Kamis, 18 Mei 2017

Kathina 


Setiap tahun, mulai bulan Oktober sampai dengan November kita para umat dan simpatisan Buddhis di manapun berada secara serentak akan dapat mengikuti perayaan Kathina yang diselenggarakan di berbagai vihara.
Di berbagai negara Buddhis biasanya perayaan Kathina atau Kathina Puja dilaksanakan dengan sangat meriah dan bahkan paling meriah dibandingkan berbagai Hari Besar Agama Buddha lainnya seperti Magha Puja, Waisaka Puja maupun Asadha Puja. Perbedaan ini disebabkan karena adanya makna khusus dan khas dalam perayaan Kathina tersebut. 

Salah satu kekhususan yang terdapat dalam Kathina Puja tersebut adalah bahwa pada hari-hari besar Agama Buddha yang lain para umat serta simpatisan Buddhis biasanya datang ke vihara untuk berperanserta secara pasif dalam kegiatan yang diadakan waktu itu. Pengertian berperan serta secara pasif ini adalah bahwa para umat seusai melaksanakan Puja Bakti kemudian biasanya mereka segera kembali ke rumah masing-masing. Berbeda ketika mengikuti Perayaan Kathina, seluruh umat maupun simpatisan Buddhis sejak jaman Sang Buddha masih hidup akan berperan aktif dalam perayaan ini. Mereka berperan aktif dengan mempersembahkan dana berupa empat kebutuhan pokok para bhikkhu. Keempat kebutuhan pokok ini adalah kebutuhan bhikkhu akan makanan, jubah, tempat tinggal serta obat-obatan.

Para umat Buddha dalam menyambut perayaan Kathina biasanya sejak beberapa waktu sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri untuk memberikan persembahan Kathina. Bahkan pernah dijumpai seorang anak Sekolah Dasar yang sejak beberapa bulan sebelumnya menyisihkan sebagian dari uang saku sekolahnya untuk ditabung. Setelah tiba masa Kathina, maka anak tersebut membuka tabungannya dan seluruh hasilnya dipergunakan untuk mengadakan seperangkat jubah bhikkhu serta dipersembahkannya kepada Sangha dalam perayaan Kathina di salah satu vihara terdekat.
Tentu saja niat baik untuk menyediakan persembahan Kathina yang telah dipupuk dalam waktu yang cukup lama ini akan memberikan kondisi kepada anak tersebut untuk menimbun banyak karma baik yang pada waktunya nanti pastilah akan memberikan kebahagiaan sesuai dengan yang diharapkannya.

Ketika seorang umat atau simpatisan Buddhis menghadiri Perayaan Kathina maka bila Perayaan Kathina itu dihadiri lebih dari satu bhikkhu, atau bahkan dihadiri oleh Sangha yaitu para bhikkhu yang berjumlah empat, lima atau lebih maka pada saat mempersembahkan Dana Kathina tersebut ia memiliki sedikit kemungkinan untuk memilih mempersembahkan dananya kepada bhikkhu yang mungkin dia sukai. Dengan demikian, pada saat mempersembahkan Dana Kathina sesungguhnya para umat dan simpatisan Buddhis sudah mulai dilatih untuk rela mempersembahkan dana kepada bhikkhu siapapun juga tanpa harus memilih. Para umat bahkan mungkin saja memberikan dananya kepada bhikkhu yang sama sekali belum dikenalnya. Dengan demikian, mengikuti Perayaan Kathina secara aktif ini dimaksudkan adalah sebagai latihan melepaskan atau merelakan yang sikap batin ini dapat dijadikan dasar mencapai kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebahagiaan yang bisa diperoleh ini adalah bahwa hendaknya apabila seseorang melakukan perbuatan baik adalah demi perbuatan baik atau kebajikan itu sendiri bukan demi pribadi seseorang yang kita sukai atau dengan maksud-maksud yang lain.

Persembahan Dana Kathina juga bisa mempunyai makna sebagai latihan meningkatkan kesadaran para umat dan simpatisan Buddhis akan manfaat keberadaan para bhikkhu. Para bhikkhu yang tergabung dalam Sangha adalah merupakan kumpulan para pertapa yang berusaha melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari mereka agar mencapai tingkat batin tertinggi. Selain mempraktekkan Buddha Dhamma, para bhikkhu dalam kehidupannya juga diisi dengan membabarkan Buddha Dhamma ke berbagai tempat dengan tujuan agar dapat membahagiakan semua mahluk. Oleh karena itu, dengan mempersembahkan Dana Kathina umat akan mendapatkan kondisi untuk mendukung kelestarian Sangha yang tentu saja mempunyai pengaruh langsung yang positif untuk kelestarian Buddha Dhamma pula.

Perenungan makna Dana Kathina ini bukan hanya berlaku untuk para umat dan simpatisan Buddhis saja melainkan juga untuk para bhikkhu. Para bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah diturunkan oleh Sang Buddha adalah merupakan para pertapa yang tidak mempunyai penghasilan ataupun menerima gaji dari lembaga manapun juga. Oleh karena itu, kehidupan para bhikkhu sepenuhnya tergantung pada kebajikan para umat dan simpatisan Buddhis. Pemenuhan empat kebutuhan pokok hidup bhikkhu juga diperoleh dari umat. Padahal, pernah disebutkan dalam salah satu hasil penyelidikan ilmiah, bahwa karena adanya proses regenerasi sel yang terus menerus terjadi dalam tubuh manusia maka seluruh sel tubuh manusia dalam waktu tujuh tahun semuanya akan berganti.

Dengan demikian, apabila para bhikkhu telah menjalani kebhikkhuan lebih dari tujuh tahun, sesungguhnya seluruh sel tubuhnya telah diperoleh dari hasil kebajikan dan keyakinan para umat serta simpatisan Buddhis di manapun mereka berada. Kalau hal ini direnungkan, maka tentunya akan hilanglah kesombongan yang mungkin masih tersisa dalam batin para bhikkhu. Para bhikkhu hendaknya bisa menyadari bahwa ia tidak akan hidup tanpa umat. Padahal, sering dijumpai para umat membantu kehidupan para bhikkhu yang dijumpainya tanpa harus mengenalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, walaupun pengertian ini hendaknya tidak menjadikan bhikkhu sebagai ‘pesuruh’ umat, namun hendaknya para bhikkhu kemudian merenungkan, kebajikan apakah yang bisa dijadikan sebagai ‘balas jasa’ kebajikan para umat dan simpatisan Buddhis tersebut?


Oleh karena itu, dalam mengikuti perayaan Kathina di manapun juga, para umat dan simpatisan Buddhis bahkan para bhikkhu sekalipun hendaknya dapat merenungkan beberapa hal di bawah ini, yaitu:
  1. Para umat Buddha dalam menyambut perayaan Kathina biasanya sejak beberapa waktu sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri untuk memberikan persembahan Kathina. Bahkan pernah dijumpai seorang anak Sekolah Dasar yang sejak beberapa bulan sebelumnya menyisihkan sebagian dari uang saku sekolahnya untuk ditabung. Setelah tiba masa Kathina, maka anak tersebut membuka tabungannya dan seluruh hasilnya dipergunakan untuk mengadakan seperangkat jubah bhikkhu serta dipersembahkannya kepada Sangha dalam perayaan Kathina di salah satu vihara terdekat.
    Tentu saja niat baik untuk menyediakan persembahan Kathina yang telah dipupuk dalam waktu yang cukup lama ini akan memberikan kondisi kepada anak tersebut untuk menimbun banyak karma baik yang pada waktunya nanti pastilah akan memberikan kebahagiaan sesuai dengan yang diharapkannya.
  2. Ketika seorang umat atau simpatisan Buddhis menghadiri Perayaan Kathina maka bila Perayaan Kathina itu dihadiri lebih dari satu bhikkhu, atau bahkan dihadiri oleh Sangha yaitu para bhikkhu yang berjumlah empat, lima atau lebih maka pada saat mempersembahkan Dana Kathina tersebut ia memiliki sedikit kemungkinan untuk memilih mempersembahkan dananya kepada bhikkhu yang mungkin dia sukai. Dengan demikian, pada saat mempersembahkan Dana Kathina sesungguhnya para umat dan simpatisan Buddhis sudah mulai dilatih untuk rela mempersembahkan dana kepada bhikkhu siapapun juga tanpa harus memilih. Para umat bahkan mungkin saja memberikan dananya kepada bhikkhu yang sama sekali belum dikenalnya. Dengan demikian, mengikuti Perayaan Kathina secara aktif ini dimaksudkan adalah sebagai latihan melepaskan atau merelakan yang sikap batin ini dapat dijadikan dasar mencapai kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebahagiaan yang bisa diperoleh ini adalah bahwa hendaknya apabila seseorang melakukan perbuatan baik adalah demi perbuatan baik atau kebajikan itu sendiri bukan demi pribadi seseorang yang kita sukai atau dengan maksud-maksud yang lain.
  3. Persembahan Dana Kathina juga bisa mempunyai makna sebagai latihan meningkatkan kesadaran para umat dan simpatisan Buddhis akan manfaat keberadaan para bhikkhu. Para bhikkhu yang tergabung dalam Sangha adalah merupakan kumpulan para pertapa yang berusaha melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari mereka agar mencapai tingkat batin tertinggi. Selain mempraktekkan Buddha Dhamma, para bhikkhu dalam kehidupannya juga diisi dengan membabarkan Buddha Dhamma ke berbagai tempat dengan tujuan agar dapat membahagiakan semua mahluk. Oleh karena itu, dengan mempersembahkan Dana Kathina umat akan mendapatkan kondisi untuk mendukung kelestarian Sangha yang tentu saja mempunyai pengaruh langsung yang positif untuk kelestarian Buddha Dhamma pula.
  4. Perenungan makna Dana Kathina ini bukan hanya berlaku untuk para umat dan simpatisan Buddhis saja melainkan juga untuk para bhikkhu. Para bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah diturunkan oleh Sang Buddha adalah merupakan para pertapa yang tidak mempunyai penghasilan ataupun menerima gaji dari lembaga manapun juga. Oleh karena itu, kehidupan para bhikkhu sepenuhnya tergantung pada kebajikan para umat dan simpatisan Buddhis. Pemenuhan empat kebutuhan pokok hidup bhikkhu juga diperoleh dari umat. Padahal, pernah disebutkan dalam salah satu hasil penyelidikan ilmiah, bahwa karena adanya proses regenerasi sel yang terus menerus terjadi dalam tubuh manusia maka seluruh sel tubuh manusia dalam waktu tujuh tahun semuanya akan berganti.
  5. Dengan demikian, apabila para bhikkhu telah menjalani kebhikkhuan lebih dari tujuh tahun, sesungguhnya seluruh sel tubuhnya telah diperoleh dari hasil kebajikan dan keyakinan para umat serta simpatisan Buddhis di manapun mereka berada. Kalau hal ini direnungkan, maka tentunya akan hilanglah kesombongan yang mungkin masih tersisa dalam batin para bhikkhu. Para bhikkhu hendaknya bisa menyadari bahwa ia tidak akan hidup tanpa umat. Padahal, sering dijumpai para umat membantu kehidupan para bhikkhu yang dijumpainya tanpa harus mengenalnya terlebih dahulu. 
Dengan perenungan ini, maka hendaknya para bhikkhu dapat lebih meningkatkan pelaksanaan Buddha Dhamma dalam kehidupannya dengan lebih tekun dan bersemangat menjalankan kemoralan serta melatih meditasi. Dengan demikian, para bhikkhu akan dapat memberikan manfaat yang besar untuk para umat yang telah mendukung kehidupannya. Para bhikkhu benar-benar akan menjadi ladang yang subur untuk kebajikan mereka. Dan, tentu saja, dengan demikian para bhikkhu tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan baik untuk melatih diri agar lebih baik dan terus bertambah baik sehingga mencapai tingkat tertinggi yaitu kesucian atau Nibbana dalam kehidupan ini juga.
Demikianlah, paling tidak terdapat empat hal yang bisa dan pantas direnungkan dalam masa Kathina ini.
Semoga kita semua tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan Kathina ini untuk secara aktif mengembangkan kebajikan dan meningkatkan kualitas batin kita masing-masing.
Semoga kita semua berbahagia.
Selamat Kathina.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata.

Asadha (Asalha Puja) 

Menurut penanggalan Buddhis Theravada, pada tanggal 22 Juli 2013 merupakan hari besar Asalha Puja 2557 BE dan bagi para Bhikkhu, hari Asalha berarti pertanda akan dimulainya masa Vassapada keesokan harinya. Kata 'vassa' artinya `hujan', jadi masa vassa bagi para bhikkhu adalah menetap di suatu tempat (vihara, cetiya bila ada kuti atau di tempat tertentu), selama tiga bulan musim hujan.

Pada masa ini para Bhikkhu belajar, mendalami, menghayati dan mengamalkan Dhamma. di samping itu mereka mengajarkan dan membina umat yang datang ke vihara (tempat ber-vassa) atau membina umat dengan cara mengunjungi para umat yang ada di daerah sekitar tempat ber-vassa. Menurut peraturan kebhikkhuan, selama masa vassa,. para bhikkhu tidak diizinkan untuk meninggalkan tempat ber-vassa, namun bila ada urusan penting maka seorang bhikkhu dapat meninggalkan tempat ber-vassa selama tujuh hari.

“ Jalan yang lurus telah ditunjukkan dengan jelas;
Majulah dan jangan berbalik kembali.
Doronglah dirimu untuk maju.
Dengan cara itu engkau akan mencapai Kebebasan Sempurna (Nibbana).”

“ Memiliki semangat dan keuletan,
selalu bersungguh-sungguh dalam mengarahkan diri,
Orang bijaksana hendaknya tidak cepat puas,
hingga akhir penderitaan telah dapat diraih.”
(Theragatha 637,585)

Kepada para Bhikkhu yang saya hormati dan saya muliakan,
Selamat merayakan Asalha Puja dan Selamat memasuki masa vassa 2557 BE/2013.  Semoga para Bhikkhu Sangha Theravada yang telah mengabdikan segenap hidupnya di Jalan Dhamma-Vinaya dapat senantiasa memberikan bimbingan dan keteladanannya kepada seluruh masyarakat dan umat Buddha pada khususnya.



Asalha (Pali) / Asadha (Skt) adalah nama bulan lunar kedelapan. Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asalha disebut Asalha Puja / Asadha Puja.

Peristiwa suci Asalha merupakan peristiwa yang mempunyai arti yang sangat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab, dengan terjadinya peristiwa Asalha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini.

Hari suci Asalha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati Tiga Peristiwa Penting yang menyangkut kehidupan Sang Buddha dan Ajarannya, yaitu :

1.    Untuk pertama kali Sang Buddha membabarkan Dhammanya kepada lima petapa(Pancavaggiya : Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji), mantan siswa-siswa sepetapaan sebelum menjadi Buddha, bertempat di Taman Rusa Isipatana, dekat Varanasi, India, pada bulan Purnama sidhi di bulan Asalha, pada tahun 588 Sebelum Masehi.

2.  Terbentuknya Arya Sangha (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama.

3.   Lengkapnya Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha ), yang sebelumnya hanya ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan sendiri oleh Sang Buddha).

Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratanamerupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana /trisarana .

·     Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru dan teladannya.

·  Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhammamengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha.

·      Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.

Khotbah pertama Sang Buddha ini tercantum dalam Kitab Suci Tipitaka berbahasa Pali, dengan nama : "Dhammacakkappavattana Sutta" (Khotbah Pemutaran Dhamma). Dalam Khotbah tersebut, Sang Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia ( Cattari Ariya Saccani )yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :

1.    Dukkha Ariyasacca, yang berarti Kebenaran Mulia tentang adanya dukkha.

2.    Dukkha Samudaya Ariyasacca, yang berarti Kebenaran Mulia tentang sebab dukkha.

3.    Dukkha Nirodha Ariyasacca, yang berarti Kebenaran Mulia tentang lenyapnya dukkha.

4.    Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariyasacca, yang berarti Kebenaran Mulia tentang Jalan untuk melenyapkan dukkha.

Sang Buddha mengajarkan bahwa hidup dalam bentuk apapun adalah dukkha atau penderitaan. Umat Buddha tidak boleh menutup mata pada kebenaran tentang adanya penderitaan yang mencengkeram kehidupan ini. Umat Buddha harus menyadari dan mengakui kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan. Umat Buddha harus menghadapi penderitaan yang datang padanya dengan tabah.

Selanjutnya, umat Buddha harus berusaha mencabut akar penderitaan itu, agar tidak terus menerus bertumimbal lahir di alam manapun. Sang Buddha mengajarkan bahwa akar atau sebab penderitaan itu adalah tanha atau nafsu-nafsu keinginan rendah yang tidak ada habis-habisnya.

Tanha terdiri atas tiga jenis, yaitu :

1.    Kama tanha, yang berarti keinginan akan kenikmatan-kenikmatan indriya.
2.    Bhava tanha, yang berarti keinginan akan kelangsungan atau perwujudan.
3.    Vibhava tanha, yang berarti keinginan akan pemusnahan.

Hanya dengan terpotongnya sebab penderitaan atau tanha sampai keakar-akarnya, maka kebahagiaan tertinggi dapat dicapai. Hanya dengan dilenyapkannya tanha, maka dukkha juga dapat dilenyapkan. Lenyapnya dukkha berarti tercapainya Nibbana.

Sang Buddha mengajarkan bahwa ada satu jalan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan, yaitu Ariya Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan). Jalan yang Agung dan Keramat ini hanyalah satu, tetapi terdiri atas delapan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya. Jalan Keramat ini dikenal juga sebagai “ Jalan Tengah “ ( Majjhima Patipada ), karena “Jalan” ini mengindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri.

Ariya Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan) ini terdiri atas :

1.    Pandangan Benar (Samma ditthi).
2.    Pikiran Benar (Samma sankappa).
3.    Ucapan Benar (Samma vaca).
4.    Perbuatan Benar (Samma kammanta).
5.    Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva).
6.    Daya Upaya Benar (Samma Vayama).
7.    Perhatian Benar (Samma sati).
8.    Konsentrasi Benar (Samma samadhi).

Ariya Atthangika Magga dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : sila, samadhi, dan panna. Umat Buddha harus mengembangkan latihan sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak mudah untuk melakukan hal ini. Tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Sila berarti prilaku yang baik atau tingkah laku yang luhur. Sila meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu : Samma Vaca, Samma Kammanta, dan Samma Ajiva.

Samadhi berarti konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran pada satu objek yang baik. Samadhi meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Vayama, Samma Sati, dan Samma Samadhi.

Panna berati kebijaksanaan luhur, yaitu mengetahui antara yang benar dan tidak benar, yang berguna dan tidak berguna. Panna meliputi dua bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Ditthi dan Samma Sankhappa.

Sang Buddha telah mewariskan Cattari Ariya Saccani untuk direalisasikan agar dapat melepaskan diri dari siklus kelahiran yang berulang-ulang yang penuh dengan penderitaan ini. Ya….umat Buddha harus berjuang dengan gigih dalam kehidupan sehari-hari, untuk memperkecil sebab-sebab penderitaan, untuk mencapai kebahagiaan setahap demi setahap.




Semoga kita semua senantiasa berada di bawah lindungan Sang Tiratana.
Semoga para Bhikkhu secepatnya dapat mencapai pembebasan dari dukkha.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Sadu…sadhu..sadhu.._/|\_

Hari Raya Waisak (Vesâkha Pûja)


Hari Raya Waisak pada umumnya jatuh pada purnamasidhi di bulan Mei, namun kadangkala pada hari-hari pertama bulan Juni bila jatuh pada tahun kabisat lunar.Hari Waisak disebut juga “Hari Trisuci Waisak” karena pada hari itu umat Buddha sedunia memperingati Tiga Peristiwa Agung yang terjadi pada zaman kehidupan Sang Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu. Tiga Peristiwa Agung tersebut adalah:
  1. Bodhisatva (Calon Buddha) yang diberi nama Pangeran Sidharta Gotama dilahirkan di Taman Lumbini, Nepal, pada tahun 623 S.M.
  1.  Pangeran Sidharta, yang kemudian menjadi pertapa, di bawah Pohon Bodhi Suci, di Buddha-Gaya, India, dengan kekuatan sendiri mencapai Penerangan Agung (mencapai Nibbana) dan menjadi Buddha.
  1. Sesudah 45 tahun lamanya mengembara dan memberi pelayanan Dhamma kepada umat manusia dan para dewa, Sang Buddha Parinibbana atau wafat pada usia 80 tahun di Kusinara, India pada tahun 543 S.M.
Hari Tri Suci Waisak merupakan salah satu hari raya umat Buddha yang selalu ditunggu-tunggu selain hari raya Āsaḷha, Māgha Pūjā dan Kaṭhina. Hari Tri Suci Waisak mengingatkan tiga peristiwa suci yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu saat kelahiran, pencerahan sempurna dan kemangkatan Beliau. Selama satu bulan sebelum Waisak, kita telah bersama-sama melaksanakan acara Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD). Kini Waisak telah lewat dan berarti acara SPD sudah selesai, namun saya mengharapkan supaya kita semua tetap melaksanakan (SPD) yaitu Semangat Praktik Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dalam semangat Waisak ini, marilah kita bersama-sama berusaha untuk meninggalkan kejahatan dan meningkatkan kebajikan dengan Semangat Praktik Dhamma (SPD).

SPD Melaksanakan Aṭṭhasīla
Mendengar istilah Aṭṭhasīla, mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita semua umat Buddha, apalagi bagi Anda yang rajin melaksanakannya setiap hari Uposatha. Aṭṭhasīla berarti delapan kemoralan yang biasanya dilaksanakan oleh para umat Buddha perumah tangga (Upāsaka/Upāsikā) dan sering juga pelaksanaan Aṭṭhasīla ini disebut dengan istilah puasa dalam Agama Buddha. Pelaksanaan puasa cara Buddhis (Aṭṭhasīla) ini biasanya dilakukan pada hari Uposatha bulan terang (purnama) dan bulan gelap. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan puasa cara Agama Buddha ini sering dilakukan pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut perhitungan hari berdasarkan peredaran bulan (candrasangkala/imlek). Tanggal 1, 8, 15 dan 23 inilah yang dalam istilah Buddhis sekarang ini dimaksudkan dengan ’Hari Uposatha’. Istilah Uposatha dapat diartikan sebagai berdiam dalam keluhuran (di vihāra), dalam arti kata pada saat hari Uposatha tiba para umat Buddha diharapkan melakukan beberapa kebajikan, seperti misalnya: mengunjungi, membantu, dan menghormati orangtua, menghormati para petapa dan brahmana, mengikuti puja bakti di vihāra, membaca paritta, bermeditasi, mendengarkan dan mendiskusikan Dhamma, dan melaksanakan delapan sila (Uposatha-Aṭṭhasīlla /Uposathasila).

Perlu kita ketahui bersama bahwa praktik delapan sila atau Aṭṭhasīla ini juga terdapat dalam diri seorang samana, delapan sila yang juga dilaksanakan oleh Sang Buddha dan para siswa-Nya (para Arahat/orang-orang suci) sepanjang sisa hidup mereka sebagai orang suci yang bebas dari kekotoran batin. Sehingga merupakan hal yang sangat baik bagi kita untuk meneladani dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai wujud bakti dan penghormatan yang tertinggi kepada Sang Buddha yaitu dengan praktik Dhamma ajaran Beliau (paṭipatti pūjā).

Delapan sila (Aṭṭhasīla) yang juga dilaksanakan oleh Sang Buddha dan para siswa-Nya (para Arahat/orang-orang suci) sepanjang sisa hidup mereka sebagai orang suci yang patut kita teladani adalah sebagai berikut;
  1. Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya; dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk.
  2. Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya yang diberikan, dan berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri.
  3. Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktik hubungan seksual yang kasar. 
  4. Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. 
  5. Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan apa pun yang bersifat meracuni, yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak melakukannya.
  6. Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. 
  7. Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukan musik instrumen dan pertunjukan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan minyak-minyakan.
  8. Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah – bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami.
Inilah delapan sila/moralitas yang patut kita teladani dari kehidupan suci Sang Buddha dan para siswa-Nya setiap hari Uposatha bulan terang purnama maupun Uposatha bulan gelap tiba.
Kedelapan sila/moralitas ini dilaksanakan sebenarnya adalah sebagai latihan untuk disiplin, menjauhkan diri dari sifat serakah, kebencian dan kebodohan batin, mengendalikan diri dalam perilaku, ucapan dan pikiran, mampu menahan diri sehingga menjadi suatu kebiasaan, menghindari dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, dan mengembangkan/meningkatkan kebajikan.
Walaupun memang tidak mudah untuk melaksanakannya, namun dengan adanya kemauan dan keyakinan yang kuat kepada Buddha, Dhamma, dan Saïgha (Tiratana), penuh semangat dan kesabaran, kita pasti bisa melakukannya. Janganlah menganggap remeh pelaksanaan Aṭṭhasīla yang dilakukan pada hari Uposatha, karena meskipun hanya satu hari melaksanakan Aṭṭhasīla akan tetapi jika dilakukan dengan kesungguhan hati, penuh tekad, semangat, keyakinan, kesabaran dan pengertian yang benar, maka dalam satu hari itu kita sudah berusaha untuk menjalani praktik orang-orang suci dan hal ini sudah pasti akan menghasilkan buah dan manfaat yang begitu besar.

Dalam Aṅguttara Nikāya diterangkan dengan jelas tentang pahala dari pelaksanaan kebajikan ini. yaitu; ”Apabila hari Uposatha dipatuhi dengan pelaksanaan delapan sila, maka pahalanya sangat besar, sangat menggetarkan kalbu, kelak sekalipun belum berhasil mencapai Nibbāna, orang-orang yang memiliki kebajikan Uposathasila akan terlahir kembali di alam surga.” (A. IV, 252)

Tentunya bukan hanya pelaksanaan delapan sila (Aṭṭhasīla) ini saja yang patut kita teladani dari kehidupan suci Guru Agung Buddha Gautama, karena masih banyak lagi sifat-sifat baik Beliau yang patut kita teladani dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya sifat Beliau yang penuh dengan cinta kasih, kasih sayang, selalu sabar, jujur, semangat, rajin bersamadhi, dermawan, bijaksana, dll.

Marilah kita bersama-sama meningkatkan SPD ”Semangat Praktik Dhamma” dan berusaha dengan sepenuh hati untuk meneladani Guru Agung kita Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari dan berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. ”Ing ngarso sung tulodo”, apabila berada di depan, jadilah suri teladan. Janganlah berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran, ini adalah ajaran para Buddha. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Jumat, 28 April 2017

N I B B A N A

Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokkan ke Nibbanadhatu , tujuan akhir umat Buddha. Istilah Pali “ nibbana “ berasal dari kata ni dan vana. Ni merupakan partikel negatif, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan “. Secara harfiah, nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sang Buddha bersabda : “ Seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa ? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian dan kebodohan ; oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah “.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalam agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata – kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta “. Karenanya, Nibbana bersifat kekal ( dhuva ), damai ( santi ), dan bahagia ( sukha ).
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan “ atau “ dimusnahkan “.
Menurut kitab – kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa – upadisesa – nibbana dan Anupadisesa – nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu pencapaian ( Dhamma ) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan suatu keadaan di atas keduniawian ( lokuttara ) yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalam kehidupan di alam lain. Di sinilah terletak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep non – Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai setelah kematian atau bersatu dengan Tuhan atau Zat Agung pada kehidupan setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu masih hidup, itu disebut Sa – upadisesa Nibbanadhatu. Bila seorang Arahat wafat, setelah kehancuran tubuhnya, tanpa adanya sisa kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak ? Sang Buddha menjawab : “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( khanda ) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatakan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatakan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar “.
Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal lahir telah dihancurkan ; juga orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tak ada sesuatu yang dimusnahkan.
Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika, menyatakan :
“ Misalnya, apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab “ tidak “. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab “ tidak “. Bila kita bertanya apakah electron bergerak, kita juga harus menjawab “ tidak “.
Sang Buddha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi – kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.
JALAN KE NIBBANA
Bagaimana caranya untuk mencapai Nibbana ? Dengan melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , yaitu : Pengertian benar ( samma – ditthi ), Pikiran benar ( samma – sankappa ), Ucapan benar ( samma – vaca ), Perbuatan benar ( samma – kammanta ), Penghidupan benar ( samma – ajiva ), Usaha benar ( samma – vayama ), Perhatian benar ( samma – sati ), Konsentrasi benar ( samma – samadhi ).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha, mencakup pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta : “ Empat Kebenaran Mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depa beserta kesadarannya “. Dalam melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , Pengertian Benar berada pada permulaan serta pada akhirnya. Tingkat minimal Pengertian Benar amat diperlukan pada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna ), yang langsung membawa kepada tingkat – tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Karena itu, faktor kedua dari jalan utama ini ( Samma – sankkappa ), mempunyai dua tujuan : melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
•  Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
b. Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
c. Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar , faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar , yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup, pencurian dan perbuatan – perbuatan kelamin yang salah.
Dengan membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata, manusia, binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bhikkhu, penghidupan salah meliputi perbuatan – perbuatan munafik dan cara – cara yang tidak dibenarkan untuk memperoleh kebutuhan – kebutuhan hidup seorang Bhikkhu.
Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memuncak dalam Jhana.
Dari kedelapan faktor Jalan Utama ini, dua yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan ( panna ), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral ( sila ), dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi ( samadhi ). Tetapi menurut urutan perkembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut : Sila, Samadhi dan panna .
Moral ( sila ) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh atau melukai makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas – azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seseorang yang melangkahkan kakinya menuju ke Nibbana. Melanggar hal – hal tersebut di atas berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan hal – hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan – ucapan dan perbuatan – perbuatannya seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap dengan mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indria – indrianya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan – kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai bhikkhu. Kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa :
“ Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan ; Tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah bebas seperti udara terbuka “.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa setiap orang harus menjadi bhikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi bhikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksanaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin ( Samadhi ), tingkat kedua pada jalan ini.
Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam obyek meditasi sesuai dengan watak masing – masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Samadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagiaan batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur : cinta kasih ( Metta ), belas kasihan ( Karuna ), kegembiraan bersimpati ( Mudita ), dan keseimbangan batin ( Upekkha ) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati – hati obyek – obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar – benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tidak dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah : Keinginan indria, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan, kekhawatiran dan keragu – raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang tak dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana , menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa ( abhinna ), yaitu : mata – dewa ( Dibbacakkhu ), telinga – dewa ( Dibbasota ), ingatan akan kelahiran – kelahiran lampau ( Pubbenivasanussati – nana ), membaca – pikiran ( Paracitta vijanana ), dan berbagai macam kemampuan – kemampuan batin lainnya ( Iddhividha ). Namun harus diingat bahwa kekuatan – kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecenderungan – kecenderungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan Samadhi nafsu – nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kekotoran – kekotoran batin itu dapat muncul pada saat – saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangan – rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia melihat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemanapun ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain Tiga Corak Umum kehidupan, yaitu : Anicca ( ketidak – kekalan ), Dukkha ( penderitaan ), dan Anatta ( tanpa pribadi kekal ), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersyarat itu tidak kekal adanya. Baik di surga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan Pandangan Terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat – saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancurkan tiga belenggu : pandangan salah tentang aku ( Sakkaya ditthi ), keragu – raguan ( Vicikiccha ), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan ( Silabbata – paramasa ).
Pada tingkat ini ia disebut seorang Sotapanna ( Pemenang – arus ), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan sekilas terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan pesat dan mengembangkan Pandangan Terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami ( hanya kembali sekali ) dengan melemahkan dua belenggu lagi, yaitu : keinginan indria ( kamaraga ) dan itikad jahat ( patigha ). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat .
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, Anagami ( tak pernah kembali ), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang telah disebutkan diatas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa, karena ia tidak memiliki kesenangan – kesenangan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “ Alam Murni “ ( Suddhavasa ) , suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan dorongan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam bentuk ( rupa – raga ) dan alam – alam tak berbentuk ( arupa – raga ), kesombongan ( mana ), kegelisahan ( unddhacca ), kebodohan ( avijja ), dan menjadi seorang suci yang sempurna – Arahat.
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, beban berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak – gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata – kata.

MAHA PARINIBBANA SUTTA

DEMIKIANLAH YANG TELAH KAMI DENGAR
1. Ketika Sang Buddha berdiam di atas puncak Gijjhakuta, Rajagaha, raja Magadha Ajatasattu, putra ratu Viheda berkeinginan untuk berperang melawan suku Vajji. Raja Ajatasattu berpikir : “Suku Vajji yang berdaulat dan jaya akan aku musnahkan, celakakan dan basmi seluruhnya.”
2. Kemudian raja Ajatasattu menitahkan patihnya Brahmana Vassakara sambil bersabda : “Brahmana, pergilah menghadap Sang Buddha. Sampaikanlah salam hormat dan sujudku kepada Beliau. Sampaikan pula harapanku, semoga Beliau selalu dalam keadaan sehat walafiat, selamat sejahtera dan selalu bahagia. Selanjutnya sampaikan pula kepada Beliau, bahwa aku raja Ajatasattu dari Magadha, hendak berperang melawan suku Vajji. Suku Vajji yang berdulat dan jaya itu, akan aku musnahkan, celakakan dan basmi seluruhnya.
Setelah mendengar rencanaku ini, apapun jawaban Sang Buddha, simpanlah itu dalam ingatanmu dengan sebaik-baiknya, dan kemudian beritahukanlah kepadaku. Aku yakin Sang Tathagata akan menyampaikan pendapatnya dengan jujur, karena Sang Buddha tidak pernah berbicara yang tidak jujur.”
3. Setelah mendengar sabda dan pesan raja Ajatasattu Patih Vassakara menyatakan persetujuannya sambil berdatang sembah : “Baik, Tuanku, segala titah kami junjung tinggi di atas kepala kami.” Kemudian Brahmana Vassakara menitahkan untuk menyiapkan keretanya yang indah dan kereta-kereta lainnya bagi para pengiringnya. Setelah semuanya siap, berangkatlah Patih Brahmana Vassakara dengan diiringi oleh para pengiringnya menuju Gijjhakuta, untuk menghadap kepada Sang Buddha. Sesampai di suatu tempat di atas bukit itu, perjalanan tidak dapat di tempuh dengan naik kereta, mereka terpaksa meneruskan perjalanan dengan berjalan.
Setelah Patih Brahmana Vassakara sampai di hadapan Sang Buddha, beliau lalu bersujud kepada Sang Buddha, setelah itu Patih Brahmana Vassakara duduk di salah satu sisi Sang Buddha. Kemudian dengan suara yang lemah lembut, Patih Brahmana Vassakara berkata : “Sang Gotama yang mulia, saya datang menghadap Yang Mulia ialah untuk menyampaikan pesan raja Ajatasattu dari Magadha. Baginda raja Ajatasattu menghaturkan hormat dan sujud ke hadapan Bhante, dan memujikan semoga Bhante selalu selamat, dalam keadaan sehat walafiat dan selamat sejahtera serta selalu berbahagia. Baginda juga memerintahkan kepada saya, untuk menyampaikan pesan baginda raja Ajattasattu yang ingin mengadakan peperangan dengan suku Vajji yang berdaulat dan jaya itu. Baginda hendak memusnahkan, mencelakakan dan akan membasmi mereka seluruhnya.”