Rabu, 31 Mei 2017

Atthasila

Cara Puasa Umat Buddha


Banyak sekali yang menanyakan "Apakah umat Buddha menjalankan puasa? ", kalo "Iya" kapan umat Buddha menjalankan 1,  Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, berikut ini penjelasannya :

Tekad Ber Atthasila Berpuasa ala Umat Buddha

Sebagai warga negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama menyambut kedatangan Bulan Ramadhan, dimana rekan kita yang beragama Islam sedang menjalani kegiatan keagamaan yang fasih disebut dengan berpuasa. Puasa dilakukan selama satu bulan penuh menjelang datangnya hari raya Idul fitri. Kaum muslimin diseluruh dunia berpuasa dengan cara tidak makan dan minum dari Pagi hari atau tepatnya Subuh sampai dengan datangnya azan Maghrib yang datang disore hari.
Berbicara tentang puasa, sudah tahukah kita bahwa di ajaran agama Buddha sendiri terdapat kegiatan puasa, mungkin lebih tepatnya disebut dengan Atthasila ( Latihan Delapan Aturan Kemoralan ).
8 Sila / Atthasila tersebut diuraikan sebagai berikut :
1.Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari menyakiti dan membunuh mahluk hidup apapun juga.
2.Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari mengambil barang yg tidak diberikan / diijinkan (mencuri).
3.Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari hubungan seksual.
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari ucapan / kata-kata tidak benar, yg kasar, memfitnah dan menyakiti mahluk lain (berbohong).
 5.Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari segala minuman keras (serta bahan-bahan lainnya) yg dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
6.Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari makan makanan diwaktu yg salah, yaitu lewat tengah hari. Pengertian di sini adalah bahwa seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari hingga subuh/dinihari. Patokannya adalah untuk tengah hari, ketika matahari tepat diatas kepala atau pukul dua belas. dan untuk subuh/dinihari adalah ketika tanpa lampu, seseorang dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit. Jadi seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada waktu dinihari/subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12).
7. Naccagita-vadita-visukadassana malagandha-vilepana dharana-mandana vibusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari menari, menyanyi, bermain musik, melihat permainan / pertunjukan, tidak memakai bunga-bungaan, wangi-wangian dan alat kosmetik yg lain untuk tujuan menghias / mempercantik diri.
 8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yg tinggi, besar dan mewah.
Puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha. Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama). Namun ada yang melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.
Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu (dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila.
Jadi, puasa (uposatha) seorang umat Buddha dinyatakan sah, apabila ia mematuhi ke-8 larangan tersebut seperti yang tertulis di atas. Jika salah satu larangan tersebut dilanggar—baik sengaja atau tidak— berarti ia puasanya (uposatha-nya) tidak sempurna.
Kapan umat Buddha menjalankan puasa atau uposatha?
Hari Uposatha adalah setiap tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar (bulan) hari uposatha disebut juga uposathadivasa yaitu hari suci dan hari penuh berkah, meski bukan bersifat wajib diharapkan pada hari uposatha para upasaka dan upasika melatih diri dengan menjalankan atthanga uposathasila yaitu 8 (delapan) peraturan yang harus dijalankan pada hari uposatha.
 Jadi, kapan mau mencoba ber-atthasila?
(berbagai sumber)
Baca juga :

Pancasila Buddhist, Cukup Lakukan Lima Hal Ini Kebahagiaan Sudah Terjamin

Rabu, 24 Mei 2017

Jangan Takut Pada Makhluk Halus
Bhikkhu Uttamo Mahathera

Namo Tassa Bhagavato arahato samma sambuddhassa.
Namo Tassa Bhagavato arahato samma sambuddhassa.
Namo Tassa Bhagavato arahato samma sambuddhassa.
Melaksanakan kebajikan akan memberikan kebahagiaan.
Para bapak – ibu, saudara saudara yang berbahagia. Bersama sama pada malam hari ini kita melakukan puja bakti dalam rangka perlimpahan jasa, yang juga sekaligus adalah untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia sehingga kita juga melimpahkan jasa bukan hanya kepada sanak keluarga yang kita kenal saja, tetapi juga kita limpahkan jasa kepada para pahlawan yang telah gugur didalam usaha memperjuangkan, meraih, merebut kemerdekaan Indonesia.
Saudara saudara yang berbahagia, memang upacara malam hari ini adalah upacara yang agak khusus karena upacara ini disebut upacara perlimpahan jasa, mengundang para makhluk hadir, mengundang para keluarga kita datang. Tetapi sebahagian besar diantara kita, tidak bisa menyaksikan hadirnya keluarga kita, leluhur kita, makhluk makhluk tak tampak itu.
Ada yang disini mengirim untuk Ayahnya yang sudah meninggal? Ada? Coba tunjuk jari, banyak.
Ada yang mengirim untuk Ibunya yang meninggal? Tunjuk jari, cukup banyak.
Ada yang mengirimkan untuk Kakek dan Nenek yang sudah meninggal? Oh.,, yang paling banyak Bapak ya, Oh!! Banyak juga.
Apakah tadi waktu Anda mengadakan puja bakti sebelum puja bakti malam hari ini, Anda mendoakan mereka bahagia? Iya? Iya?
Kalau seandainya mereka datang pada malam hari ini, apakah Anda bisa melihat mereka datang?
Ayah yang Anda kirimi, Ibu yang Anda kirimi, Kakek dan Nenek yang Anda kirimi, yang Anda doain itu. Apakah kalau Anda bisa melihat mereka yang datang datang ibaratnya kalau seseorang atau Anda mengundang. Anda misalnya mengadakan pesta ulang tahun, kemudian Anda mengundang Tamu. Anda menyajikan makanan, Anda menyajikan minuman kepada tamu yang datang. Ya kan?
Kelihatan bentuknya, kelihatan badannya, kelihatan hidungnya, Anda kasih makan.
Tapi malam hari ini saya katakan khusus karena Anda memberi makan, memberi minum, membantu doa kepada mereka yang tak tampak. Ini yang kadang kadang bisa aneh juga. Ibaratnya dirumah Anda kosong, ada meja kosong, ada kursi kosong, Anda kasih minuman.
Ini ada tamunya lha, meja makan gak ada orangnya Anda kasih makanan. Ini ada Bapak saya lho. Inilah yang disebut keanehan, saudara. Mungkin ada diantara Anda yang bisa melihat leluhur Anda hadir kesini, tetapi saya kira jauh lebih banyak diantara Anda yang nggak bisa lihat.
Saudara – saudara, malam hari ini Anda mengadakan upacara kepada makhluk tak tampak, diadakan di Vihara. Padahal sebetulnya didalam kehidupan Anda sehari hari, ada sebagian besar diantara Anda ini takut pada makhluk tak tampak. Betul betul takut? Padahal makhluk tak tampak itu mungkin Ayah Anda sendiri, mungkin Ibu Anda sendiri, mungkin Kakek Nenek Anda sendiri, tetapi Anda takut. Apa buktinya? Misalnya ada keluarga yang disayang meninggal kira kira bulan ini atau tiga bulan ini atau satu tahun ini? Ada? Tunjuk jari.
Aduhhh, saya mau ikut tunjuk jari jadi nyenggol.
Satu orang, dua orang, tiga, empat, oh.. banyak. Orang yang Anda sayangi yang meninggal, pada saat malam hari berani ngga Anda tidur dekat peti mati orang yang Anda sayangi itu sendirian.
Ha? Berani nggak? Berani? Berani tidur? Tidur sendirian sama jenazah? Nggak berani. Padahal itu jenazah orang yang Anda sayangi. Takut?
Bahkan saudara saudara, ada satu keanehan yang kadang saya renungkan di beberapa kepercayaan di masyarakat lingkungan kita, kan ada yang nggak percaya setan, ada juga yang nggak percaya kelahiran spontan.
Weh. Mana ada kelahiran spontan, nggak ada itu, omong kosong. Saya ngomong “ok” . Ini Bapakmu meninggal, coba kamu tidur disebelah jenazahnya ini, malam ini! Oh, takut, pak Bhikkhu, takut. Berarti kamu kan percaya ada setan. Ya, saya khawatir Bapak saya bagun lagi. Ya, berarti kamu percaya ada makhluk yang lahir spontan. Tetapi agama saya nggak mengatakan begitu. Tapi kamu sendiri yakin itu. Buktinya prilakumu takut kok.
Nah, saudara saudara oleh karena itu maka kadang saya berpikir kenapa ya upacara perlimpahan jasa ini kok sering diadakan di Vihara daripada di rumah sendiri? Mungkin takut kalau sudah diundang nggak bisa balik. Wah... repot, ini jadi korban di rumah. Tapi kalau di Vihara nggak apa apa, Bhikkhunya di cucuk bunbunannya ( dihisap ubun ubunnya), klamut klamut ( kunyah kunyah tanpa makanan di mulut), nggak apa apa , biarin aja, nggak punya tanggungan kok, nggak ada anak, nggak ada istri.
Nah, saudara saudara kita memang kadang sebetulnya takut pada makhluk halus, tapi kita kadang kadang mengadakan upacara, ini yang kontroversi, ini yang aneh. Bahkan kalau dirumah ada demit, biasanya rumah baru, berdemit atau dia baru beli, rumahnya udah jadi, “gede”.
Panggil Bhikkhu untuk tidur disitu. Saya pikir ini Bhikkhu dijadikan umpan atau apa apa, jadi kalau sudah demitnya kenyang nyucuk bunbunan Bhikkhu ini, sudah Bhante, udah aman demitnya sduah kenyang, sekarang saya mau tidur, sekarang Bhante pulang aja ke Vihara. Kalau besoknya Bhikkhunya masih hidup. Ah, berarti demitnya aman, demitnya ompong. Jadi Bhante pulang ke Vihara, rumahnya sudah bebas.
Nah, saudara – saudara, sehingga kadang kadang Bhikkhu pun punya profesi. Profesi, kalau rumah berdemit, suruh tinggal, atau kalau minimal tidak suruh tinggal, suruh bacain paritta. Bhante, rumah saya ini berdemit Bhante, bacain paritta. Lho, biar apa? Biar pindah. Pindah kemana? Ke tetangga.
Wah, ini enak sekali. Lah, nanti kalau tetangga bacain paritta atau bacain doa yang lain, kemudian balik kerumahmu gimana? Ya, kita panggil Bhikkhu lebih banyak. Wah, ini repot kalau caranya begini.
Saudara saudara, ini sebetulnya adalah pandangan salah melihat demit, dianggapnya demit itu mengganggu, demit itu jahat, demit itu menyeramkan, demit itu seperti film film cerita KISMIS, Kisah Kisah Misteri yang Anda tonton di televisi. Padahal saya yakin kalau demit melihat televisi itu sendiri ikut takut. Ada demit kok ngerinya kayak gitu, dia juga ikut takut.
Saudara saudara berdasarkan pengalaman banyak umat umat yang melihat demit, ketika melihat demit itu sebenarnya orang tidak tahu bahwasanya itu demit, tidak tahu! Buktinya apa? Misalnya begini, anda melihat salah satu anggota keluarga anda di rumah, misalnya anak anda datang, masuk ke kamar atau mungkin Anda melihat pasangan hidup anda datang, kebelakang, Anda melihat keluarga Anda yang lain, pokoknya ada yang lalu lalang di rumah. Dan Anda merasa itu biasa biasa saja, tapi pada saat Anda mau mencari orang itu, eh, kemana ya anak tadi? Eh, kemana ya pasangan hidup saya? Lho, anak tadi kan masih sekolah, lho, pasangan hidup saya tadi baru pergi kerja, ini siapa tadi yang saya lihat dirumah saya ini. Kok kayaknya ada anak kecil yang masuk ke kamar, kok kayak ada pasangan hidup saya yang lewat. Siapa yang saya lihat? Nah, tanda tanya itu, lalu O...demit.
Jadi pada saat Anda melihat, sulit Anda membedakan itu demit dengan anggota keluarga Anda. Oleh karena itu jangan takut sama demit, jangan takut. Lha demit kok nakal, Bhante? Kadang kasih suara yang aneh aneh, jalan sak-sek-sak-sek tapi gak ada, kadang ada suara orang mandi tapi nggak ada orangnya. Ya teriakin aja. Eh... mit, demit, jangan borosin air tu, bayar. Ahhh, itu boleh tapi biasanya di buka kamar mandinya kering, nggak ada apa apa, karena kita pernah mengalami.
Ada suatu ruko yan terbakar, ruko itu tiga lantai. Lantai kedua terbakar, mati semua, sembilan orang jumlahnya. Yang punya rumah takut pakci. Mau dijual nggak ada yang mau beli, sembilan orang mati. Lalu bagaimana? Kasihkan vihara saja. Lalu bagaimana?
Bhikkhunya suruh tinggal situ. Ehh, sungguhan, sungguhan itu yang meninggal Ayah, Ibu, beberapa anak, pembantu, baby sisternya ikut meninggal sembilan orang, satu lantai. Lantai satu aman bersih, lantai kedua seperti tidak kena api, hanya lantai ketiga yang ada apinya hangus sembilan orang korban.
Lalu Bhikkhu tinggal disana. Malam malam ya memang gebyar – gebyur, apa ini? Kok nggak ada orang di kamar mandi, gebyar- gebyur, dibuka kosong. Eh, ada demit anak kecil umur lima tahun salah satu anggota dari mereka. Ya, seperti anak biasa, bukan mukanya serem terbakar, tidak. Biasa biasa saja.
Nah, oleh karena itu saudara saudara, makhluk itu kemudian seolah olah mengganggu dalam tanda kutip pada manusia, pada keluarganya, sehingga Anda mengatakan disini angker, disana demitnya suka mengganggu. Sebetulnya bukan mengganggu, tetapi dia itu butuh perhatian, coba lihat perilaku anak kecil, ya, mungkin Anda yang bawa anak kecil, ya yang disana dan disini. Anak kecil kadang dengar ceramah kurang begitu tertarik, karena nggak ngerti, ya kadang kadang dia kasih kode sama orang tuanya.
Pa atau Ma, Orang tuanya kan stttt, diem. Karena orang tuanya tahu, tapi kan anak kecil kan nggak tau. Panggil lagi, Pa, Ma, Lebih kencang. Orang tuanya tambah kenceng, Stttt, diem.
Anak kecilnya tambah ribut lagi. Wah, weh, ya sudah Wah.. weh, jangan rewel. Dia sebetulnya nggak rewel, dia butuh perhatian. Ketika jawil (nyubit) pertama Anda diem dia stress, ini orang tua saya nggak memperhatikan saya. Jawilannya di perkenceng, kok masih tetap nggak di perhatikan, dia nanggis, jerit gulung gulung. Sehingga orang tuanya : Yah, sini, saya ajak keluar pergi, saya ajak keluar. Yahhh, lega, dia sampai dibawah. Ya sudah, tercapai cita citanya.
Demikian pula dengan demit makhluk halus, yang ada disekitar kita, dia juga begitu, dia kadang kadang nggak menyadari dirinya sebagai demit karena pada saat meninggal dia tidak siap, sehingga begitu meninggal itu, melihat Anda, melihat semua, melihat rekan rekan. Tetapi mau ngomong nggak bisa, mau komunikasi nggak bisa, padahal lihat. Nah, lalu dia mencoba memberikan kode, belakang leher Anda ini ditiup huuuuiiiffft.
Eh, apa ini ya? Angin mungkin, dia tiup itu supaya Anda menoleh, Anda toleh, tatap muka dengan dia tapi Anda tidak lihat, jadi sama dia ditiup lagi, huuulifffth, kupingnya sekarang. Iiiihhh, angin nggak ada, orang nggak ada, kok..? kok ada angin di kuping saya. Toleh kanan, toleh kiri, toleh belakang, dia berteriak lagi, hei..hei.. kok nggak ada orang?
Lalu pelan pelan angkat kaki, pelan lagi angkat kaki mendekati pintu keluar. Si demit di belakangnya. Ngapain kamu? Aku ya ikut. Pelan pelan juga demitnya ikut Anda. Pelan... anda jalan pelan, dia juga ikut pelan. Kemudian Anda toleh kanan toleh kiri tapi kok kayak ada ? tapi kok ada suara langkah bluk...bluk.. Anda berhenti dia berhenti, anda jalan pelan pelan dia jalan pelan. Anda lari, eh, dia ikut lari, wah,,, larinya kenceng sekali, eh, si demit ikut, tunggu.. hei.. tunggu.. Akhirnya orang itu ke vihara panggil Bhikkhu.
Bhante, rumah saya banyak demitnya, tolong diusir. Lah.... akhirnya dibacain, maunya disuruh pergi, dia menderita. Aduh.. kenapa keluargaku sudah nggak kenal saya malah panggil Bhikkhu untuk ngusir saya. Untung Bhikkhunya nggak dikasih mantra pengusir demit. Karena yang dibacain itu Karaniyametta Sutta, adalah paritta yang mengajarkan cinta kasih kepada makhluk. Sehingga si demit ini bisa belajar.
Ohh, sesungguhnya aku begini ini karena cinta kasih, saya membutuhkan cinta kasih, kasih sayang. Akhirnya, saya membutuhkan banyak sekali pemancaran cinta kasih. Akhirnya mungkin si demit ini menyadari, dia mungkin sudah nggak mengganggu lagi. Nah, jadi kalau saudara diganggu demit, sebetulnya hilangkah istilah gangguan, tetapi Anda lebih bagus mengatakan ada demit yang minta perhatian. Jangan mengatakan, eh, rumahku angker ada demitnya. Salah, rumahku ada demit minta perhatian. Nah, dengan demikian maka anda lalu muncul kasih sayang.
Ooh, mereka itu sebetulnya adalah makhluk yang menderita, mereka ini butuh perlimpahan jasa, mereka ini butuh kasih sayang. Nah, lalu bagaimana sekarang?
 Yang pertama adalah saya meluruskan bahwa demit itu tidak jahat, tidak harus demit itu jahat karena demit itu sebetulnya adalah mungkin keluarga kita, leluhur kita yang kepingin komunikasi dengan kita karena sangking cintanya dengan kita sehingga pada saat meninggal dia terpikir kita, maka dia mengikuti kita kemana saja kita pergi.
Nah, kemudian kalau ada gangguan macam macam sebetulnya bukan demit yang mengganggu, tapi demit butuh perhatian. Nah, sekarang apa yang harus kita kerjakan terhadap mereka? Ini yang penting. Kalau Anda merasa ditiup tiup bagian belakang leher. Itu paling sensitive soalnya. Pernah ada yang disini yang mengalami, merasakan hal seperti itu? Ada nggak? Hah? Ada begini? Ada? Oh.. ibu... bagian mana yang paling sensitif merasakan demit? Belakang leher? Lah... rambut Ibu panjang bagaimana sensitive? Ha? Reaksi apa? Gatel? Oo... dateng atau gatel? Reaksi dateng tapi mulai dari belakang leher.
Nah... ada lagi yang pernah rasain demit? Ada? Ada? Ada? Hanya satu? Yang takut demit siapa coba? Yang takut demit coba tunjuk jari? Saya mau tahu, coba yang takut demit coba tunjuk jari? Anak kecil ikut tunjuk. Satu, dua, Cuma dua? Wo.. berarti yang lain berani berani semua. Terima kasih, hebat Anda.
He.. saya nggak yakin. Jangan kata urusan demit, malem malem duduk di Vihara ini sendirian, ayo coba meditasi di Dhammasala ini. Belum tentu ada yang berani. Banyak orang yang mengatakan takut. Itu altar sendiri ada Buddha Rupang disitu, meditasi bisa takut? Padahal umat Buddha, lah kalau umat Buddha sendiri aja takut. Siapa nanti yang berani di depan Dhammasala? Nah, padahal Anda sendiri sebetulnya belum pernah lihat. Ibu tadi juga baru merasakan ada demit, tapi juga nggak melihat. Tapi kenapa Anda semua takut? Karena pikiran Anda itu sebetulnya diracuni oleh film. Racunnya adalah film. Dan lebih celaka lagi, anda takut demit kalau malam, siang nggak takut? Saya katakan lebih celaka kenapa? Karena demit, bagi dia siang dan malam sama saja. Banyak sekali orang melihat demit justru jam sepuluh siang.
Anda kalau melihat “Tuyul dan mbak yul”, filmnya demit itu selalu siang. Anda nggak perhatikan to? Tuyul dan mbak yul kan demitnya jalannya siang terus tapi kalau drakula jalannya malam. Kenapa? Karena memang demit itu tidak melihat waktu. Karena siang dan malam disana satu harinya bisa puluhan tahun di sini. Jadi Anda kalau lihat malam siang, malam siang, takut malam, berani siang , itu nggak masuk akal. Dirumah siang sendirian berani, di rumah sendirian kalau malam takut.
Padahal tempat tidurnya ya disitu, pintunya ya disitu, gelasnya ya disitu, gitu kok takut. Kecuali kalau malam pintunya pindah sedikit, kemudian tempat tidur bisa geser, itu takut. Tapi kalau sekarang siag malam bentuknya sama, apa yang takut? Itukan pikiran Anda sendiri sebetulnya. Pergi ke kuburan siang siang berani, pergi ke kuburan yang sama, malam hari takut. Itukan heran? Itu kuburan tempatnya sama, pohon kambojanya ya tetap di situ, apa yang ditakuti? Pikirannya sendiri sebetulnya. Nah, oleh karena itu saudara, pertama, demit itu sebetulnya mungkin kerabat kita, yang kedua itu dia mencari perhatian untuk kita tolong, yang ketiga rasa takut itu sebetulnya adalah buatan kita sendiri maka sekarang yang keempat apa solusinya?
Bagaimana cara mengatasi demit? Nomor satu : cara mengatasinya. Saya bukan membagi jimat, pake jimat misalnya itu tulang anjing, pernah Anda dengar? Pernah dengar tolak demit dengan tulang anjing? Belum pernah dengar? Saya kasih ilmunya? Orang takut demit itu bawa tulang anjing. Katanya demit takut. Belum tahu dia ada demit manado, suka sekali RW (daging anjing). Ada orang manado disini? Ha? Mana orang manado? Malu dia, suka RW soalnya. Ada demit dari batak, wu.. suka sekali juga, anjing.
Dikasih tulang babi, pernah dengar? Nolak demit pake tulang babi, belum tau dia ada demit dari tiongkok. Wah, ini ada babi ini sam – cannya gede gede, uehhh. Yang bawa tulang babi malah makin di deketi, baru tahu tuh.
Ada lagi kalau mau anti demit bawa itu lho, bawang putih yang satu, bawang tunggal. Pernah dengar? Pernah? Belum tahu ada demit kena tekanan darah tinggi! Justru bawang tunggal itu yang dicari untuk acar bawang, ayo coba anda lihat acar bawang, pernah lihat? Itu kalau buat obat tekanan darah tinggi to, itukan bawang tunggal semua. Bener nggak toh? Jadi kalau Anda bawa bawang tunggal, demit tekanan darah tinggi datang kepada Anda. Wah,,, ini dia... obat bagi saya, baru tahu itu, jadi saya tidak memberikan jimat.
Kasih hu, Hu tulisan apa dulu? O... Hu nya mesti tulisan bahasa mandarin Bhante, walah kalau demitnya ngga bisa bahasa Mandarin kayak saya, nanti malah tulisan apa to ini? Lah, malah dideketin dilihat. Ya.... jadi, bukan Hu yang ngusir demit. Bukan benda benda daging babi, apa lagi tadi tulang babi, kuku macan. Kuku macan untuk tolak demit? Weh... kukunya sudah diambil itu berarti macannya sudah menjadi demit.
Mana ada macan pergi ke salon dipotongi kukunya, ya? Pasti dia sudah di bedil mati jadi demit. Lah, ini kukunya malah dia cari, mana kuku-ku? Weh... baru tau itu... malah dicari sama macannya. Kadang kadang aneh aneh orang itu. Aneh aneh yang tidak sesuai dengan Dhamma.
Nah, sekarang bagaimana yang sesuai dengan Dhamma?
Kalau ada demit bukan dengan jimat bukan dengan apa. Nomor satu yang harus anda katakana, kalau misalnya mengganggu ya. Kadang kadang nyuri disket, demit sekarang bisa nyuri disket, sungguhan. Eh... mungkin yang mati sudah pada suka computer, pada mati sudah zamannya kan sudah berubah, ada yang nyuri disket, itu beberapa kali. Ada pengalaman satu umat yang ngetik terjermahan itu. Disketnya hilang. Di ketik lagi disketnya hilang, diketik lagi disketnya hilang. Ada demit yang suka nyuri pisau, ada demit yang suka nyuri sendok, garpu dan sebagainya. Nah.. anda boleh katakan begini. Eh... demit atau apa, kalau memang ada yang mau di sampaikan kasih tau lewat mimpi. Itu nomor satu. Jadi kita buka channel komunikasi, kasih tau lewat mimpi. Kenapa kok tidak kasih tahu langsung? Takutnya pingsan.
Jadi, eh,, demit.. kalau memang ada sesuatu yang mau disampaikan. Keluarlah engkau. Keluar sungguh, Cuma kepalanya, Anda pingsan. Padahal kepalanya ganteng, tapi Anda pingsan. Jadi, lebih bagus kasih tahu lewat mimpi. Itu banyak, banyak yang sukses. Malamnya terus mimpi macem macem. Itulah kuburan saya itu papan namanya jatuh, anu... semennya rontok. Coba dong, tolong di benerin. Ah begitu, atau kalau dia nggak bisa komunikasi dengan bagus, dia nampil, mungkin wajahnya jelek, mungkin pakaiannya buruk, mungkin modelnya pucat seperti orang sakit.
Nah.. pokoknya kita boleh mengatakan, kalau memang sini ada makhluk, kasih informasi lewat mimpi. Terus Anda tidur, jangan.. heh.. nanti aku mimpi, tidak berani tidur, yah.. sama aja. Ya... , nomor dua, setelah mimipi, anda lihat apakah orang itu kelihatan pakaiannya buruk atau sakit atau mungkin tidak mimpi sama sekali juga boleh. Cara yang kedua ini adalah inilah cara yang diajarkan di dalam Dhamma. Kita melakukan kebajikan untuk para makhluk yang berada di sekitar kita tadi, seperti malam hari ini Anda mengikuti pattidana. Sebetulnya Anda melakukan kebajikan. Anda datang ke Vihara, Anda membaca Paritta, kemudian Anda mempersembahkan dana, ini semua bisa dilimpahkan jasanya kepada semua makhluk yang Anda ketahui. Makhluk ini bisa keluarga Anda yang dekat, ayah dan ibu Anda, kakek dan nenek Anda yang Anda kenal.
Tapi juga jangan dilupakan kepada semua makhluk yang pernah berhububungan karma dengan Anda, itu jangan dilupakan, kenapa? Karena orang tua kita bukan hanya ayah dan ibu ini. Orang tua kita itu, sudah ribuan kali kehidupan ada orang tua, dan kita nggak tau siapa namanya. Anda tulis saja semua makhluk yang berhubungan karma dengan saya. Sudah ada yang menulis itu? Sudah? Sudah ada? Sudah ada beberapa orang? Satu, dua ah bagus, sudah mulai banyak, saya suka sekali, harus makin lama makin banyak, ada satu lembaran khusus, semua makhluk yang berhubungan karma dengan saya, kenapa? Kakek, Nenek Moyang kita yang sudah kita nggak kenal, semoga dia juga berbahagia, karena mungkin dia mengikuti kita.
Karena pada zaman Raja Bimbisara dulu, makhluk makhluk peta yang megikuti Raja Bimbisara, itu sudah ribuan tahun lamanya, karena itu sejak Buddha Buddha yang dulu, dia selalu ikut.
Nah, itu sejak Buddha – Buddha yang dulu, dia selalu ikut. Nah, oleh karena itu tulis semua makhluk yang berhubungan karma dengan kita, termasuk musuh musuh Anda. Kenapa? Karena makhluk yang berada di sekitar Anda, mungkin itu keluarga dekat yang sayang dengan Anda, tapi jangan salah, ada juga makhluk yang nggak suka dengan Anda, musuh Anda, yang mati penasaran gara gara Anda, dalam kehidupan ini maupun kehidupan kehidupan yang dulu itu terus nempel. Itu kita limpahkan jasanya, semua makhluk yang berhubungan karma dengan kita.
Nah, lalu perbuatan baiknya bagaimana, apakah harus setahun sekali setiap tanggal lima belas bulan tujuh imlek seperti tahun ini? Tidak. Setiap hari, setiap saat Anda bisa lakukan perlimpahan jasa ini. Caranya bagaimana? Pada malam hari ketika Anda sudah mau istirahat. Ingatlah satu hari ini Anda sudah melakukan apa saja kebajikan, misalnya pada pagi bangun tidur, Anda kemudian memberi makan binatang kesayangan Anda. Catatlah itu sebagai kebajikan yang Anda miliki. Kemudian Anda membuka toko, lalu ketika ada orang menawar barang, lalu kita memberikan kata kata “Morning Price”, harga pagi hari, harga penglaris, lebih murah daripada harga biasa. Itu ada diskon khusus. Itu Anda sudah melakukan kebajikan.
Kemudian ketika ada pengemis, pengamen datang ke toko Anda, Anda berdana. Sudah kebajikan. Ketika ada orang membeli di toko. Anda terlalu banyak duitnya, sepuluh ribu dikasih dua puluh ribum trus dia pergi. Kembalian uang sepuluh ribu ini dan Anda dan Anda mengganggap itu juga kebajikan.
Demikian seterusnya Anda ingat kebaikan Anda satu hari ini lalu Anda renungkan, semoga dengan kebaikan yang saya lakukan sampai malam hari ini dari tadi pagi, akan membuahkan sebahagian untuk saya sekeluarga dan juga semua makhluk yang berada di sekita saya. Semua makhluk yang pernah berhubungan karma dengan saya. Ucapkanlah itu beberapa kali, kemudian semoga semua makhluk hidup berbahagia. Plek, tidur nyaman, enak. Tiap malam Anda boleh kerjakan seperti itu, merenungkan kebajikan Anda, limpahkanlah jasanya semoga semua makhluk berbahagia, semua makhluk yang berhubungan karma dengan saya berbahagia, Anda boleh ucapkan itu dan Anda istirahat.
Lalu bagaimana kalau leluhur Anda ada yang tidak di Indonesia, atau tidak di surabaya. Mungkin keluarga Anda ada yang dimakamkan di Sentong Baru, atau dimakamkan di Kalimantan, di Sulawesi atau bahkan di luar negeri. Apakah bisa perlimpahan jasa? Bisa. Bagaimana logikanya? Anda sekarang di Surabaya di Vihara ini, coba Anda memikir rumah Anda yang di Surabaya. Begitu Anda berfikit, rumah Anda langsung terbayang betul betul. Ah, sekarang bayangkan kota Jakarta, mungkin Anda punya rumah disana, begitu Anda terpikir, bayangan itu ada. Sekarang bayangkan kalau Anda pergi keluar negeri, mana yang pernah Anda kunjungi, bayangkan, muncul. Nah, pikiran geraknya sangat cepat.
Begitu Anda berpikir, bayangan itu muncul. Demikian pula dengan leluhur kita, sanak keluarga kita, semua makhluk yang pernah berhubugnan karma dengan kita. Dimanapun mereka berada, pada saat kita berpikir, pada saat itu juga tembus pada mereka semua.
Oleh karena itu, saudara saudaram tiap malam, Anda boleh kerjakan perlimpahan jasa, kepada siapapun juga, khususnya kepada semua makhluk yang pernah berhubungan karma dengan ikita, maka akhirnya apabila mereka selalu kita buat bahagia dengan perlimpahan jasa ini. Mereka selalu bisa berpikir bahagia. Berpikir positif para makhluk tersebut, karena perbuatan baik kita. Maka mereka bisa meninggal dari alamnya karena sudah cukup karma baiknya dan terlahir di alam yang lebih baik.
Ini karena perlimpahan jasa yang kita berikan terus menerus, sedangkan kita yang memberikan perlimpahan jasa yang terus menerus, kita pun juga akan mendapatkan kebaikan itu sendiri. Karena sesungguhnya di dalam Dhamma, siapa yang menanam dia yang akan panen. Menanam padi tumbuh padi.
Kalau sekarang kita menanam kebajikan maka sesungguhnya kita pun juga akan mendapatkan kebahagiaan. Para leluhur, sanak keluarga kita, semua makhluk yang pernah berhubungan karma dengan kita, itu adalah objek bagi kita untuk melakukan kebajikan. Cobalah tiap malam kita limpahkan jasa kebaikan kita selama satu hari penuh kepada mereka semua, karena sesungguhnya, makhluk makhluk yang berada di sekitar kita, bukan makhluk jahat. Dia hanya ingin kita berbagi dengan mereka seperti Paritta Tirrokudha Sutta yang dibacakan tadi. Sebetulnya disitu dijelaskan bahwa para leluhur kita, mereka menanti di dinding dinding, di gerbang gerbang, di persimpangan jalan ketika kita lewat, mereka lihat, mereka berteriak. Tetapi kita tidak pernah kenal dengan mereka ketika kita sedang berbahagia mengadakan pesta pora, kita tidak pernah mengundang mereka, karena kalau mereka datang kita malah takut. Karena itu kita harus melimpahkan jasa ini, setiap malam Anda ucapkan perlimpahan jasa ini maka Anda melakukan kebajikan dan Anda pun menolong mereka keluar dari alam penderitaan untuk terlahir di alam bahagia.
Oleh karena itu, sesungguhnya di dalam Dhamma disampaikan bahwa melaksanakan Dhamma di dalam kehidupan sehari hari akan membuahkan kebahagiaan. Melaksanakan Dhamma bermacam macam, mengembangkan kebajikan, melaksanakan Sila dengan melatih Pancasila Buddhis misalnya, tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong dan mabuk mabukan. Ini pun bisa kita limpahkan jasanya.
Melaksanakan kekuatan Meditasi, kita bersamadhi, melakukan konsentrasi, itupun juga bisa kita limpahkan jasa kita, karena bukan hanya kebaikan lewat materi saja yang bisa kita limpahkan. Tetapi kebajikan dengan tenaga, dengan ucapan, dengan pikiran dalam bermeditasi itupun juga kita bisa limpahkan. Kebajikan yang kita lakukan ini akan berbuah didalam diri kita.
Namun perlimpahan jasa ini pun akan membahagiakan sanak keluarga kita yang pernah berhubungan karma dengan kita. Oleh karena itu saudara – saudara, mulailah dalam acara perlimpahan jasa ini, kita mengubah cara berpikir kita. Jangan takut dengan makhluk halus karena sesungguhnya banyak diantara mereka justru mereka yang pernah berhubungan karma dengan kita. Merekalah obyek untuk kita tolong bersama. Semoga dengan kekuatan kebajikan yang Anda lakukan, pada malam hari ini, akan membuahkan kebahagiaan untuk para sanak keluarga Anda yang telah meninggal. Juga semua makhluk yang pernah berhubungan karma dengan kita semua, semoga mereka semua berbahagia di alam kelahiran yang sekarang, kemudian juga dengan kebajikan yang kita memiliki semoga akan membuahkan kebahagiaan karena melaksanakan Dhamma didalam kehidupan sehari hari akan membuahkan kebahagiaan untuk kita, kebahagiaan untuk semua makhluk. Semoga semua makhluk, baik yang tampak maupun tak tampak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing masing.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.
Sadhu... sadhu...sadhu
Benda-benda Persembahan
1. Lilin 
Lilin yang telah dinyalakan bermakna memberikan penerangan atau cahaya yang menerangi jalan kehidupan dan penghidupan di waktu sekarang. Cahaya Buddha Dharma menerangi hati dan pikiran kita, dengan selalu membimbing kita ke jalan yang benar, dan membawa kita ke jalan penerangan/pencerahan agung.
2. Air
Persembahan air mempunyai makna agar pikiran, ucapan dan perbuatan anda selalu bersih. Air dapat membersihkan segala kotoran bathin yang berasal dari keserakahan ,kebencian, dan kebodohan /kegelapan bathin dan ia memancarkan kasih sayang, Welas asih, memiliki rasa simpati dan keseimbangan bathin.
3. Dupa
Dupa dengan wangi khasnya selain berguna untuk membersihkan udara dan lingkungan (Dharmadatu), juga membuat suasana menjadi religius, membuat hati menjadi khusuk. Harumnya dupa yang menyebar ke segenap penjuru sama halnya dengan harumnya perbuatan mulia dan nama baik seseorang, yang bahkan menyebar ke segala penjuru sekalipun berlawanan arah angin.
4. Buah
Mempersembahkan buah di meja altar bukan dimaksudkan untuk dipersembahkan agar disantap oleh Sang Buddha atau para Dewa. Persembahan buah mempunyai makna hasil dari proses kehidupan, bahwa benih perbuatan buruk/kejahatan akan tumbuh dan berbuah keburukan/kejahatan pula, begitu juga perbuatan baik akan berbuah kebaikan.
Persembahan makanan biasanya berupa buah-buahan dan manisan, sama sekali menjauhkan makanan yang berasal dari hasil penganiayaan/pembunuhan makhluk hidup.
Tradisi di India pernah mengenal persembahan makanan sebagai kurban untuk dewa. berbagai jenis makanan, hasil bumi dan ternak dilemparkan ke dalam api pemujaan. Buddha menolak kebiasaan itu. Dalam Bhuridatta Jataka dinyatakan pemujaan pada api atau persembahan kepada dewa semacam itu sebagai kebodohan. (Praktik tahayul ).
5. Bunga
Bunga mempunyai makna ketidak-kekalan, semua yang berkondisi adalah tidak kekal atau tidak abadi. Demikian juga dengan badan jasmani kita adalah tidak kekal; lahir, tumbuh, tua/lapuk, kemudian meninggal/hancur. Yang tertinggal hanyalah keburukan atau keharuman perbuatan selama hidupnya saja, yang kelak dikenang oleh sanak saudara dan handai taulan.
7 KEBIASAAN AGAR BERNASIB BAIK


1. KEBIASAAN BERSYUKUR.
Bersyukur adalah kebalikan dari mengeluh. Dengan mengeluh, beban batin makin berat, batin makin tidak tenang, fokus hidup tertuju pada masalah-masalah, bukan pada upaya perbaikan. Jadi jangan hanya mengeluh. Hellen Keller yang terkenal itu, yang buta tuli sejak umur 2 thn, membuat pernyataan syukur sbb: "Aku bersyukur atas cacat yang kualami karena melalui cacatku ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku." Dengan bersyukur, bathin lebih tenang, fokus hidup tertuju pada upaya-upaya perbaikan, agar nasib jadi lebih baik.

2. KEBIASAAN BERPIKIR POSITIF.
Berpikir negatif sebagai antisipasi adalah sesungguhnya berpikir positif karena sejak awal ditujukan untuk kepositifan. Sedangkan berpikir negatif berawal dan berujung kenegatifan. Pikiran itu seperti tanah. Positif atau negatif itu seperti benih. Menanam benih positif pada pikiran menghasilkan ucapan dan tindakan positif, yang berlanjut pada kebiasaan-kebiasaan positif, karakter positif dan nasib positif.

3. KEBIASAAN BEREMPATI.
Berempati adalah kebalikan dari keegoisan. Biasakan menempatkan diri pada posisi orang lain, belajar melakukan apa yang anda ingin orang lain lakukan kepada anda, maka nasib baik lebih mudah hadir pada anda.

4. KEBIASAAN MENDAHULUKAN YANG PENTING.
Jangan biarkan diri terjebak pada hal-hal tidak penting, sehingga hal-hal penting terabaikan. Kebiasaan mendahulukan yang penting membuat hidup lebih efektif dan produktif sehingga memberi peluang lebih besar nasib baik terjadi.

5. KEBIASAAN BERTINDAK.
Banyak orang bermimpi, tapi tidak bertindak. Orang-orang sukses bertindak, bahkan berkali-kali sebelum mereka sukses. Tak akan ada hasil tanpa tindakan. Dengan bertindak, nasib baik lebih berpeluang besar terjadi dalam hidup.

6. KEBIASAAN MENABUR KEBAIKAN.
Prinsip tabur tuai berlaku dalam kehidupan. Jija tidak ingin menuai keburukan, tabur kebaikan. Jika ingin nasib baik, tabur kebaikan.

7. KEBIASAAN JUJUR.
Dengan jujur pada diri sendiri dan orang lain, hidup lebih nyaman dan dipenuhi kebaikan. Kalaupun kebaikan belum datangg, nasib baik belum datang, namun musibah sudah menjauh
Pandangan-Pandangan Keliru Mengenai Kamma

1. Kamma hanya dianggap sebagai hal yang buruk saja.
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma hanya dianggap sebagai hasil yang buruk saja yang menimpa seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk. Pandangan keliru (miccha ditthi) ini terjadi karena adanya kerancuan antara kamma (perbuatan) dengan kamma vipaka (hasil perbuatan) dan pemahaman yang salah terhadap kamma. Padahal, kamma yang berarti perbuatan sedangkan hasilnya disebut vipaka, tidak hanya berhubungan dengan perbuatan buruk ataupun akibat buruk semata, tetapi juga perbuatan baik ataupun akibat yang baik. Kamma vipaka (hasil perbuatan) tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang buruk tetapi juga hal-hal yang baik yang dialami oleh seseorang. Contoh: seseorang gemar berdana sehingga ia dihormati oleh setiap orang. Gemar berdana adalah kamma baik dan dihormati orang lain merupakan kamma vipaka (hasil perbuatan) yang baik.
2. Kamma vipaka (hasil kamma) dianggap sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah.
Pandangan ini dikatakan keliru karena jika hal itu terjadi maka seseorang tidak akan dapat bebas dari penderitaannya. Padahal seseorang dapat mengubah apa yang sedang ia alami. Selain itu, Guru Buddha telah mengajarkan mengenai Viriya atau semangat membaja yang berguna untuk mengatasi segala kesulitan. Sebagai contoh, seseorang yang lahir dalam keluarga yang kekurangan (miskin) karena kamma kehidupan lampau yang buruk yang telah ia lakukan dikehidupan yang lalu, ia dapat mengubah kondisi yang dialaminya tersebut dengan bekerja keras sehingga ia tidak lagi hidup dalam kemiskinan.
3. Prinsip kerja hukum kamma adalah mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa.
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma akan selalu menghasilkan bentuk yang sama dengan hasil perbuatan (kamma vipaka), membunuh maka akan akan dibunuh, mencuri maka akan dicuri, menipu maka akan ditipu, dan sebagainya. Pandangan ini keliru karena kamma memiliki karakter yang dinamis dan tidak lepas dari kondisi-kondisi yang ada, sehingga tidak selamanya bentuk dari hasil kamma akan sama dengan bentuk kammanya. Tetapi yang dapat dipastikan adalah sifatnya, dimana kamma yang sifat buruk pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga buruk, kamma baik pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga baik.
4. Kamma orang tua diwarisi oleh anaknya.
Pandangan ini beranggapan bahwa orang tua yang melakukan kamma buruk maka hasilnya (vipaka) akan di terima oleh anaknya atau keluarga lainnya. Pandangan ini keliru karena prinsip kerja kamma adalah siapa yang melakukan perbuatan maka ia akan yang menerima hasilnya. Dalam Cullakammavibhanga Sutta; Majjhima Nikaya 135 Guru Buddha bersabda : "Semua mahluk hidup mempunyai kamma sebagai milik mereka, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, dilindungi oleh kammanya sendiri. Kamma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi."
Dalam kasus tertentu terlihat sepertinya orang tua yang melakukan kamma buruk dan anaknya yang mengalami penderitaan. Hal ini bukan berarti kamma buruk orang tua diwarisi oleh anaknya, tetapi ini lebih berarti bahwa kamma buruk orang tua tersebut memicu kamma buruk si anak untuk berbuah. Dengan kata lain seseorang akan menerima akibat dari kammanya sendiri, tetapi kammanya dapat mempengaruhi atau mengkondisikan kamma orang lain untuk berbuah.
5. Kamma kehidupan lampau penentu segalanya yang terjadi di masa sekarang.
Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang dialami seseorang pada masa sekarang, baik kondisi yang baik maupun buruk tidak lain merupakan hasil (vipaka) dari kamma kehidupan lampau saja. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi demikian maka seseorang hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan manjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini telah dibabarkan oleh Guru Buddha dalam Tittha Sutta; Anguttara Nikaya 3.61 maupun dalam Sivaka Sutta; Samyutta Nikaya 36.21 {S 4.229} dan Devadaha Sutta; Majjhima Nikaya 101.
6. Kamma maupun vipaka (hasil kamma) ditentukan oleh tuhan.
Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain merupakan kehendak tuhan. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi maka semua perbuatan dan semua yang dialami seseorang tidak lain hanya merupakan kehendak tuhan, sehingga seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini telah dibabarkan oleh Guru Buddha dalam Tittha Sutta; Anguttara Nikaya 3.61.
7. Kamma lampau dapat dihilangkan/dihapuskan.
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma (perbuatan) buruk yang telah dilakukan seseorang, dapat dihilangkan/dihapuskan. Pandangan ini keliru karena kamma (perbuatan) lampau tersebut telah dilakukan dan telah terjadi sehingga tidak dapat dihapuskan. Sebagai contoh, Guru Buddha sendiri tetap menerima hasil dari kamma buruk kehidupan lampauNya berupa terlukanya kaki Beliau karena batu yang digulingkan oleh Devadatta. Jika kamma kehidupan lampau bisa dihapuskan maka Guru Buddha dengan mudah menghilangkannya dan kaki Beliau tidak akan terluka.
Kamma masa lampau tetap akan menimbulkan hasilnya seperti yang telah dijelaskan oleh Guru Buddha dalam Lonaphala Sutta; Anguttara Nikaya 3.99, dengan menggunakan perumpamaan garam yang sama banyaknya, yang satu dimasukkan ke dalam air di cangkir dan dan yang lain ke dalam sungai Ganga. Garam diibaratkan sebagai kamma buruk dan air adalah kamma baik. Ketika garam dimasukan ke dalam sebuah cangkir maka rasa garam tersebut akan terasa. Sedangkan garam yang jumlahnya sama dimasukan ke dalam sungai, maka air sungai tersebut tidak akan terasa asin. Jadi kamma buruk kehidupan lampau akan memberikan hasil/dampak tetapi dengan adanya kamma baik yang banyak yang dilakukan pada masa sekarang maka dampak dari kamma buruk tersebut menjadi berkurang bahkan tidak terasa.

Selasa, 23 Mei 2017

 SIVALI THERA 


(Murid Buddha yang Selalu Hoki)

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari Ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan Anak-Nya. Ia terus merenungkan Sifat-Sifat Khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.

 Ia menyuruh Suami-Nya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan Penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingan- Nya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaan-Nya dengan berkata: "Sebelum Saya meninggal, Saya akan memohon sesuatu. Suami-Ku pergi dan ceritakanlah keadaan-Ku kepada Sang Guru dan undanglah dan apa yang di Katakan-Nya ingat baik-baik dan katakanlah kepada-Ku apa yang dipesankan Sang Guru".

Ketika diberitahu mengenai keadaan Putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan, semoga Ia melahirkan Anak yang sehat dan mulia dengan selamat". Ketika Kata-Kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan Anak di rumah-Nya. 

Pada hari itu juga, segera setelah Kelahiran Anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa Bhikku diundang untuk datang ke rumah-Nya. Dana makanan diberikan disana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air yang sudah disaring kepada Sang Buddha dan Para Bhikku.

 Pada upacara Pemberian Nama, Putra tersebut diberi Nama Sivali, yang berarti 'Yang Menguntungkan' . Untuk merayakanKelahiran Bayi tersebut, Orang tua-Nya mengundang Sang Buddha dan Para Bhikku ke rumah Mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari. Setelah 7 hari sejak Kelahiran-Nya, Ia dapat melakukan apa saja.

 Yang Arya Sariputra, Sang Dharmasenapati (Jenderal Dharma), berbicara kepada-Nya pada hari itu dengan berkata, "Tidakkah itu menunjukkan Sikap Seseorang yang telah mengatasi penderitaan seperti telah Engkau lakukan untuk meninggalkan duniawi?".

 "Bhante, Saya akan meninggalkan duniawi". Gumam Sivali. Putri Suppavasa melihat Mereka berbicara dan menanyakan kepada Sariputra Thera, apa yang telah Mereka bicarakan. "Kami berbicara tentang penderitaan panjang yang telah diatasi oleh Sivali. 

Dengan izin-Mu, Saya akan menahbiskan- Nya", jawab Sariputra Thera. Putri Suppavasa berkata, "Itu baik, Yang Arya, tahbiskanlah Anak-Ku Sivali". Dan pada saat ditahbiskan, Yang Arya Sariputra Thera berkata, "Sivali, Engkau tidak menginginkan Nasehat lainnya selain sebab dari dukkha yang panjang yang telah Engkau atasi ? Pikirkanlah itu." 

"Bhante, Kata-Kata Bhante merupakan beban bagi penahbisan-Ku tetapi Saya akan menemukan apa yang pandai Saya lakukan", kata Sivali.
Ketika Anak-Nya tumbuh dewasa, Ia diterima dalam Pasamuan dan sebagai Bhikku, Ia dikenal dengan Nama Arya Sivali Thera. Pada saat pertama Rambut-Nya dipotong, Dia mendapat hasil pada Jalan Pertama (Sotapatti-phala) , saat yang kedua dipotong, Ia mencapai Jalan Kedua (Sakadagami- phala). Ia mencapai tingkat Kesucian Arahat segera setelah Kepala-Nya dicukur.

 Kemudian, Ia menjadi terkenal sebagai Seorang Bhikku yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar, kendatipun Ia melakukan Pindapatta di desa yang sangat miskin sekalipun. Sebagai Bhikku penerima dana, Ia tidak terbandingkan sehingga Ia terkenal sebagai Bhikku Murah Rezeki.

 Setelah Sariputra Thera menahbiskan- Nya, Bhikku Sivali pergi pada hari yang sama dan membuat tempat kediaman-Nya di gubuk serta bermeditasi pada keterlambatan Kelahiran-Nya yang sengsara. Dengan cara ini, Pengetahuan- Nya mencapai kedewasaan. 

Beliau masuk kedalam Pandangan Benar menghilangkan semua racun dalam pikiran, Beliau telah mencapai Arahat. Setelah mengalami kebahagiaan kebebasan, Beliau dalam Kebahagiaan mengucapkan Syair berikut:"Sekarang telah berhasil baik, semua Tujuan Tertinggi-Ku dalam mengasingkan Diri. Adat pengetahuan yang suci dan pembebasan, permintaan-Ku, semua kesombongan tersembunyi telah Kusingkirkan" . 

Pada suatu sempatan, Para Bhikku bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi Seorang Arahat, dilahirkan di dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun. Kepada Mereka

 Sang Buddha menjawab,

 Penderitaannya di kandungan selama 7 tahun dijelaskan dalam Asatarupa Jataka di mana Ia sebagai seorang pangeran yang kerajaannya diserbu oleh kerajaan Kosala. Ayahnya dibunuh dan ibunya dijadikan istri dari raja baru. 

Sivali ini berhasil melarikan diri lewat selokan dan kemudian mengancam raja baru untuk menyerahkan kerajaan itu kembali, atau ia akan berperang. 

Ibunya mengirim surat secara rahasia dan mengatakan tidak perlu berperang, hanya perlu mengepung saja. 
Setelah tujuh hari, karena tidak bisa mendapatkan persediaan makanan, air, dan kayu bakar, akhirnya rakyat memotong kepala raja baru, dan kemudian Sivali menjadi raja. 

Karena kejahatannya itu, maka ia harus menderita selama 7 tahun di dalam kandungan. Ibunya saat itu adalah Suppavasa, dan ayahnya yang dibunuh oleh Raja Kosala itu adalah Bodhisatta Gotama sendiri.


"Yo' mam palipatham duggam samsaram mohamaccaga tinno parangato jhayi anejo akathamkathi anupadaya Nibbuto tamaham brumi Brahmanam."
‘’Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya, yang telah menyeberang dan mencapai 'pantai seberang' (Nirwana), yang selalu bersamadhi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan, yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai Nirwana, maka Ia Kusebut Seorang 'Brahmana'”.
Paritta untuk memberi penghormatan kepada Arahat Sivali
Namo Arahato Sivali Vandana Gatha
Sivali ca mahathero devata nara pujito soraho paccaya dimhi
Sivali ca mahathero yakkha devabhi pujito soraho paccaya dimhi ahang vandami sabbada
Sivali terasa etang gunang savasti labhang bhavantu me.

Notes : 


Para bhikkhu dengan segera menyadari keanehan yang terjadi jika mereka bersama dengan Sivali, Sivali selalu memperoleh banyak sekali makanan yang lezat dan harum serta kebutuhan-kebutuhan lainnya (jubah, tempat berteduh, dan obat-obatan). Bhikkhu-bhikkhu yang bersamanya juga mendapat kelebihan dari pemberian-pemberian itu. Kemanapun Sivali pergi, orang-orang berkerumun untuk menyiapkan makanan untuknya. Donatur-donatur juga mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan bhikkhu tiap kali beliau berpindapatta.
 

Kemanapun Sivali pergi, manusia dan dewa-dewa selalu menyokongnya. Suatu waktu Sivali Thera dan 500 bhikkhu berada di hutan yang tak berpenghuni, mereka tidaklah kekurangan makan. Para dewa memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi. Demikian juga ketika bepergian di gurun.


 Sang  Buddha, melihat bahwa Sivali telah memenuhi tekad aditthana yang dibuat di masa lalu, menyatakan bahwa Sivali adalah yang terkemuka dalam penerimaan dana kebutuhan pokok. 

Sang Buddha juga menginstruksikan bhikkhu-bhikkhu yang melakukan perjalanan jauh dan berat melalui daerah tak berpenghuni agar ditemani oleh Sivali, karena dengan bersama Sivali kebutuhan mereka akan terpenuhi juga. Bahkan, ketika satu saat Sang Buddha dan rombongan 30,000 bhikkhu pergi mengunjungi Khadiravaniya Revata Thera (adik Sariputta Thera, lihat juga kisah no 98), 

mereka harus melalui hutan yang tak berpenghuni. Ananda Thera, kuatir bagaimana memperoleh kebutuhan untuk jumlah bhikkhu sedemikian besar selama perjalanan di hutan itu, bertanya kepada Sang Buddha.

 Sang Buddha menenangkan Ananda agar tidak perlu kuatir karena Sivali akan pergi bersama mereka. Dimanapun Sivali berada, tidak akan kekurangan dana makanan karena para dewa pun akan menyokong kebutuhan Sivali. 

Untuk mengetahui sebab dari kejadian aneh ini, kita harus melihat kembali ke masa Buddha Padumuttara. Sivali, waktu itu terlahir sebagai orang miskin, berkesempatan melihat Buddha Padumuttara sedang menyatakan seorang bhikkhu sebagai yang terkemuka dalam penerimaan dana kebutuhan pokok. 


Terpesona melihat cara orang berbondong-bondong memberi dana kebutuhan pokok kepada bhikkhu tersebut, Sivali memutuskan untuk memperoleh posisi seperti itu di kehidupan selanjutnya. Kemudian ia melakukan banyak kemurahan hati kepada Buddha Padumuttara beserta rombongan bhikkhu Sangha, serta menyatakan tekad aditthana untuk menjadi seperti itu. 

Buddha Padumuttara, melihat bahwa tekad Sivali tersebut dapat terpenuhi, meramalkan Sivali akan memenuhi aditthananya dimasa Buddha Gotama. Sejak saat itu, Sivali bekerja keras untuk mewujudkan aditthananya. 
Pada masa Buddha Vipasi, Sivali lahir sebagai pedagang di kota Bandhumati.


 Penduduk kota sedang mempersiapkan dana besar kepada Buddha Vipassi beserta rombongan bhikkhu Sangha ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki cukup dadih dan madu. Maka dikirimlah pesan ke seluruh penjuru kota untuk mendapatkan benda tersebut. Karena tidak dapat memperoleh jumlah yang diinginkan, akhirnya pesuruh raja menaikkan harga dadih dan madu dari satu koin emas menjadi 100 koin emas. 

 Sementara itu mereka mendatangi Sivali yang menjual dadih dan madu dan menawarkan 100 koin emas untuk dagangannya. Sivali sangat terkejut atas penawaran dengan harga yang sangat tinggi itu, dan ia bertanya siapakah yang akan memakan dadih dan madu itu? 

“Untuk Buddha Vipassi dan rombongan bhikkhu Sangha,” jawab mereka. Kemudian Sivali mendanakan barang dagangannya itu kepada Buddha Vipassi dan memperbarui aditthananya. Buddha Vipasi, melihat bahwa aditthana itu akan tercapai, memberkatinya dengan berkata, “Semoga keinginanmu terpenuhi”. 

Sivali kemudian menjadi pengikut Buddha Vipasi dan mempraktekkan ajaranNya. 
Berikut ini cuplikan dari ceramah Ajahn Lee Dhammadharo menceritakan kepada murid-muridnya, berkenaan dengan makan secara sederhana sebagai bhikkhu :
 

Ambillah contoh dari Sivali Thera. Beliau makan dengan sederhana. Bagaimana beliau makan dengan sederhana? Kebanyakan yang kita tahu mengenai Sivali Thera adalah ia sangat banyak menerima kekayaan dana persembahan.


 Tetapi, sebenarnya, darimanakah kekayaan itu berasal? Itu berasal dari makan dengan sederhana, Apa yang telah dilakukan Sivali Thera adalah begini : ketika ia menerima kain, ia tidak akan memakai apa yang diterimanya sebelum ia memberikan dana kain kepada orang lain. Ketika ia menerima makanan, ia tidak akan memakannya sebelum membaginya dengan orang lain.  

Apapun yang kebutuhan pokok yang diterimanya, makanan, pakaian, tempat berteduh, ataupun obat-obatan, baik sedikit maupun banyak, ia tidak akan menggunakannya sebelum berbagi dengan orang lain. Ketika ia mendapat banyak, ia akan membagi banyak demi manfaat untuk banyak orang. 

Ketika ia mnerima sedikit, ia pun tetap mencoba memberi manfaat untuk orang lain. Ini merupakan sumber dari berbagai macam hal yang baik.

 Demikian yang dilakukan oleh Sivali Thera. Ketika ia meninggal dari masa kehidupan itu dan terlahir kembali di kehidupannya yang terakhir, ia memperoleh kekayaan dan tidak pernah kelaparan. Bahkan walaupun ia pergi ke tempat dimana makanan sulit didapat, ia tidak pernah menjumpai kelangkaan, tidak pernah kekurangan. 

Dalam Itivuttaka 26, Buddha mengatakan : “Wahai para bhikkhu, seandainya para makhluk tahu, seperti yang Tathagatha tahu, buah dari perbuatan memberi serta berbagi, mereka tidak akan makan sebelum memberi; mereka tidak akan membiarkan noda kekikiran menguasai mereka dan mengakar di dalam pikiran.


 Bahkan seandainya itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir, mereka tidak akan menikmatinya tanpa membaginya seandainya ada orang yang dapat diajak berbagi.” 

Dari cerita di atas, tampaklah bahwa Arahatta Sivali adalah merupakan murid Sang Buddha yang tidak terbandingkan dalam menerima dana. Beliau tidak pernah kekurangan makanan di manapun beliau berada. Dalam Dhamma, segala suka dan duka yang dialami oleh seseorang adalah karena buah dari perbuatannya sendiri. Dengan banyak melakukan kebajikan, barulah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan. 
Apabila penghormatan kepada Arahatta Sivali direnungkan sebagai sarana untuk menambah kebajikan melalui badan, ucapan dan pikiran, maka tentu saja perhormatan ini dapat mengkondisikan kebahagiaan hidup dalam bentuk banyak rejeki seperti yang diharapkannya. Dengan demikian, rupang Sivali hendaknya dijadikan pendorong seseorang agar terus melakukan kebajikan dengan berbagai cara agar ia mendapatkan kebahagiaan maupun rejeki.
Y.A UPALI
Terkemuka dalam Menjaga Sila
Enam bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta dan Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi dengan rombongan besar kereta, gajah dan sejumiah pelayan untuk melayani mereka dalam perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka mengirim seluruh kereta kembali ke Kaplivatthu, dan yang tinggal bersama mereka hanyalah Upali, tukang cukur mereka.
Di tepi hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. Kemudian mereka melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan barang-barang berharga di dekatnya. Dengan gemetar dipungutnya barang-barang itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang Buddha, “Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai”.
Upali tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka menjumpai Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.
Dengan sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.
Tetapi Sang Buddha menjawab, “Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?”
YA Upali kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sahgha, mengabdikan dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai penuntun bagi bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sesedikit apapun, beliau segera menanyakannya kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh semua sila – mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri, melakukan tindakan asusila, berdusta, minum minuman keras yang memabukkan – sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadanya untuk meminta nasihatnya.
Meskipun demikian tidak berarti YA Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan. Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, YA Upali menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum minuman yang diragi. YA Upali segera memberikan anggur kepada bhikku itu, yang dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.
YA Upali melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha. Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa. Ketika pertemuan dibuka, YA Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada bhikkhu Upali mengenai Vinaya”.
YA Upali menjawab, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa”.
Kemudian YA Maha Kassapa bertanya, “Bhikkhu Upali, di mana ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka”
Demikianlah ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni. Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh YA Upali dengan terang dan jelas sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar untuk dilestarikan
Y.A RAHULA
Terkemuka dalam Melaksanakan Kebaikan
Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodhara kemudian bertanya pada Rahula, “Anakku, tahukah engkau siapa orang itu ?”. Rahula menjawab, “Beliau adalah Sang Buddha, ibu”. Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, “Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka untukmu”.
Pangeran Rahula, yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang. Selesai makan siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikuti sambil terus merengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku warisan”. Tak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Setibanya di taman, beliau berpikir, “Rahula minta warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh bawah pohon Bodhi. Dengan demikian akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia”.
Di vihara, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula sebagai samanera. Rahula dengan demikian merupakan samanera pertama. Mendengar berita Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana merasa sedih sekali. Oleh karena itu ia mohon kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditahbiskan menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin orangtuanya. Sang Buddha menyetujui permohonan tersebut dan mulai saat itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuanya.
Rahula merupakan putera dari Pangeran Siddhattha dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran Siddhattha mendengar berita bahwa isterinya telah melahirkan seorang putera, mukanya menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata, “Rahulajato, bandhanam jatam” (Satu belenggu telah terlahir, satu ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi yang baru lahir itu diberi nama Rahula. Kelahiran Rahula disambut dengan pesta besar yang meriah. Namun saat itu Pangeran Siddhattha telah bertekad untuk meninggalkan istana untuk mencari jalan untuk membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan kematian.
Sesaat sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhattha pergi ke kamar Puteri Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya. Isterinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser tangan isterinya untuk dapat melihat muka puteranya itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran berkata dalam hati, “Biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan isteriku”. Setelah itu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggang kuda Kanthaka diikuti oleh kusirnya, Channa, untuk berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi umat manusia.
Kepergian Pangeran Sidhattha memberikan kesedihan yang mendalam bagi ayahnya, Raja Suddhodana terlebih pula isterinya, Puteri Yasodhara. Rahula yang kehilangan ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan tumbuh menjadi anak yang pandai dan baik budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa Pangeran Siddhattha yang telah menjadi petapa memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning, sewaktu mendengar petapa Siddhattha hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu kali sehari. Demikian pula mengikuti kehidupan petapa Siddhattha, Puteri Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah, tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.
Setelah ditahbiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan dengan Sang Buddha. Ini mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya di mana dapat bertemu dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke kuti Rahula.
Rahula merasa bahagia ketika melihat ayahnya datang menghampirinya. Sang Buddha lalu meminta Rahula untuk menyiapkan sebaskom air. Setelah Rahula membasuh kaki Sang Buddha, Sang Buddha bertanya, “Rahula, dapatkah kamu minum air ini ?”
Rahula menjawab, “Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum”
Sang Budhha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong. Lalu Sang Buddha berkata, “Rahula, dapatkah kamu menaruh makanan ke dalam baskom ini?”
Rahula menjawab, “Tidak saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor”.
Mendengar jawaban Rahula Sang Buddha berkata, “Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong, yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. Dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh si pembuat kebohongan”.
Dengan kata-kata yang disampaikan oleh Sang Buddha, sejak saat itu Rahula dengan amat rajin mematuhi semua peraturan Sangha dan menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan penuh simpati. Meskipun terlahir dan dididik sebagai pangeran, Ia dapat melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dapat menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun adapula anggota sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah dan beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan ujian berat baginya.
Pada suatu ketika, ketika YA Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta dan memukul Rahula. YA Sariputta mengingatkan Rahula, “Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan, membuang kesombongan dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan”. Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui sebuah sungai dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.
Rahula tidak pernah membenci nasihat yang diberikan kepadanya. Setiap bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad, “Semoga hari ini saya mendapat nasihat sebanyak pasir ini”. Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, dengan cara tidak berbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua belas tahun.
Pada usia dua puluh tahun, Rahula ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) YA Sariputta dan guru penahbisan resmi YA Moggallana. Selama kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang, membawanya ke hutan Andha dan mengajarkan ajaran yang dikenal sebagai Nasihat Kecil untuk Rahula (Cullarahulovada Sutta, Majjhima Nikaya) Rahula merasakan kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebas dari kekotoran batin (asava) dan beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat.
Pada suatu kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur YA Rahula. Karena tidak menemukan tempat untuk beristirahat, YA Rahula tidur di ruang terbuka di depan tempat Sang Buddha. YA Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia lima puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.