengenai perkawinan yang hendak dilandasi cinta akan kebenaran. Manusia membayangkan kebahagiaan dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua hati yang saling mencintai. Tetapi kematian yang akan memisahkan suami dari istrinya, istri dari suaminya. Ada nilai kebahagiaan yang lebih besar yaitu menikahkan dirinya dengan kebenaran. Kematian tidak akan pernah menjamah dia yang kawin dan hidup dalam ikatan suci dengan kebenaran, karena kebenaran itu abadi. Perkawinan itu tiada lain dan bukan adalah saling melengkapi, saling mendukung, dan melindungi sehingga pasanganyang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari perkawinan kedua individu yang berbeda membentuk pasangan hidup yang bahagia, terbebas dari kesepian, kekawatiran, ketakutan dan kekurangan serta kelemahan. Dengan demikian dapat memperkuat kehidupan spiritual bersama. 
      Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, diharapkan akan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi. Tidaklah mungkin mengharapkan pelatihan yang singkat dapat menghasilkan perkawinan mempertemukan dua orang yang sudah matang dalam perbedaan karakter dan kepribadian yang sudah melekat jauh sebelumnya. 
      Kepada Sujata, adik perempuan dari maha upasika Visakha, yang menjadi menantu maha upasaka Anthapindika, Buddha mengelompokan para istri menurut wataknya terdapat tujuh macam yaitu; (1) istri yang mirip pembunuh, yang jahat pikirannya, kejam, melalaikan suami atau serong, (2) istri yang menyerupai perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapat suami, (3) istri yang mirip penguasa, yang rakus, malas, kasar, dan menekan suami, (4) istri yang menyerupai seorang ibu yang penuh kasih sayang, merawat dan menjaga suaminya, (5) istri yang menyerupai saudara, seperti adik yang memperlakukan kakaknya dengan hormat, (6) istri yang menyerupai teman, kekasih pujaanya yang penuh cinta, (7) istri yang mirip pelayan, yang patuh, memikul beban dengan kesabaran, bahkan tabah menghadapi amarah suami. Tentu saja istri yang mirip pembunuh, perampok dan penguasa itu tidak terhormat, tidak bermoral, sehingga membawa penderitaan. (A.IV,91). 
     Sang Buddha berkata bahwa pernikahan antara suami jahat dan istri jahat adalah seperti vampir yang bersanding dengan vampir yang lain. Pernikahan antara suami jahat dan istri yang baik adalah seperti vampir bersanding bidadari. Pernikahan antara suami yang baik dengan istri yang jahat adalah seperti malakikat bersanding dengan vampir. Pernikahan antara suami yang baik dengan istri yang baik adalah seperti malaekat bersanding bidadari. Montaigne membuat lelucon tentang pernikahan dalam keluarga adalah pernikahan idealnya berlangsung antara seorang perempuan buta dengan seorang laki-laki yang bisu. 
Ketika Vesakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat (Dhammapada Atthakatha, Buddhis Legends Jilid II, halaman 72-73) yaitu : 
1. Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah. Api disini maksudnya berarti fitnah, seorang istri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lai, demikian pula tidak menceritakan kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain. 
2. Jangan memasukan api dari luar ke dalam rumah, seorang istri seharusnya tidak mendengarkan hasutan atau gossip dari keluarga-keluarga dan membawanya ke dalam rumah. 
3. Memberi hanya kepada mereka yang memberi, dan meminjamkan barang atau sesuatu hanya kepada mereka yang mau mengembalikan. 
4. Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi dan jangan meminjamkan barang atau sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang pinjaman tersebut. 
5. memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi, maksudnya menolong orang yang miskin atau kawan tanpa peduli apakah mereka akan mengembalikan atau tidak. 
6. Duduk dengan bahagia, duduk pada posisi yang sesuai apabila mertua datang menghampirinya dan ia harus berdiri untuk menghormatinya. 
7. Makan dengan penuh bahagia, sebelum makan seorang istri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, disamping memperhatikan juga kebutuhan makan dari para pembantu rumah tangganya. 
8. Tidur dengan bahagia, sebelum tidur hendaknya memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela kamar sudah tertutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah selesai menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bagun pagi-pagi sekali dan tidak tidur siang kecuali sedang sakit. 
9. Rawatlah api di dalam rumah, merawat mertua dan suami dengan baik seperti juga merawat orang tuanya seperti api di dapur dan api merawat kita di dapur. 
10. Hormatilah dewata keluarga seperti mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk diharmatinya. 
Pasangan suami-istri berusaha sebisa mungkin untuk selalu mengembangkan nilai-nilai yang telah lapuk oleh waktu seperti kasih sayang, kesetiaan, dan kesusilaan. Pertumbuhan sejati hanya bisa muncul melalui pengembanagn nilai-nilai tersebut. Tak ada yang bisa menghindarkan diri dari hokum alam sebab akibat ini. Harapan bagi pertumbuhan pribadi dan keharmonisan masyarakat terletak pada pengakuan terhadap hokum, bukan menyerah kepada nafsu kebinatangan yang Cuma membawa kesengsaraan bagi orang yang dicintai. Harkat diri, martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan mulai terkikis dalam kehidupan modern ini, yang terpenting kini adalah setiap diri individu hendaknya jangan mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang terpenting sebagai manusia yang terhormat. 
Menurut tradisi timur, seorang istri wajib memandang suami sebagai yang dipertuan. Sang Buddha pernah bersabda bahwa istri juga adalah sahabat karib dan dewa penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan baik dan dicintai oleh suaminya maka kehidupan keluarga akan bahagia. 

E. Kesimpulan. 
     Dalam menciptakan suatu perkawinan yang bahagia, baik suami-istri harus lebih memikirkan hubungan itu daripada kepentingan masing-masing. Hubungan ini merupakan pertalian dua kepentingan, dan pengorbanan yang harus dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Dari saling pengertian dan saling peduli, rasa aman dan berkecukupan dalam hidup bersama menuju tercapainya harapan bersama. 
     Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam pernikahan. Tak ada dua insane yang hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu lama, tanpa pernah mengalami kesalahpahaman atau perselisihan dari waktu-kewaktu. Pengertian dan tolerasi, kemarahan dan kecurigaan. Berpikir bahwa seseorang tidak perlu melaksanakan sikap memberi-menerima saja tetapi mencintai dalam perkawinan itu perlu pengorbanan. 
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keserasian bukan sekedar mencari pasangan yang tepat. Kedua belah pihak harus saling berusaha menjadi orang yang tepat dengan bersikap saling menghormati, saling mencintai, dan memperhatikan satu sama lainya. Cinta dalam perkawinan adalah persaan dan pemenuhan batin yang saling timbal balik muncul dari pertumbuhan yang sehat, demi dan bersama yang lain. Dalam pernikahan yang berhasil, setiap pasangan harus selalu tidak mencoba menjalankan segala sesuatu menurut caranya sendiri. Ini mengingatkan kita pada pepatah yang lucu, “Laki-laki punya maunya, perempuan punya caranya”. Cuma ada satu jalan untuk menempuh hidup bersama, tetapi selalu merupakan jalan bersama. 
     Pernikahan yang bahagia bukanlah pernikahan yang dijalankan dengan mata tertutup. Namun harus dapat melihat kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi, harus menerima kenyataan bahwa tak ada gading yang tak retak. Seorang suami-istri harus belajar berbagi kebahagiaan dan derita dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adanya saling pengertian, saling setia, saling percaya, saling menghormati, saling mengalah, saling membantu, saling bersahabat dan saling memelihara komunikasi yang baik adalah resep rahasia pernikahan yang bahagia. Pernikahan adalah berkah, tapi sayangnya banyak orang yang memperlakukannya dengan sebaliknya akibatnya kurang adanya komunikasi dan pengertian yang benar. 
Pernikahan adalah kebiasaan sosial, suatu lembaga yang dibuat manusia untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, untuk membedakan manusia dari kehidupan hewan dan untuk memelihara keutuhan dan keselarasan dalam proses berkembang biak. Sekalipun Buddha tidak berkomentar tentang monogamy atau poligami, Buddha menyarankan kepada umat awam untuk membatasi diri mereka dengan satu pasangan dalam hidupnya. Sang Buddha tidak memperlakukan aturan tentang kehidupan pernikahan tetapi memberikan nasehat yang perlu tentang bagaimana menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia. Ada anjuran penuh dalam khotbah Buddha bahwa adalah, keyakinan, kesusilaan, kemurahan hati dan kebijaksanaan sebaiknya setia pada pasangan hidup dan tidak terbawa nafsu dan mengejar pasangan lain. 
     Masayarakat tumbuh melalui jaringan hubungan yang saling menguntungkan dan saling bergantungan. Setiap hubungan adalah komitmen sepenuh hati dalam membantu dan melindungi orang lain dalam suatu kelompok atau komunitas. Pernikahan pun memegang peran yang sangat penting dalam jaringan hubungan. Pernikahan yang baik harus tumbuh berkembang secara bertahap dari pengertian dan bukan nafsu, dari pengertian sejati dan bukan kesenangan semata., masing-masing saling melengkapi kekurangan dan kelebihan dalam menciptakan perkawinan keluarga yang bahagia dalam persekutuan keselarasan, pancaran kelembutan, kedalikan diri, rasa hormat, kemurahan hati dan ketenangan serta pengabdian bersama. 


SABBE SATHA BHAVANTHU SUKHITATTA 
Semoga semua mahluk hidup berbahagia. 
Sadhu…….. Sadhu……… Sadhu……….
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA

1. Pendahuluan
Pada zaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja rokh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Rokh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengejarkan tanah dan lain sebagainya.
Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh rokh-rokh.
Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh yang memilikinya.
Upacara pemujaan rokh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.
2. Jaman Sriwijaya
Sriwijaya bukan saja termashur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmnu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar agama Buddha di Asia Tenggara dan memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh sarjana agama Buddha dari Tiongkok yang bernama Itsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. WAKTU pulang dalam Tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina.
Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada ± abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
3. Jaman Sailendra di Mataram
Pada ± tahun 775 sampai dengan ± tahun 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Jaman ini ialah jaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha sangat maju, dan kesenian – terutama seni pahat mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan Sewu.
Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun agama Buddha dan agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
4. Jaman Majapahit
Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1478) yang menganut agama Hindu, agama Buddha pun dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tak pernah terjadi. Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis buku yang berjudul “Sutasoma”, dimana terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
5. Jaman Abad ke-20
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, bhikkhu Narada antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
  1. Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
  2. Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
  3. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
  4. Menjalin kerja sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin Kok Sih di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
  5. Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawotjo, tokoh umat Buddha Jawa Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh bhikkhu Narada pada tanggal 10 Maret 1934.
    Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali agama Buddha di pulau Jawa pada waktu itu adalah antara lain :
    1. Pandita Josias Van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section (Headquarter-nya berada di Thaton, Birma).
    2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
Tahun 1938 berdirilah Sam Kauw Hwee di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1952 Sam Kauw Hwee-Sam Kauw Hwee tersebut bergabung menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), kemudian mengganti nama menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia.
Pada tahun 1953 The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi bhikkhu Theravada di Birma oleh Ven. Mahasi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Sekitar tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).
Pada tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpuan Buddhis Indonesia (disingkat PERBUDI) yang berkedudukan di Semarang, tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke Jakarta. Ketua umum berturut-turut dijabat oleh Sosro Utomo, Sadono, Soemantri MS dan Suraji Ariakertawijaya. Tahun 1970 menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari PERBUDI, PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia) dan Wanita Buddhis Indonesia.
Pada tahun 1959 Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia disertai 12 (dua belas) bhikkhu senior dari beberpa negara yaitu :
  1. H.E. Samdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
  2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
  3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
  4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
  5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
  6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
  7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
  8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
  9. Ven. Ransegoda Saranapala Thera dari Sri Lanka.
  10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
  11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
  12. Ven. Phra Kru Champirat Thera dari Thailand.
  13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal 21 Mei 1959 Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta.
Pada hari yang sama I Ktut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya, dan Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Dan pada tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Ven. Narada Mehathera (pada tanggal 12-2-1976 telah lepas jubah dan kembali menjadi umat Buddha biasa). Tanggal 26 Juli 1988 ditahbiskan kembali di WAT BOVORANIVES, Bangkok dan diberi nama THITAKETUKO.
Antara tahun 1963 sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu dengan yang lain saling menjatuhkan.
Pada tanggal 15 Nopember 1966 Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Ven. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya bhikkkhu Jinapiya, lepas jubah, dan kembali menjadi umat Bhuddha biasa).
Pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Sri Lanka diberi nama Sumanggalo. Wafat di Negeri Belanda tanggal 2 September 1987.
Pada tanggal 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Pada tahun 1969 datang Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi mangirim melalui bhikkhu Jinaratana buku-buku suci TIPITAKA dalam bahasa Pali dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda, Palembang, Jambi dan lain-lain tempat lagi.
Pada tahun 1969 itu juga dating di Indonesia 4 (empat) orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan agama Buddha di Indonesia, yaitu :
  1. Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn).
  2. Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya.
  3. Ven. Phra Maha Prataen Khemadasi.
  4. Ven. Phra Maha Sujib Khemacharo.
Pada tahun itu pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Tahun 1971 terbentuk Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang perayaan Waisak tahun 1971 telah datang rombongan bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan ‘Brahma-Vihara’ yang terletak di Banjar, Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari :
  1. Ven. Chau Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit.
  2. Ven. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket.
  3. Ven. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae.
  4. Ven. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada tanggal 12 Januari 1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Jinapiya, Girirakkhito, Jinaratana, Sumanggalo dan Subhato.
Pada tanggal 28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari 7 (tujuh) organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) dengan Suraji Ariakertawijaya sebagai Ketua Umum dan sebuah Majelis yang diberi nama Mejelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang mendatangani ikrar tersebut di atas adalah :
  1. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI).
  2. Buddhis Indonesia.
  3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI).
  4. Gabungan Tri Dharma Indonesia.
  5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga.
  6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
  7. Dewan Wihara Indonesia.
Di sini perlu kiranya dicatat, bahwa Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pada tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada tanggal 23 Juli 1975 Ibu Tien Suharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada tanggal 12 s/d 14 Maret 1976 diselenggarakan persamuan ke-I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang dan berhasil membuat beberapa Ketepatan mengenai berbagai aspek agama Buddha di Indonesia. Juga telah terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia yang terdiri dari:
  1. Suraji Ariakertawijaya, Sekretaris Jendral.
  2. Mulyadi SH, Anggota.
  3. Susilo, Anggota.
  4. Seno Sunoto, Anggota.
  5. K. Karbono, Anggota.
Pada tanggal 29 September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH., dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan umat dari 7 (tujuh) organisasi, yaitu :
  1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
  2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI).
  3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia.
  4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia.
  5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  6. Pamong Umat Buddha Kasogatan.
  7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen MPU Sumedha Widyadharma.
Pada tanggal 11 Oktober 1976 terbentuk Mejelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis Agama Buddha yang ada, yaitu:
  1. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
  2. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  3. Majelis Buddha Dharma Indonesia.
  4. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GITI).
  5. Majelis Kasogatan.
  6. Nichiren Shoshu.
  7. Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Pada tanggal 7 dan 8 Mei 1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai WADAH TUNGGAL umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. sebagai ketua dan anggota-anggotanya :
Suwarto Kolopaking, S.H.,
Ir. T. Soekarno,
Gunawan Sindhumarto, S.H.,
Drs. Oka Diputhera,
Bhaggadewa Siddharta,
Herman S. Endro, S.H.,
Hartanto Kulle.
Adapun Dewan Pembina WALUBI terdiri dari :
Soemantri M.S.,
Pandita S. Widyadharma,
Giriputra Soemarsono,
I.S. Susilo,
Zen Dharma,
Sasanaputra, dan
Seno Soenoto.
Sedangkan organisasi Buddhis yang tergabung dalam WALUBI adalah :
  1. Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDDHI).
  2. Majelis Buddha Mahayana Indonesia.
  3. Majelis Dharma Duta Kasogatan.
  4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
  5. Majelis Rokhaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA).
  6. Majelis Upasaka Pandita Agama Buddha Indonesia (MARTRISIA)
  7. Majelis Nichiren Shoshu Indonesia.
  8. Sangha Theravada Indonesia.
  9. Sangha Mahayana Indonesia.
  10. Sangha Agung Indonesia.
Pada tanggal 27 dan 28 Februari 1982 telah diadakan Kongres Luar Biasa WALUBI di Jakarta dan di kongres tersebut terpilih sebagai Ketua Umum Sumantri M.S. dan Seno Soenoto sebagai Sekjen.
Pada tanggal 8 s/d 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto.
Di Kongres ini telah tersusun pengurus yang baru, yaitu :
Dewan Pimpinan Pusat
Ketua Umum : Bh. Girirakkhito Maha Thera
Wakil Ketua Umum : Drs. Aggi Tjetje, SH
Widyeka Sabha
Ketua : Bh. Ashin Jinarakkhita Maha Thera
Wakil Ketua : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Pada tanggal 9 Maret 1981 telah dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya dengan Ketua: Bapak O.P. Koesno (alm) dan Sekretaris: Drs. Teja SM Rashid.
Pengukuhan Uposathagara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1985 dan upacara dipimpin oleh Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, yang untuk keperluan ini datang bersama lebih dari sepuluh orang bhikkhu dari Thailand. Harap diketahui, bahwa seorang Dhammaduta dari Thailand, Phra Sombat Pavito Thera banyak sekali perannya dalam memberi nasehat dan pengarahan dalam pembangunan Uposathagara tersebut.
Di vihara ini pada tanggal 6 Desember 1987 ditahbiskan tiga orang bhikkhu Indonesia dengan Bh. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya. Tiga orang bhikkhu tersebut adalah Bh. Jagro, Bh. Gandhako (alm.) dan Bh. Khantidharo. Bh. Sukhemo Thera juga menjabat sebagai direktur dari Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka.
Tanggal 16 Oktober 1988 untuk pertama kali di Indonesia divisudhi 3 (tiga) orang Sarjana Agama Buddha (jurusan Dharmacariya) lulusan Sekolah Tinggi Agama Buddha NALANDA. STAB NALANDA ini dikelola oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dan terdaftar di Direktorat Jendral Bimas Hindu dan Buddha No. H/9/SK/1988.
Bapak Mulyadi Wahono, SH adalah direktur dari STAB NALANDA, jabatan mana yang dipegangnya sejak diresmikannya Akademi Buddhis Nalanda (pandahulu dari STAB NALANDA) oleh Dirjen Bimas Hindu & Buddha, Bapak Drs. Gde Puja, SH pada tanggal 11 Juni 1979.
Di tahun 1988 sesuai dengan Keputusan Persamuan III/1988 Sangha Theravada Indonesia No. 01/Pasamuan III/XI/88 telah terbentuk susunan pengurus Sangha yang baru yang antara lain terdiri dari :
Penasehat : Girirakkhito Mahathera
Ketua Umum : Sri Pannavaro Thera
Sekjen : Subalaratano Thera
Pada tanggal 4 Desember 1990 diadakan upacara peletakan batu pertama di Vihara Mahavira Graha Pusat, Jalan Lodan Jakarta, yang a.l. dihadiri oleh Bapak Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Duta Besar Myanmar, Ketua Umum DPP WALUBI, Ketua Harian WALUBI, Romo MP Sumedha Widyadharma (Wkl. Ketua Widyeka Sabha WALUBI), anggota Sangha serta pimpinan Majelis-majelis Agama Buddha Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1991 Sangha Theravada Indonesia menyerahkan upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Sunter Jakarta, yaitu :
– Sumedha Widyadharma mendapat gelar SASANA CARIYA
– Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA
– Visakha Hartati Tjakra Murdaya gelar SASANA PALA
Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi untuk masa ini dan juga yang pertama kali diberikan oleh Sangha Theravada Indonesia.
Munas WALUBI II dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto di Istana Negara pada tanggal 7 Desember 1992 dan kemudian rapat-rapat di Hotel Horizon, Jakarta sampai tanggal 9 Desember 1992.
Munas berhasil memilih :
– Bhikkhu Girirakkhito Mahathera sebagai Ketua Umum WALUBI, dan
– Drs. Budi Setiawan sebagai Sekretaris Jendral.
Beberapa waktu kemudian diangkat dr. R. Surya Widya sebagai Ketua Harian DPP WALUBI dengan tugas untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari DPP WALUBI yang bersifat intern.
Pada tanggal 12 Juli 1994 untuk pertama kali dalam sejarah umat Buddha Indonesia, Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Hotel Hilton Convention Center bersama-sama dengan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno, para Menteri, undangan dan umat Buddha Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1994 telah dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan susunan pengurus :
Ketua Umum : Drs. Siti Hartati Murdaya, MBA
Sekjen : Drs. Oka Diputhera.
Tanggal 1 Maret 1995 dr. R. Surya Widya mengundurkan diri sebagai Ketua harian DPP WALUBI dan Bapak Anton Haliman diangkat menjadi Ketua Harian DPP WALUBI.
Pada tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Jawa Tengah, Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI) untuk pengabdian terus menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di bumi Indonesia. Mereka adalah :
– Drs. Teja S.Mochtar Rashid mendapat gelar DHAMMA VISARADA
– Herman Satriyo Endro, SH mendapat gelar DHAMMA LANKARA
– dr. R.Surya Widya mendapat gelar SASANA DHAJA
Pada tanggal 19 Juli 1995 Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto dan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno untuk kedua kali berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2539/1995 di Hotel Hilton Convention Center bertepatan pula negara kita akan merayakan peringatan 50 tahun proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1995.
Hari Uposatha


      Pengertian Uposatha secara Umum 

       Pada jaman Sang Buddha, uposatha mengacu pada empat hari sakral menurut penanggalan lunar yaitu tanggal 1, 8. 15 dan 23. Hari-hari ini dianggap oleh orang India pada jaman Sang Buddha sebagai hari yang sakral. Bagi para guru agama di India kuno, hari-hari ini digunakan untuk berdiskusi ajaran-ajaran mereka atau mempraktikkan upacara-upacara tertentu. Sementara umat awam sendiri menggunakan hari-hari ini untuk menjalankan upacara keagamaan.

      Sejarah Uposatha Dalam Agama Buddha 

      Seperti yang kita ketahui saat ini, di hari-hari uposatha ini, ada beberapa aktifitas religius yang harus dipraktikkan oleh umat Buddha baik para upasaka dan upasikā maupun para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Dalam empat hari uposatha ini, upasaka dan upasikā dianjurkan untuk melatih 8 sila. Sementara itu, pada tanggal 1 dan 15, para bhikkhu, bhikkhuni, sāmanera dan sāmaneri harus membaca kembali peraturan-peraturan mereka. 

      Namun demikian, ketika Sangha atau perkumpulan para bhikkhu dan bhikkhuni belum lama ditetapkan oleh Sang Buddha, Sangha dan juga umat Buddhist tidak menganggap hari-hari uposatha ini sebagai hari yang sakral atau spesial. Mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan religius tertentu pada hari-hari ini. Kegiatan hari uposatha ditetapkan setelah ada permintaan yang diajukan oleh Raja Bimbisara. 

      Dalam Uposathakkhandhaka dari Mahavaggapali, Vinayapitaka, diceritakan bahwa pada hari-hari uposatha yang disebutkan di atas, para pertapa dari sekte-sekte lain pada jaman Sang Buddha menggunakan hari-hari ini untuk berdiskusi ajaran mereka sehingga banyak umat awam yang memperoleh keyakinan pada para pertapa ini. Melihat hal ini, Raja Bimbisara menemui Sang Buddha dan menceritakan hal ini. Sang Buddha, kemudian, memberi peraturan kepada para bhikkhu untuk berkumpul di empat hari ini. 

       Di teks yang sama, dikatakan bahwa suatu saat, ketika Sang Buddha berada dalam kesendirian, sebuah pikiran muncul: ‘Bagaimana jika saya mengijinkan para muridku untuk membaca kembali peraturan-peraturan kebhikkhuan yang telah ditetapkan olehku untuk membentuk pembacaan Pātimokkha? Ini akan menjadi peraturan legal untuk mereka’. Kemudian setelah bangun dari kesendirian, Sang Buddha memanggil para bhikkhu dan menetapkan peraturan bahwa para bhikkhu hendaknya membaca Pātimokkha / peraturan-peraturan vinaya kebhikkhuan di hari uposatha khususnya pada tanggal satu (kalapakka) dan limabelas (sukkapakka). 

       Dengan ditetapkan peraturan ini, seiring dengan kebutuhan para bhikkhu, ruangan uposatha (uposathaghara) diijinkan oleh Sang Buddha untuk dibangun dan digunakan sebagai tempat pembacaan Pātimokkha. Pembangunan uposathaghara ini juga memerlukan batas-batas yang harus disetujui oleh Sangha yang dikenal sebagai sima. 

       Perlu diingat bahwa pembacaan Pātimokkha bisa dibacakan hanya ketika ada paling tidak empat bhikkhu karena empat bhikkhu ini sudah dianggap sebagai Sangha. Pembacaan Pātimokkha ini tidak diperkenankan jika hanya ada satu, dua atau tiga bhikkhu saja. Namun demikian, jika hanya ada satu bhikkhu, hendaknya di hari uposatha yang telah ditetapkan ini, bhikkhu tersebut melakukan adiṭṭhāna / tekad untuk menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Jika ada dua atau tiga bhikkhu, meskipun pembacaan Pātimokkha tidak diperkenankan, saat itu, bhikkhu-bhikkhu tersebut dianjurkan melakukan apattidesana / permintaan maaf kepada satu sama lain. Apattidesana ini merupakan keharusan bagi para bhikkhu sesaat sebelum mereka membacakan Pātimokkha. 

       Di samping itu, pada saat pembacaan Pātimokkha berlangsung, umat awam atau, bhikkhuni, sāmanera/neri tidak dianjurkan untuk masuk sima / batas-batas dalam Uposathaghara. Jika ini terjadi, pelaksanaan hari uposatha tersebut gagal dan harus diulangi. 

       Uposatha untuk Para Sāmanera 

       Sebenarnya referensi mengenai kehidupan sāmanera sangat sedikit dalam Tipitaka. Sejarah mengenai keharusan pembacaan 10 peraturan sāmanera pada hari-hari uposatha juga tidak ditemukan dalam Vinayapitaka atau dua pitaka lainnya dalam Tipitaka. Dalam Mahākkhandhaka dari Majjhimanikāya, di sana hanya diceritakan mengenai awal mula penahbisan sāmanera Rahula atas permintaan Sang Buddha. Di teks ini, Sang Buddha hanya menetapkan cara member pentahbisan kepada sāmanera dengan menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan juga peraturan-peraturan seperti 10 peraturan utama (dasasikkhapada), 10 pelanggaran yang menyebabkan pengusiran dan 5 pelanggaran yang menyebabkan hukuman. Dalam Tipitaka, Sang Buddha tidak pernah menyatakan adanya tradisi seorang sāmanera untuk membacakan peraturan-peraturannya di hari uposatha. 

       Namun demikian, dalam kitab komentar, dijelaskan bahwa kapanpun ketika seorang sāmanera melakukan pelanggaran, ia hendaknya menceritakan kepada seorang bhikkhu dan meminta maaf. Sementara itu, bhikkhu yang dimintai maaf harus memberikan nasehat dan meminta sāmanera tersebut untuk menyatakan berlindung ke Buddha, Dhamma dan Sangha lagi dan membaca 10 peraturan utamanya. 

       Meskipun dalam Tipitaka dan kitab komentar tidak ada referensi mengenai keharusan sāmanera untuk membaca peraturan-peraturannya di hari uposatha, saat ini, tradisi tersebut dipraktikkan di Negara-negara Buddhist Theravada seperti Sri Lanka, Thailand, Birma dan Kamboja. Di dua hari Uposatha yakni tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan lunar, seorang sāmanera diharuskan untuk menyatakan berlindung kepada 3 permata dan membaca kembali 10 peraturan utama di depan seorang Bhikkhu. Tradisi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tradisi pembacaan Pātimokkha para bhikkhu di hari-hari uposatha yang telah ditentukan. 

       Uposatha untuk Umat Awam 

       Anjuran Sang Buddha terhadap umat awam untuk melakukan aktifitas religius di hari-hari uposatha telah dijelaskan dalam Dhammikasutta dari Suttanipāta. Dalam sutta ini, beliau menjelaskan peraturan-peraturan moral yang harus dipraktikkan umat awam di hari-hari uposatha yakni, menghindari pembunuhan, pencurian, seks, kata-kata bohong, minum minuman yang memabukkan, makan di malam hari atau jam-jam yang tidak diperbolehkan, menghndari penggunaan bunga dan parfum, dan menghindari tidur di tempat yang mewah. 

       Peraturan-peraturan di atas telah dijelaskan dengan detil dalam Uposathasutta dari Aṅguttaranikāya. Peraturan-peraturan ini dikenal sebagai 8 latihan moral (atthasila). Selain apa yang disebutkan di atas dalam Dhammikasutta, sutta ini menambahkan peraturan ke-tujuh untuk juga menghindari menari dan menyanyi. Sutta ini juga menjelaskan bahwa seorang upasaka / upasikā yang sedang mempraktikkan hari uposatha ini dengan menjalankan 8 latihan moral hendaknya merenungkan kwalitas para arahat yang telah sempurna mempraktikkan 8 latihan moral ini. Dikatakan bahwa manfaat yang diperoleh melalui perenungan ini sangatlah besar. Seseorang dikatakan bisa terlahir di alam-alam dewa setelah meninggal. Demikianlah, umat awam pun hendaknya menggunakan hari-hari ini dengan praktik religius yang lebih bermakna. 

       Kesimpulan 


       Demikianlah, meninjau fakta-fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa meskipun hari uposatha pada awalnya bukan merupakan tradisi agama Buddha, Sang Buddha telah menganjurkan para muridnya baik para pabbajita (bhikkhu/ni, sāmanera/neri) maupun gharavasa (umat awam) untuk menggunakan hari-hari uposatha untuk menguatkan praktik Dhamma mereka. Para bhikkhu dan bhikkhuni hendaknya melakukan apattidesana / permintaan maaf dan membaca Pātimokkha di hari-hari uposatha yang telah ditetapkan, sedangkan mengingat manfaat yang bisa diambil, sāmanera juga hendaknya kembali menyatakan berlindung kepada tiga permata dan mengulang kembali 10 latihan utama mereka. Sementara itu, umat awam, tidak seperti dalam hari-hari biasa yang hanya mempraktikkan 5 latihan moral (pañcasīla), di hari-hari uposatha, diwajibkan untuk melatih diri dalam 8 latihan moral.
Magha Puja

Setiap pada hari bulan purnama di sekitar bulan Februari atau Maret, umat Buddha seluruh dunia khususnya di Asia Tenggara, merayakan peringatan Hari Magha Puja. Nama dari perayaan ini diambil dari nama bulan dalam penanggalan India kuno, yaitu bulan Māgha, yang merupakan bulan kesebelas dalam penanggalan tersebut.
Berbagai kegiatan dilakukan oleh umat Buddha dalam hari peringatan tersebut dari pergi ke vihara untuk melakukan puja bakti hingga melakukan berbagai kebajikan seperti melaksanakan sila (kemoralan).
Lalu apa yang membuat Hari Magha Puja menjadi istimewa dan unik dari hari-hari yang lain? Hari Magha Puja menjadi istimewa dan unik karena adanya 4 dan 1 hal berupa peristiwa yang terjadi pada masa kehidupan Sri Buddha.
Berikut 4 hal yang membuat Hari Magha Puja menjadi begitu istimewa dan unik.
1. Para Arahant
Pada saat itu sebanyak 1250 orang Arahant (orang yang mencapai tingkat kesempurnaan batin tertinggi) tanpa diundang, berkumpul untuk menemui Sri Buddha di Vihara Veluvana (Hutan Bambu), di Rajagaha, Magadha.
2. Ehi Bhikkhu
Kelompok Arahant tersebut merupakan siswa Sri Buddha yang ditahbiskan sendiri oleh Sri Buddha dengan penahbisan (upasampada) dengan perkataan mengundang: “Ehi, Bhikkhu” (“Kemarilah, Bhikkhu”).
3. Nasihat Menuju Pembebasan
Pada kesempatan tersebut Sri Buddha membabarkan Nasihat Menuju Pembebasan (Pali: Ovāda Pāṭimokkha; Sanskerta: Avavāda Prātimokṣa) yang isinya merupakan prinsip-prinsip ajaran para Buddha. Nasihat ini sama seperti yang tercantum dalam Dhammapada 183, 184, dan 185.
4. Bulan Purnama
Keseluruhan peristiwa tersebut terjadi di hari yang sama pada hari bulan purnama di bulan Magha setelah masa vassa (retret musim hujan) yang pertama.
Keempat hal yang telah terjadi itulah yang menjadikan hari bulan purnama di bulan Magha menjadi istimewa dan menjadi alasan utama umat Buddha memperingatinya.